Kekerasan di Tengah Kemelut Penggusuran

Yogyakarta, Selasa, 06/12/2017. Pada pukul setengah 10 pagi WIB, 6 buah ekskavator yang dikomandoi oleh petugas PT. Angkasa Pura I sembari dikawal aparat bergerak perlahan menuju sanggar seni milik Hermanto, Warga Desa Palihan, Kecamatan  Temon, Kulon Progo, Yogyakarta.

“Ini tanah milik saya, milik saya resmi!” ujar Hermanto pada petugas PT. Angkasa Pura 1 di tempat. Petugas tersebut menyebutkan bahwa tanah miliknya telah dibeli oleh PT. Angkasa Pura 1.

“Siapa yang beli? Saya tidak jual, ini sertifikat masih di saya!”

“Wah ini cuma tanaman gitu lo (yang akan digusur),” jawab petugas PT. Angkasa Pura 1 yang lain.

Ia bersama warga yang menolak pembangunan bandara, dibantu relawan, mencoba untuk menghalangi alat-alat berat yang merayap menuju sanggar seni. Alat berat sempat terhenti sebentar sebelum kembali merayap dari berbagai arah dan perlahan menembus serta meremuk tanaman-tanaman yang berada di sekitar bangunan tersebut.

“Silahkan (maju)! Saya pokoke berani mati dibawa bego (ekskavator),” ucap Hermanto di tengah kepungan aparat  berseragam yang membawa pentungan.

Dug!” tiba-tiba sebuah benda keras melayang ke arah kepala Hermanto, seketika darah mengucur dari keningnya. Beberapa warga dan relawan penolak bandara yang sedang bersamanya, langsung mengevakuasi Hermanto dari lokasi menuju rumah Hermanto yang berada tidak jauh dari sanggar seni, kemudian memerban luka di kepalanya.

Tak lama kemudian, patung Ganesha milik Hermanto, juga sanggar seni berikut isinya telah habis, dihancurkan oleh ekskavator PT. Angkasa Pura 1.

Kepada reporter LPM Kognisia, pria berumur 50-an tahun ini sendiri merupakan bagian dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP KP), ia telah bertahun-tahun bersikukuh menolak pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport).

Ketika ditanya, apakah yang melukai dirinya merupakan aparat, ia menjawab “Saya enggak lihat secara persis tapi di sini itu banyak aparat. Justru yang buat secara fisik itu aparat. Angkasa Pura itu cuma ngomando bego itu kesana, kesana, gitu- gitu. Dia anggap saya itu orang yang ngeyel bagi dia, kekeh gitu itu. Ha kebenaran mau dilawan iya to? Kan enggak bisa. Kebenaran itu enggak bisa diapa-apakan, itu hak Allah.”

Hari itu, tidak hanya Hermanto yang menjadi korban kekerasan aparat. Adik Hermanto, Fajar yang juga ikut menghalangi jalan ekskavator dicekik dan ditendang oleh aparat kepolisian. Sedangkan, 12 relawan yang diantaranya merupakan mahasiswa ditangkap dan direbut kameranya oleh aparat.

“Ya namanya Amar ma’ruf nahi munkar itu, siapapun kapanpun tetap ditegakkan karena niat kita itu berjuang. Sejak jaman Nabi Adam sampe Nabi Muhammad itu tidak ada yang enak, mesti banyak penghalang untuk menegakkan kebenaran, melawan kedzaliman,” ucap Hermanto saat ditemui di dekat reruntuhan sanggar seni miliknya.

Hermanto sedang menelpon keluarganya sesaat setelah menerima tindak kekerasan, dibelakang Hermanto terlihat reruntuhan sanggar seni miliknya. Foto oleh: Fathimah Zahro

Diinjak Karena Berita

A.S Rimbawana semenjak pukul setengah 9 pagi bersama kawannya Imam Ghozali telah menempuh puluhan kilometer dari Sleman menuju Kulon Progo. Mereka berdua merupakan anggota dari Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yang hendak meliput penggusuran paksa di Kulon Progo.

Setengah 10 pagi, terjadi cekcok di lokasi penggusuran. Aparat yang berjumlah hampir 300-an orang terdiri dari Polisi, TNI AD, TNI AU dan Satpol PP menyerang Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo. Rimba yang sedang meliput, dijegal dan diinjak-injak oleh sekitar 15-an aparat, rambutnya lalu dijambak dan diseret dengan jarak hingga belasan meter. Kawan-kawannya yang lain mencoba menolong Rimba, namun mereka ditahan dengan tameng aparat dan dipukul.

Ia mencoba membela diri dan berusaha mengeluarkan kartu pers yang ia bawa, “Saya ini jurnalis! saya di sini untuk meliput,” ujar Rimba. Namun, ia tetap diseret ke mobil aparat. Lantas, sekitar pukul 11 siang ia bersama relawan yang lain  dibawa menuju kantor Polres Kulon Progo dengan bus polisi.

Perlakuan kasar menyambut para relawan setibanya di kantor Polres Kulon Progo. Aparat membentak-bentak mereka, bahkan salah satu relawan bernama Muslih dipukul di perut dan disikut kepalanya. Kamera, telepon genggam, serta tas bawaan mereka ditinggal di pos jaga. Segala isi rekaman mereka seperti foto dan video yang terkait penggusuran di Kulon Progo dihapus oleh Polisi. Sedangkan, Yogi yang berasal dari UNS kehilangan telepon genggam dan kamera miliknya patah. Mereka ditahan selama hampir 10 jam di Kantor Polres Kulon Progo.

Salah satu luka yang di dapat oleh Rimba , anggota LPM Ekspresi UNY. Ia mendapat luka di punggung serta tangan pasca penyerangan yang dilakukan aparat. Foto oleh: Fathimah Zahro

Diciduk Tanpa Sebab Jelas

Sejumlah relawan dari Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo pagi itu telah bersiaga di dekat Musholla yang berada tak jauh dari sanggar seni Hermanto, bersama warga yang menolak untuk digusur, sedangkan sebagiannya lagi berada di kios Fajar yang terletak di belakang sanggar seni Hermanto. Mereka berusaha menghalau pegawai PT. Angkasa Pura 1 dan aparat.

Saat itu, ada instruksi dari kepolisian bahwa siapapun yang tidak berkepentingan di Kulon Progo agar menyingkir. Namun, Aliansi tidak menghiraukan instruksi tersebut, kepentingan mereka sudah begitu jelas: memberi dukungan bagi warga yang menolak tanahnya dijual.

Aparat menyerbu mereka, pagi itu total 12 relawan ditangkap. Diantaranya merupakan anggota pers mahasiswa yang kala itu sedang melakukan reportase. Sorenya, 3 orang relawan juga ditangkap bersama 1 warga bernama Imam Alian Nur Rahmat yang mencoba menolong 3 relawan tersebut.

Menurut keterangan Heronimus Heron, salah seorang relawan Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo, Wakil Kepala Polres Kulon Progo telah memberi alasan mengenai ditangkapnya 15 relawan tersebut. Pertama, karena mereka tidak melapor kepada pihak Desa 1 x 24 jam. Selain itu, para relawan tersebut juga tidak memberi pemberitahuan kepada kepolisian terkait aktivitas mereka serta tidak membawa identitas.

Bagi Heron pernyataan dari kepolisian tersebut tidaklah benar. Sebab sebelumnya para relawan telah melapor pada Ketua RT, mereka juga sudah membawa Kartu Tanda Pengenal, Kartu Mahasiswa serta kartu pers.

“Aktivitas kawan-kawan adalah bersama warga. Jadi, tidak perlu membuat surat pemberitahuan, kecuali kita punya acara apa gitu, yang itu rame dan kita butuh akses jalan itu baru butuh pemberitahuan. Jadi, dalam hal ini kayaknya yang kedua (memberikan pemberitahuan ke kepolisian) itu juga tidak perlu,” ujar Heron kepada Reporter Kognisia.

Heron, salah seorang relawan penolak bandara. Foto oleh: Danang Abdan

Heron juga menuturkan bahwasa Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo tidak hanya datang dari orang-orang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja, namun ada juga yang berasal dari solidaritas-solidaritas berbagai wilayah di Jawa Tengah. Alasan mereka menginap di rumah warga ialah untuk menjaga lahan dan rumah warga agar tidak digusur. “Jadi, kawan-kawan di sini tetap mendukung warga gitu apapun kegiatan bersama warga, diputuskan bersama warga. Karena kita di sini semuanya itu mendukung warga.”

Heron menjelaskan relawan yang akan datang ke Kulon Progo, diharuskan untuk mengisi presensi di posko Aliansi. Setelah itu, relawan-relawan akan live-in di rumah-rumah warga untuk membantu aktivitas warga serta mendengarkan keluh kesah dari warga yang telah lama terkena intimidasi aparat.

Selasa malam 05 Desember 2017 sekitar pukul 22:00 WIB, baru 15 aktivis yang dibawa ke Polres Kulon Progo tersebut dibebaskan, beberapa diantaranya telah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan, 1 warga yang juga ditangkap aparat, yakni Imam Alian Nur, hanya dibawa ke kantor pembangunan perumahan sore itu juga namun langsung dikembalikan.

Saat ditemui Tim Kognisia pada hari Rabu 06 Desember 2017, Aliansi Tolak Bandara Kulon Progo bersama tim kuasa hukum dan korban kekerasan aparat sedang melakukan koordinasi untuk memproses tindak kekerasan tersebut lewat jalur hukum.

Pemuda Desa Digebuk Aparat

Tangis haru pecah mengiringi kepulangan Alian. Foto oleh: Fathimah Zahro

Tangis haru terlihat dari sekumpulan warga ketika Imam Alian Nur Rahmat, pemuda Desa Glagah berumur 21 tahun itu, kembali ke keluarganya. Alian sebelumnya dituduh memukul aparat, lantas ia ditangkap bersama sejumlah relawan mahasiswa, lalu digebuki oleh aparat.

Minto, paman dari Alian menceritakan kembali kejadian yang dialami oleh keponakannya kepada Reporter Kognisia. Saat itu, ia bersama beberapa warga termasuk Alian dan para relawan mencoba memberitahu operator ekskavator yang sedang masuk ke area sekitar rumah tetangganya yang bernama Sukas agar jangan merobohkan peralatan milik Sukas. Namun, tiba-tiba terjadi keributan dan Alian dituduh memukul aparat. Alian membela dirinya, ia tidak memukul siapapun, namun tetap saja aparat memukuli dirinya.

Sutomo, Ayah Alian menambahkan bahwa anaknya sebenarnya kasihan dengan mahasiswa yang dipukuli oleh aparat dan berniat untuk menolong mereka. Namun, Alian justru ikut ditangkap bahkan diseret-seret oleh aparat. “Tapi gimana saya mau nolong? Enggak kuat kan? Malah nanti saya ditangkap juga.”

Berdasarkan penuturan Sutomo, sepanjang hari Selasa kemarin cukup sering terjadi bentrokan. Baginya, pihak aparat begitu arogan, bahkan jika warga mau menolong saja langsung ditangkap aparat. Namun, mereka memiliki bantuan hukum dari luar yang mengurus tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

“Kita kan tidak pernah melawan, tidak pernah memukul, kalau kita memukul kan  kita bawa alat. Kita kan selalu tangan kosong, sedangkan  dia (aparat) kan bawa pentung, bawa tembak air mata, pake topeng,” ujar Minto menambahkan penuturan Sutomo.

Sistem Ganti-Rugi Milik Korban Penggusuran

Kondisi area penggusuran saat ini. Foto oleh: Fathimah Zahro

Sebelumnya. proyek New Yogyakarta International Airport telah menetapkan 5 desa yang digusur, yakni: Desa Jangkaran, Desa Sihutan, Desa Palihan, Desa Glagah dan Desa Bulrejo. Dari kelima desa tersebut, saat ini hanya tersisa Desa Palihan dan Desa Glagah, sisanya telah lebur oleh ganasnya ekskavator. Namun berdasarkan dari penuturan warga sekitar, sistem ganti-rugi dari PT. Angkasa Pura 1 begitu merepotkan dan tidak menguntungkan warga yang menjadi korban penggusuran.

Hermanto warga Desa Palihan beranggapan bahwa sistem ganti-rugi dari PT. Angkasa Pura 1 tidak adil bagi warga. “Banyak bohongnya e, yang dulu yang pertama pro itu Pak Lek saya, ini sampe sekarang aja  belum lunas kok. Masih nggandul, mungkin masih 25% atau berapa, bahkan belakangan ini kadang-kadang cuman sistem seperti separo terus dp gitu aja.”

Hermanto lanjut menjelaskan bahwa warga yang digusur akan menjaminkan sertifikat miliknya di 3 bank: Mandiri, BNI dan BRI yang dikoordinir dan dialokasikan oleh PT. Angkasa Pura 1. Akan tetapi, warga tidak dapat mengambil uang yang berada di bank tersebut dalam bentuk kas (cash), melainkan dalam bentuk barang, seperti motor atau mobil dengan memberi pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak PT. Angkasa Pura 1. Sehingga, dalam pandangan Hermanto, ada kongkalikong antara Angkasa Pura dengan showroom.

Dadi antara showroom dengan angkasa pura 1 pintu, nek model makelar menjualkan seratus  opo sepuluh mobil itu pasti dapat 1 (PT. Angkasa Pura 1). Padahal yang dijual disini, 200 mobilan ada kok. Ha tu kan timnya (tim ganti-rugi PT. Angkasa Pura 1) jadi kaya to,” lanjut Hermanto dengan nada tinggi.

Tempat relokasi yang terletak di lahan Pedukuhan Palihan II dan Desa Janten pun, bagi warga, dirasa masih merugikan dan merepotkan. Berdasarkan penuturan Hermanto, setiap satu kepala keluarga akan diberikan tanah seluas 200 meter, namun karena tanah tersebut masuk di kas desa maka tidak dapat menjadi hak milik. Warga masih diharuskan untuk membayar tanah sebesar Rp. 500.000 hingga Rp. 900.000 per meternya. Tidak ada bangunan jadi untuk ditempati , warga sendiri yang diharuskan membangun rumahnya itupun setelah bahan bakunya telah diberikan oleh PT. Angkasa Pura 1, hasil ganti rugi yang tersimpan di bank.

“Tapi, sementara itu kota bandara kan meluas, untuk kepentingan kantor dan sebagainya maka itu kan tanahnya tanah Negara atau tanahnya siapa itu. Sekarang kamu (warga yang tinggal di tempat relokasi) harus pergi, tak ganti rumahnya. Ganti rugi rumahnya to? Artinya kan habis dia, wes ra nduwe opo-opo,” lanjut Hermanto yang khawatir akan digusur lagi nantinya jika tinggal di tempat relokasi.

Pernyataan “menolak bandara” di depan pintu salah seorang warga bernama Guntoro. Foto oleh: Fathimah Zahro

Sutomo dan Minto merupakan warga Desa Glagah yang menolak penggusuran paksa PT. Angkasa Pura 1. Warga Desa Glagah semenjak dulu memang sudah sepakat untuk menolak pembangunan, saat ini ditambah dengan daerah Palihan maka ada total sekitar 38 rumah yang bertahan di dalam area pagar pembangunan bandara. Mereka mengkhawatirkan nantinya di pembangunan tahap kedua, akan lebih banyak rumah yang digusur, bahkan ada kemungkinan satu kecamatan akan terkena gusur untuk pembangunan seperti hotel, kantor, pusat perbelanjaan, dll.

Mereka meyayangkan tindakan pemerintah yang tidak memedulikan nasib petani di Desa Glagah, justru mereka yang bertahan hidup dengan bertani mereka tersebut dianggap melawan pemerintah. Mereka pun tidak mendapatkan ganti-rugi, pasalnya tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka diklaim bagian dari Sultan Ground dan Pakualaman Ground.

Padahal, tanah tersebut memang sudah dikelola dari orang-tua mereka semenjak puluhan tahun yang lalu. “Kronologinya gimana sultan ground-nya gimana? Emang saya ngerti? Ya setahu saya ya dari dulu tu nggak ada tuannya, ya makanya digarap. Itu yang sawah itu semuanya diminta semua (atas dasar sultan ground) sedangkan itu menghidupi kita juga,” ucap Sutomo.

Saat ditanya oleh Reporter Kognisia, apakah mereka pernah protes langsung ke Sultan. Pria bersaudara tersebut menyebutkan sudah pernah protes ketika masih tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) sebelum organisasi tersebut bubar. Mereka kecewa dengan Sultan yang tidak pernah menemui warganya secara langsung. “Apalagi Sultan, orang kepala desa aja enggak mau (menemui),” keluh Sutomo.

Mereka juga pernah protes ke PT. Angkasa Pura 1, namun setiap kali datang ke sana mereka diintimidasi dan ditakut-takuti. “Kita kalau datang ke sana adanya kita rugi, paling-paling kita dijebak, nanti paling diintimidasi ditakut-takutin. Banyak warga yang takut, yang masih bertahan itu ya saringan-saringan,” ujar Minto.

Mereka berharap pemerintah sadar bahwa yang diinginkan oleh warga ialah untuk tetap dapat menghidupi diri mereka dengan lahan pertanian yang mereka miliki dan meneruskannya ke anak-cucu mereka. “Coba aja, kita kan punya anak di rantau, la harapan anaknya kan dia pulang ke kampung halamannya, ke tanah kelahirannya. Terus tiba-tiba di kampung halamannya jadi seperti ini, sudah jadi bandara. Terus, dia mau pulang kemana?” tutup Minto. (Satya)

Reporter: Fathimah Zahro

Transkrip: Shifak

 

Foto headline: Rizal Purnawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *