Dilema dalam Politik Identitas dan “Political Correctness”

Oleh Arie Muzayyin

Di sebuah forum diskusi internet yang pernah saya baca, seorang pengguna dari Amerika Serikat mengunggah artikel tentang pendidikan seks. Jika dibaca secara jernih tidak ada yang porno di dalamnya. Tetapi, demi menjaga diri saya agar tidak terkena tuduhan pornografi dari orang yang tidak waras, lebih baik tidak saya sertakan tautan artikelnya disini.

Sejatinya artikel tersebut berisi tentang hubungan seks, reproduksi, legalitas seks, dll. Namun, yang membuat saya geli adalah penyebutan ‘pria/wanita’ (man/woman atau male/female). Sebagai gantinya ia menggunakan kata ‘orang dengan penis/vagina’ (people with penis/vagina). Si penulis seolah mengkampanyekan pandangan positif terhadap seks, ia sangat berhati-hati menjaga netralitas gender. Saya tahu penyebabnya; ia tidak ingin membuat kaum transgender tersinggung. Ia juga menghindari penggunaan istilah seks yang memberi kesan bahwa seks hanya melulu pria dan wanita. Dengan kata lain, jangan sampai lesbian dan gay terpinggirkan. Dari sini kita bisa menyadari bahwa identitas kelompok LGBT sudah memiliki pengaruh cukup kuat, sehingga si penulis ini merasa bahwa dengan memarjinalkan mereka maka sama saja dengan menyakiti harga diri mereka.

Saya sendiri setuju bahwa semua orang harus menghormati hak-hak kaum LGBT sebagai manusia. Tetapi mengapa harus dengan cara seperti itu? Mengapa sebuah kata yang umum dan tidak bermaksud menyinggung bisa dianggap sensitif? Mengapa kita menghapus homofobia (secara harafiah ‘homofobia’ berarti ‘takut pada sesama, bukan ‘takut pada pecinta sesama jenis kelamin’/homoerofobia) tetapi menciptakan ketakutan yang baru terhadap mereka, yaitu takut menyinggung?

Namun sayang, sering kali jawabannya adalah ya. Bahkan di negara liberal seperti Amerika dan Kanada hal ini bisa sampai dibawa ke meja hijau apabila kaum yang ‘merasa’ terdiskriminasi itu tersinggung dengan perkataan Anda. Mengapa mereka bisa sedemikian kuatnya? Sederhananya; mereka melakukan perjuangan politik. Umumnya perjuangan politik ini dilakukan dengan tujuan utama yaitu mempengaruhi persepsi publik. Cara yang dilakukan tentu saja dengan memperlihatkan identitas mereka yang selama ini tertindas, dihinakan masyarakat, dan diacuhkan haknya. Sampai akhirnya persepsi masyarakat terbangun dan mempengaruhi kebijakan publik agar hak-haknya diakui oleh negara.

Inilah Politik Identitas; gerakan politik yang didasarkan pada kesamaan identitas suatu kelompok, agama, ras, gender, orientasi seksual, kelas sosial, budaya dan sebagainya. Politik identitas sejatinya lebih identik dengan minoritas atau mereka yang tertindas; perasaan senasib sepenanggungan karena ditindas akibat identitas mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang membuat mereka bersatu dan bergerak menuntut hak-hak politik yang setara. Ataupun fenomena yang lazim di Indonesia, politik identitas menjadi senjata bagi para oposisi yang melawan petahana. Contohnya Indonesia yang kental dengan kuatnya identitas Islam. Di tengah pertempuran panggung politik yang panas di lima tahun terakhir ini, kita bisa lihat bagaimana politik identitas sangat mengakar di masyarakat kita. Isu seputar agama, ras, suku menjadi alat politik untuk menyerang satu sama lain. Seperti yang terjadi pada insiden Ahok yang mengutip ayat suci dan Prabowo dalam pidato yang mengatakan ‘tampang Boyolali’.

Politik identitas mengandung bahaya. Pertama, cenderung sektarian: ‘kita vs mereka’. Kita menghadapi musuh yang sama, karena itu kita perlu mencari tahu siapa kawan dan lawan. Tetapi yang kedua ia juga cenderung oportunis; musuh dari musuhku adalah sahabatku. Akibatnya adalah bahaya yang ketiga: menuduhkan guilt by association. Kamu musuh saya karena kamu segolongan, seetnis, seagama dan sejenis dengan musuh saya; kecuali kamu menyangkal diri.

Saat politik identitas dibawa ke gelanggang politik, maka disini akan muncul tuntutan untuk meluhurkan Kepantasan Politik (political correctness). Setiap orang dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara atau mengeluarkan pernyataan. Bisa jadi ada harga yang harus dibayar, bukan saja kehilangan suara pemilih, tetapi juga kehilangan kebebasan di balik terali besi.

Namanya juga politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Bahkan kebenaran pun tidak abadi. Maka kepantasan politik juga sangat relatif. Dalam hal ini, pihak oposisi atau minoritas biasanya diuntungkan karena mereka bebas berbicara apa saja mengenai pemerintahan yang berkuasa. Sebaliknya petahana atau mayoritas harus berhati-hati jika tidak ingin kehilangan posisi, suara atau bahkan hak politiknya.

Saya pernah melihat sebuah karikatur yang diunggah di Twitter, gambarnya tidak terlalu bagus, tetapi pesannya sangat menampar. Kira-kira begini ilustrasinya. Ada seseorang mengatakan kepada orang lain ‘Payah!’ dan itu dianggap sebuah ‘opini’. Tetapi ketika orang yang dikatai ‘payah’ itu berkulit hitam, opini itu berubah menjadi ‘rasisme’. Kemudian ada seorang perempuan berkata ‘Laki-laki memang goblok!’ dan itu disebut ‘lelucon’. Tetapi ketika posisinya dibalik, keterangannya berubah menjadi ‘seksisme’.

Si kartunis membuat catatan kaki: kenapa sih kita tidak bisa saling menghormati tanpa padang bulu? Bukankah kita semua ini setara? Tetapi kemudian mereka akan berkata bahwa selama berabad-abad mereka telah ditindas, dan tidak sepantasnya para keturunan (atau yang segolongan dengan) penindas itu berkata demikian pada mereka. Lho, lantas bagaimana dengan mereka sendiri? Oh, tidak apa-apa! Kan kita yang (dulu) tertindas berhak menyuarakan opini kita! Apalah artinya dibandingkan penindasan mereka di masa lalu? Singkatnya; Anda harus menggunakan political correctness ketika menyebut kelompok-kelompok yang mengusung politik identitas.

Sayang sekali, bahkan dalam negara demokrasi yang besar atau sudah lama matang, politik identitas masih digunakan bahkan oleh penguasa atau mayoritas yang sudah mapan. Mengapa Trump yang rasis dan seksis bisa menang pilpres AS? Mengapa Britania Raya hengkang dari Uni Eropa? Mengapa Jepang (tidak seperti Jerman) enggan mengakui – bahkan mendewakan – kejahatan perangnya? Mengapa perpolitikan India yang dianggap paling demokratis di Asia begitu gaduh? Karena mereka menggembar-gemborkan identitasnya.

Ketika partai Nazi berkuasa di Jerman setelah menang pemilu 1933, mereka melanggengkan ketakutan terhadap orang Yahudi, Slavia, Romani (Gypsy), homoseks, komunis dan manusia ‘rendah’ lainnya jauh lebih gencar dari sebelum mereka berkuasa. Masih banyak contoh serupa dari rezim militer, komunis, anti-komunis, agama dan sebagainya; termasuk Orde Baru.

Mereka melanggengkan kekuasaan dengan cara menciptakan ketakutan di tengah masyarakat bahwa mereka selama ini menjadi korban musuh-musuh mereka. Ya, mereka mengkampanyekan ‘mentalitas korban’ di masyarakat.

Hal inilah yang dihembus-hembuskan penguasa dan mayoritas yang mapan dalam lingkup demokrasi modern. Orang ditakut-takuti bakal kehilangan budaya karena diserbu imigran, kehilangan pekerjaaan karena direbut pekerja asing, kehilangan gengsi karena globalisasi, kehilangan jatidiri bangsa karena harus tunduk pada kriminalisasi sejarah. Tanpa disadari negara jatuh dalam lingkaran setan sektarianisme karena kaum minoritas yang dianggap ‘ancaman’ itu juga melawan dengan politik identitas.

Beberapa negara tertentu menerapkan ‘batas-batas’ untuk melanggengkan kekuasaan  dengan dalih mencegah konflik sektarian; kadang sangat jelas, kadang halus. Ada yang memberikan ‘jatah’ atau kuota keterwakilan di parlemen, tetapi tidak punya kekuatan apa-apa. Ada yang membuat ‘kantong-kantong’ kelompok minoritas supaya mayoritas tidak terganggu. Ada yang sengaja membuat ketimpangan penegakan hukum; terlalu mahal harganya jika kelompok yang kuat dihukum karena menghina kelompok yang lemah, tetapi jika yang terjadi sebaliknya dianggap mencerminkan ‘rasa keadilan masyarakat’.

Bentuk paling halus mungkin memang cocok dengan budaya sopan santun kita; memaksakan political correctness pada kelompok minoritas. Yang muda, yang datang belakangan, yang hanya menumpang; harus sopan, mengalah dan tunduk pada yang senior, yang lebih dulu ada, yang memiliki negeri ini secara sah. Falsafah bahasa Jawa sudah jelas: anak dan pembantu harus bicara krama pada orang tua, tetapi orang tua boleh bicara ngoko pada mereka. Sangat arif, bukan?

Anda lihat sendiri bagaimana hasil kombinasi politik identitas dan political correctness dalam ranah perpolitikan negeri ini dan juga di mancanegara. Sebuah ruang publik yang bebas tapi eksklusif, terbuka tapi saling curiga; santun tetapi tidak saling menghormati. Tidak ada pagar, tetapi kalau Anda melangkahi garis batas, Anda akan ditembak mati. Dan ini dimanfaatkan betul oleh orang-orang semacam ini. Sebuah kondisi yang – jika demokrasi, pendidikan, keterbukaan dan kedewasaan berpikir tidak membudaya – menyuburkan benih-benih otoritarianisme.

Lalu bagaimana? Jujur, saya agak sulit memikirkan cara meminimalisir hal semacam ini, boro-boro hilang total. Politik identitas saja masih diamini di negara demokratis. Apalagi Indonesia yang masyarakatnya (termasuk dalam kategori berpendidikan tinggi) cenderung senang dengan hal-hal yang nampak di permukaan. Identitas itu kan sejatinya hanya ‘bungkus’. Tetapi karena nampak jelas, orang Indonesia bukan main bangga dan hebohnya.

Saya sedih ketika ‘orang-orang waras’ di negeri ini, yang tidak hanya melihat kulit tetapi lebih kepada isi, juga menjadi korban karena dianggap memihak lawan. Dinista, dihujat, dikafirkan; jauh lebih kasar dan sadis daripada yang dilakukan ‘musuh’ mereka. Artinya mereka sudah tidak lagi mau mendengarkan ajaran yang sehat. Mereka memilih yang berteriak paling keras dan memanjakan rasa mengasihani diri mereka sendiri.

Ketika identitas kita dipakai sebagai mana mestinya, maka orang akan menghormati kita apa adanya. Anda akan dinilai dari karakter anda. Jika karakter anda baik, anda akan dinilai baik; jika buruk, anda akan dinilai buruk. Anda tidak perlu menghias lisan atau langgam, karena karakter Anda sudah berbicara. Orang yang karakternya kuat tidak memerlukan orang lain yang memantaskan lisannya untuk menyembah identitasnya. Dengan kata lain: orang baik tidak butuh penjilat.

Dr. Martin Luther King, Jr. berkata “Saya bermimpi, keempat anak saya yang masih kecil akan hidup di tengah bangsa di mana mereka akan dinilai bukan dari warna kulit mereka, tetapi dari karakter mereka.” Anda akan tetap dinilai, tapi bukan berdasarkan identitas anda. Karakter andalah yang menjaga identitas anda, bukan sebaliknya.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *