Jalan Terjal Perempuan dalam Pembangunan

Tidak mudah bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan negara.

Rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan negara nyatanya tidak terlepas dari budaya partiarki. Narasi yang dibangun selama ini adalah perempuan tidak perlu mengambil bagian dalam pembangunan negara, misalnya pengambilan keputusan terkait kebijakan yang berbasis gender. Satu hal lainnya yang memprihantinkan adalah; budaya patriarki seolah-olah menegaskan bahwa laki-laki bekerja dan memegang kendali penh atas urusan publik sementara perempuan cukup kerkutat pada urusan domestik; sumur, dapur dan kasur. Konstruksi itu tercipta dari kultur masyarakat yang membagi peran antara laki-laki dan perempuan.

“Berbicara mengenai partisipasi perempuan dalam pembangunan tentu perlu memperhatikan isu kesetaraan gender,” ujar Kalis Mardiasih dalam sebuah diskusi kecil pada Kamis (11/7/19) di sekretariat Warung Prancis UII. Diskusi itu diselenggarakan oleh Komunitas Sedekah Sekitar UII dalam tajuk Perdamaian yang Inklusif: Urgensi Keterlibatan Perempuan dalam Pembangunan Negara.

Pengarusutamaan gender sudah menjadi salah satu agenda besar dalam pembangunan Indonesia. Misalnya saja tertuang dalam GBHN 1999, UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas 2000-2004) dan dipertegas dalam instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Baru-baru ini juga ramai mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS).

Tidak hanya itu, salah satu kebijakan berskala global dimuat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) besutan PBB, pada domain ke-lima; mengupayakan kesetaraan gender. Hanya saja penerapannya masih pasang surut. Namun yang jelas, agenda itu akan terus diupayakan hingga kini.

 

Kalis yang juga aktivis kesetaraan gender ini berpendapat bahwa partisipasi perempuan dalam hal ini cukup berkembang, hanya saja masih terdapat kebijakan yang belum terlaksana seutuhnya. Hal itu merugikan pihak perempuan. Ia mencontohkan beberapa instansi atau perusahaan yang belum memberlakukan cuti haid bagi karyawan perempuan.

“Selain itu, fasilitas khusus untuk perempuan masih terbatas, seperti ruang laktasi dan sebagainya” tambah Kalis.

Sekilas, paham kesetaraan gender mendukung setiap upaya perempuan untuk terlibat dalam berbagai upaya pembangunan, seperti kebijakan publik, ekonomi, hingga pendidikan. Dilansir melalui website resmi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian, mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka.

Perempuan yang bekerja tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, tetapi juga dapat menaikkan taraf berkembangnya suatu negara, hal itu diukur dalam Indeks Kesetaraan Gender. Indeks tersebut mengukur tiga indikator utama,yaitu kesehatan reproduktif yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup ibu, pemberdayaan yang mengacu pada keterwakilan perempuan dalam kebijakan publik, dan terakhir adalah status ekonomi yang dihitung berdasarkan partisipasi perempuan dalam pekerjaan.

Menurutnya, dalam konteks pekerjaan saja, hal yang luput dari pandangan sebagain besar masyarakat adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Sebab, perempuan memiliki beban reproduksi yang lebih berat daripada laki-laki.

“Hal yang perlu diluruskan adalah; karena perempuan punya beban reproduksi yang berat (menstruasi) maka berikanlah cuti menstruasi, karena perempuan itu hamil maka sediakanlah akses layanan kesehatan dan lainnya yang berkaitan, terus ruang laktasi di kantor dan sebagainya. Itu kalo kita mau ngomongin kesetaraan. Jadi bukan dengan ‘mematikan potensi dan kualitas perempuan’. Jadi berikan fasilitas khusus agar bisa setara dalam kualitasnya,” terang perempuan yang besar sebagai nahdliyin ini.

Selain itu, dalam partisipasi pembangunan juga kerap ditemui sikap diskriminatif dari beberapa kalangan. Ia mencontohkan beberapa kelompok yang kerap mendiskreditkan makna kesetaraan yang dimaksud.

“Biasanya narasi yang muncul dari muslimah anti-feminisme ya ‘udah tau tugasnya berat, udah tau dong harusnya dimuliakan, jangan menuntut disetarakan’. “ ucap Kalis mengulang komentar kelompok yang kontra.

Indonesia Tanpa Feminis?

Berbicara mengenai kesetaraan gender tak bisa dipisahkan dari feminisme. Kalis sedikit menyinggung beberapa kelompok yang kontra terhadap kampanye kesetaraan gender, salah satunya adalah akun Instagram Indonesia Tanpa Feminis yang belakangan ini ramai di jagad media sosial. Akun ini beranggapan bahwa perempuan tidak seharusnya disetarakan, tapi dimuliakan. Penyamaan laki-laki dan perempuan dalam feminisme, menurut mereka, merupakan penghinaan terhadap kodrat manusia.

“Misalnya salah satu kampanye yang digaungkan adalah ‘‘tubuhku bukan milikku, tetapi milik Allah’, memang benar. Tetapi dalam hal ini mereka hendak mengatakan bahwa tubuh bukanlah otoritas pribadi. Apakah ketika kamu sakit lantas berkata ‘ah tidak apa-apa, tubuh saya kan milik Allah’. Kan nggak gitu juga,” jelasnya

Jika memang menentang feminisme, menurut Kalis, seharusnya kelompok anti-feminisme bisa menjelaskan secara jelas masalah-masalah perempuan seperti buruh migran dan kesehatan reproduksi melalui pengetahuan Islam yang mereka miliki agar pemahaman itu bisa menyelesaikan persoalan.

Ia menambahkan babhwa sudah banyak tafsir Islam yang lebih progresif, yang punya perspektif gender yang tujuan pandangannya itu untuk keadilan. Kalis mencontohkan tentang perkawinan Aisyah dan Nabi Muhammad yang sudah tak cocok dilakukan pada zaman sekarang. Saat ini, perkawinan anak banyak menunjukkan ketidakadilan.

“Misalnya, pernikahan anak banyak menyebabkan kekerasan terhadap perempuan, sehingga memutus kesempatan perempuan untuk bersekolah lebih lanjut. Nah, feminisme melihat kondisi perempuan di sini,” ujar penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan ini.

Menurutnya, dalam pernikahan anak, laki-laki biasanya masih bisa melanjutkan sekolah dan bekerja, berbeda dengan perempuan yang hamil dan memiliki beban reproduktif, sehingga sulit bagi perempuan untuk melanjutkan sekolah karena harus membesarkan anak. Kalis menambahkan bahwa feminisme penting sebagai alat untuk membongkar tafsir lama terhadap ayat yang tidak adil karena budaya patriarki.

Dengan menyadari perbedaan kondisi perempuan dan laki-laki, baik secara biologis maupun secara sosial, feminisme menjadi wadah untuk menyajikan keadilan dengan menilik perbedaan kondisi itu.

Kesetaraan Gender dalam Pembangunan yang Inklusif

 

Karina Utami Dewi, pembicara lain sekaligus dosen Hubungan Internasional UII juga menuturkan bahwa menciptakan kesetaraan gender artinya adalah proses mencapai kedamaian yang inklusif.

Karina berpijak pada pemikiran Johan Vincent Galtung – seorang pakar resolusi konflik berkebangsaan Norwegia – mengenai konsepsi perdamaian dunia. Galtung mendefinisikan perdamaian secara lebih lengkap yang dijabarkan dalam dua pengertian, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif (negative peace) dijabarkan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan.

Definisi ini sederhana dan mudah difahami, namun dalam realitas yang ada, masyarakat masih mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan. Melihat kenyataan ini, maka ada perluasan definisi perdamaian dan muncul-lah definisi perdamaian positif (positive peace) yaitu tidak adanya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial sehingga terbentuklah suasana yang harmoni.

Bagaimana perdamaian inklusif ini bisa berperan dalam pembangunan negara? Menurut Karina, perdamaian inklusif bisa dicapai apabila sudah tidak ada lagi pihak yang termarginalkan dan terdiskriminasi, dalam hal ini adalah perempuan.

Menurut Karina, melalui isu kesetaraan – yang mengantarkan pada perdamaian yang inklusif – pertama lebih kepada bagaimana menjamin kapasitas serta tidak adanya ketimpangan gender.

“Selain itu, ya dengan women empowerment (pemberdayaan perempuan). Mencapai women empowerment itu pertama harus ada aset lebih dalam hal ekonomi, knowledge dan knowhowujarnya.

Karina menegaskan juga bahwa isu pemberdayaan perempuan bukan hanya tugas perempuan saja, melainkan dapat menjadi human issue dan perlu terus diupayakan. (Iqbal Kamal)

Reporter bersama: Aisyah Anggraini

Grafis : Dimas Surya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *