Polemik Mahasiswa versus SPP Mahal, Bagaimana UII Melihat Fenomena ini?

Oleh: Muhammad Athaya Afnanda    

Pada Rabu (11/1) lalu, viral kisah tragis tentang perjuangan seorang mahasiswi berinisial RNF untuk dapat melanjutkan kuliahnya di salah satu universitas bergengsi di Yogyakarta. Kasus ini mengundang banyak sekali respons dari berbagai kalangan masyarakat, karena dianggap telah kembali menambah rentetan noda hitam dalam sistem pendidikan perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

Kasus ini pertama kali di unggah oleh akun Twitter Ganta Semendawai (@rgantas). Terpantau hingga Senin (16/1), unggahan tersebut telah mencapai angka 4 juta penayangan, 19.700 retweet dan disukai oleh 62.700 ribu orang. Dalam postingan itu sendiri, terpampang jelas bagaimana sulitnya perjuangan RNF yang berasal dari keluarga yang tergolong tidak mampu untuk dapat menempuh pendidikan tinggi di Indonesia.

Berkaca dari kasus meninggalnya RNF, tentu ini menjadi tamparan tersendiri khususnya bagi kampus-kampus yang ada di Yogyakarta. Terutama bagi Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu kampus swasta yang cukup mumpuni yang ada di Yogyakarta. Saat ini, UII menjadi salah satu kampus di Yogyakarta yang memiliki besaran biaya SPP yang cukup besar. Bahkan, berkembang pula stigma di masyarakat serta mahasiswa Jogja yang menganggap UII sebagai kampusnya para anak ‘sultan’.

SPP UII dalam Kacamata Mahasiswa Part Time

Sebagai salah satu kampus swasta yang terkenal ‘mahal’ di Yogyakarta, potensi untuk menimbulkan kasus-kasus baru seperti meninggalnya RNF tentu ada. Mengingat tidak semua mahasiswa yang berkuliah di UII merupakan orang-orang yang berasal dari keluarga yang serba ada. Beberapa dari mereka harus melakukan pekerjaan part time untuk sekadar menambah uang jajan atau agar dapat tetap berkuliah.

Hal ini juga diamini oleh Genta (17/1), mahasiswa prodi Hubungan Internasional yang juga turut melakukan kerja part time untuk dapat menyambung kuliahnya. Menurut Genta, potensi untuk terciptanya kasus-kasus seperti RNF di lingkungan UII sangat besar. Apalagi berdasarkan pengalaman pribadi, pekerjaan part time biasanya menempatkan mahasiswa di shift malam sampai subuh dan itu tentu mengurangi waktu istirahat.

“Sebagai orang yang pernah merasakan dunia part time untuk membayar uang SPP, tentu kejadian seperti itu dapat terulang kembali. Saya aja dapat kerjanya sore dan itu sampai malam jam 3 subuh, jadi ya paling waktu istirahat itu cuman 2-3 jam aja. Kalau ditanya cape apa nggaknya ya pasti cape sih,” ujarnya.

Genta juga menambahkan bahwa dia merasa masih belum mendapatkan fasilitas yang sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan untuk membayar SPP selama ini. Menurutnya, sebagai seorang mahasiswa yang masih merasakan sistem perkuliahan yang hybrid atau online-offline, SPP saat ini masih terlalu mahal baginya.

Bagaimana KM UII Menyiasati Mahasiswa yang Butuh Keringanan dalam Pembayaran SPP?

Dalam upaya menggali informasi mengenai bagaimana KM UII merespons kejadian ini, kami melakukan konfirmasi langsung dengan beberapa pihak terkait di lingkungan UII. Terutama kepada pihak-pihak yang sering bersinggungan langsung dengan permasalahan SPP mahasiswa.

Perlu diketahui, mekanisme permohonan dispensasi dan pemotongan SPP harus melalui proses pengaduan terlebih dahulu, baru setelahnya akan disampaikan melalui audiensi dengan pihak terkait. Prosesnya pun bervariatif, bisa melalui DPM dan LEM atau langsung ke pihak Rektorat dari Universitas Islam Indonesia.

DPM UII sebagai salah satu lembaga penyambung lidah perjuangan mahasiswa mengakui, bahwa banyak sekali aduan-aduan terkait permasalahan SPP. Biasanya, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti permohonan untuk dispensasi serta penurunan harga SPP. 

Rakan (19/1) dari Komisi II DPM UII menyampaikan bahwasanya DPM sendiri melakukan kolaborasi dengan pihak LEM UII guna menampung aspirasi mahasiswa yang ingin disampaikan untuk kemudian, akan dibawa ke pihak universitas untuk ditindaklanjuti.

“Kalo dari DPM UII khususnya kami dari Komisi 2, kami sangat terbuka menerima aduan mahasiswa yang mengalami permasalahan finansial guna membayar SPP kuliah. Permasalahan mahasiswa yang sering dijumpai adalah permohonan dispensasi waktu perpanjangan pembayaran SPP serta pemotongan SPP di masa Covid-19 beberapa waktu yang lalu. Untuk menindaklanjuti hal ini, kami melakukan kerjasama dengan pihak LEM untuk menginventaris keluhan-keluhan mahasiswa tersebut yang pada kemudian akan kami tujukan dalam rapat audiensi dengan pihak kampus,” jelas Rakan.

Rakan juga turut memberikan informasi bahwa setiap DPM dan LEM di tiap-tiap Fakultas di UII, memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam upaya menyelesaikan permasalahan SPP mahasiswa di lingkungannya.

“Sebenarnya jika kita lihat, setiap Fakultas ini memiliki kulturnya masing-masing dalam menanggapi permasalahan permohonan potongan SPP dari mahasiswa ini, seperti contohnya di FIAI itu ada dana talangan yang diberikan kepada mahasiswa yang mengalami permasalahan finansial dengan mekanisme pengembalian tertentu,” ungkap Rakan.

Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Beni Suranto (19/1) turut membenarkan, bahwa mekanisme dari tiap Fakultas dalam menyelesaikan permasalahan mahasiswa yang meminta dispensasi serta pemotongan SPP itu berbeda-beda. Pihak Rektorat sendiri akan memberikan opsi tertentu, apabila tidak ada titik temu dalam permasalahan ini.

“Biasanya memang tergantung fakultas ya kebijakannya seperti apa, karena kalau di UII ini kan ga semua mahasiswanya ga bisa bayar kan. Nah, kalau benar-benar mahasiswanya ga bisa bayar, normatifnya dari pihak kampus akan diarahkan untuk cuti itu normatifnya. Tapi kami juga ada beberapa opsi penyelesaian sebenarnya,” jelas Beni.

Penyelesaian yang dimaksud oleh pihak Rektorat di sini adalah diberikan informasi-informasi mengenai beasiswa baik itu sifatnya internal maupun eksternal, seperti beasiswa dari fakultas, beasiswa Baznas, dan beasiswa dari bank mitra UII. Terkadang juga pihak rektorat mengandalkan uluran-uluran tangan dari para alumni untuk turut membantu adanya mahasiswa yang benar-benar membutuhkan bantuan. Beberapa tahun terakhir, alumni UII kerap melakukan pengumpulan donasi yang diperuntukkan untuk mahasiswa-mahasiswa yang benar-benar tidak mampu membayar SPP.

Hal ini pun sebenarnya dapat dikatakan masih belum efektif dalam menyelesaikan permasalahan ini. Rata-rata beasiswa yang ditawarkan oleh pihak internal maupun eksternal itu memiliki kuota khusus dan tidak dapat menjangkau seluruh mahasiswa yang membutuhkan bantuan. Begitu pula dengan uluran tangan yang diberikan para alumni UII itu sendiri, jumlahnya tidak terlalu besar dan hanya dapat menjangkau beberapa mahasiswa saja.

Namun menurut Beni, pihaknya akan memanggil mahasiswa yang berada dalam kasus-kasus tertentu seperti misal sudah berada di semester akhir atau keluarganya ditimpa musibah seperti bangkrut, bencana alam, serta hal-hal kasuistik lainnya.

“Pertama kami akan ajak diskusi dulu untuk mencari jalannya. Kalau benar-benar sudah tidak ada jalan baru ya baru kami beri bantuan juga, jadi dana yang kami siapkan untuk hal-hal yang urgent kami alihkan kesitu dulu,” tambahnya.

Pihak Rektorat sangat terbuka terhadap segala isu seperti permasalahan SPP. Namun, Rektorat juga tidak dapat memberikan solusi jika tidak ada laporan yang masuk. Padahal menurut pihak Rektorat, perwakilan DPM dan LEM saat ini sebenarnya sangat proaktif dalam memberikan informasi mengenai mahasiswa-mahasiswa yang sangat membutuhkan, tidak tersampaikannya informasi lah yang terkadang menimbulkan polemik dan dinamika-dinamika seperti ini.


Penyunting: Haidhar F. Wardoyo

Grafis: Zaid Hafizhun Alim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *