Menyoal Kebijakan Keringanan SPP

Pandemi Covid-19 merupakan bencana besar yang menyebabkan berbagai aspek mengalami hambatan, misalnya perekonomianm. Salah satu pihak yang merasakan beban berat yang disebabkan oleh Covid-19 adalah mahasiswa, tak terkecuali sebagian besar orang tuanya yang menanggung biaya pendidikan.

UII merupakan satu dari sekian banyak perguruan tinggi yang mengambil keputusan cepat dalam merespon pandemi yang sedang terjadi saat ini. Salah satunya, kebijakan peringanan SPP untuk mahasiswa UII terdampak.

Pada Kamis (02/04/20) melalui akun Instagram resminya, @uiiyogyakarta, rektorat mengumumkan kebijakan keringanan SPP selama masa pandemi Covid-19. Dalam postingannya, terdapat empat kategori mahasiswa yang bisa mengajukan keringanan SPP. Empat kategori yang bisa melakukan pengajuan untuk keringanan SPP yaitu; 1) Berat atau terhenti dengan bantuan sebesar Rp 750,000.00, 2) Sedang dengan bantuan sebesar Rp 500,000.00, 3) Ringan atau tertunda dengan dan 4) Tidak terdampak yang masing-masing mendapatkan bantuan Rp 0. Informasi lebih lanjut bisa diakses melalui https://www.uii.ac.id/covid-19/

Meringankan atau Memberatkan?

Meski demikian, sebagian mahasiswa masih mengeluhkan kebijakan tersebut. Oleh karenanya, Kognisia berinisiatif untuk membuka forum dengan cara membuka sesi Question and Answer (QnA) di akun Instagram resmi @lpmkognisia mengenai kebijakan keringanan SPP.

Dari hasil jajak pendapat kami melalui Instagram beberapa mahasiswa merespon dengan berbagai tanggapan baik berupa pendapat atau pertanyaan.  Salah satu  pendapat yang disampaikan oleh pengguna akun @kavcadio. Ia berujar jika kebijakan ini tidak terlalu membantu teman-teman mahasiswa secara umum, mengingat masing-masing prodi (program studi) memiliki nominal SPP yang berbeda.

“Aku nggak tau proses di balik layarnya gimana, tapi angka 500-750 ribu itu kayaknya kurang memberi keringangan mengingat bilangan tagihan SPP yang (jika dirata-rata secara kasar untuk semua semester di semua prodi) berkisar 4 jutaan. Di samping itu, ada SPP yang nilainya selisi jauh dari satu prodi dengan prodi lainnya, membuatku menilai subsidi ini alokasinya kurang merata. Padahal sepenglihatan-ku, yayasan dan universitas uangnya pasti ada saja untuk memberikan subisidi yang lebih banyak, bahkan buat menambah tenggat tagihan angsuran catur dharmanya ke semester depan (mungkin).”

Selain @kavcadio, terdapat pengguna akun Instagram lain dengan nama pengguna @byeiqbal30 memberikan pendapat jika kebijakan yang telah dibuat ini tidak memberikan dampak yang signifikan bagi teman-teman mahasiswa.

“Gak ada ringan-ringannya (kebijakan keringangan SPP), kirain itu bakalan dipotong berapa persen biar enteng. Tapi kayaknya sama aja. Missal dari 4 juta dibayar menjadi 2 juta sekian buat biaya admin dan listrik kampus, tapi kalo seperti ini sih sama aja, berat.”

Kemudian, pengguna akun dengan nama pengguna @karinnpra juga memberikan respon  berupa pertanyaan yang ditujukan untuk pihak kampus. Ia menanyakan bagaimana pihak kampus menilai mahasiswa dalam mendapatkan bantuan dari kebijakan yang sudah ada. Kemudian, apakah surat permohonan keringanan SPP itu akan disetujui begitu saja atau masih ada poin-poin lain yang harus dipenuhi untuk mendapat persetujuan, dan bagaimana dari pihak kampus menentukan mahasiswa-mahasiswa yang menyampaikan permohonan termasuk dalam kategori apa dari empat kategori yang sudah disepakati.

Di sisi lain, mahasiswa Ilmu Ekonomi angkatan 2017, Ian Nugroho, juga memperjuangkan keringanan SPP melalui petisi melalui kanal change.org . Ian yang kami hubungi melalui Whatsapp menyatakan bahwa ia tergerak karena melihat keluhan dari teman-teman di grup angkatan yang mempertanyakan tentang keringanan SPP. Ia bersama empat orang temannya dengan inisiatif pribadi menggalang tanda tangan melalui petisi yang mereka sebarkan karena menurut mereka semua elemen pasti terdampak Covid-19, apalagi yang orang tuanya bekerja sebagi buruh.

Dorongan lain yang membuat Ian dan teman-temannya tergerak untuk menggalang tanda tangan ialah ketidakpercayaan mereka terhadap lembaga mahasiswa di UII

“Enggak bisa diharapkan mas DPM itu, ya udah kita gerak aja” tutur Ian, 02/April/2020.

Hasilnya, per 2 April, terdapat 770 tanda tangan terhimpun, 12.613 yang membuka petisi dan 2.932 yang membagikan. Setelah kami konfirmasi ulang per 10 April terkait perkembangan petisi, sampai saat ini, Ian belum memberikan jawaban.

Untuk menindaklanjuti semua pendapat dan kritik yang disampaikan oleh teman-teman mahasiswa. LPM Kognisia berusaha untuk melakukan komunikasi (02/04/20) ke Sekretasi Jenderal (Sekjen) dari Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tingkat universitas, Muhammad Maulana Bimasakti (Bima) terkait langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh DPM.

Dalam keterangannya, Bima, menyebutkan jika DPM U bersama dengan LEM U telah menyampaikan semua aspirasi mahasiswa terkait kebijakan keringanan SPP. “Ketika audiensi, kami bersama LEM U telah menyampaikan aspirasi dari mahasiswa kepada rektorat disertai rasionalisasi dan data berupa hasil kuisioner yang telah disebar dengan responden sebanyak 4091 mahasiswa.” Ujar Bima.

Ketua LEM U, Pancar Setiabudi, juga memberikan pendapatnya terkait aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa terkait kebijakan keringanan SPP. Namun untuk menindaklanjuti hal itu, perlu kooridnasi yang lebih dari pihak LEM U kepada pihak DPM U. “Keputusan nya seperti itu. Kalo nanya langkah konkret teman teman LEM, kami harus koordinasikan sama teman teman DPM.” Jawab Pancar (05/04/20) ketika ditanyai langkah-langkah seperti apa yang akan diambil oleh LEM untuk menindaklanjuti kebijakan keringanan SPP. Pancar juga berkomentar jika pada masa-masa seperti ini akan sulit untuk melakukan komunikasi kepada teman-teman mahasiswa karena banyak yang sudah pulang ke kampung halaman.

Untuk mendapat informasi yang lebih mendetail, LPM Kognisia juga  menghubungi Kabid Advokasi dari LEM UII, Sansan, melaui daring Whatsapp. Sansan menjelaskan latar belakang dari penyebaran kuesioner tak lama setelah kebijakan keringanan SPP diberlakukan. Sansan mengatakan jika tujuan dari penyebaran kuesioner itu ialah untuk melihat respon dari mahasiswa terkait kebijakan keringanan SPP yang dikeluarkan oleh pihak kampus. Selain itu, Sansan menambahkan jika LEM U tidak hanya berpatokan kepada kuesioner, LEM U juga melakukan observasi di berbagai platform.

Sebagai bukti, Sansan juga bersedia untuk memberikan data presentase dari kuesioner yang telah disebarkan. Terdapat tiga presentase pernyataan yang diberikan Sansan kepada kami, dengan total responden 4091 respon; Pertanyaan 1 terakit dengan relevansi pengurangan pembayaran SPP, sejumlah 97,5% respons menyatakan pendapat setuju. Pertanyaan kedua terkait relevansi dispensasi RPP, mendapatkan respon setuju sejumlah 96,6%. Pertanyaan terakhir, terkait relevansi perpanjangan pembayaran SPP, dengan jumlah respon setuju sebanyak 96.6%.

Tanggapan Rektorat

Beni menuturkan antara pihak kampus bersama dengan Lembaga kemahasiswaan (DPM dan LEM UII) selalu berkoordinasi satu sama lain. “Kebijakan keringanan SPP dan perbaikan kualitas Kuliah Daring menjadi fokus saat ini.”

Terkait bantuan logistik, Beni menyampaikan jika dari pihak kampus sendiri sudah melakukan aksi membagi paket sembako untuk warga disekitaran Kampus terpadu UII yang terdampak. Untuk kebijakan bantuan logistik untuk mahasiswa terdampak, Beni mengakui jika belum ada kebijakan untuk bantuan logistik bagi mahasiswa.

“Universitas terus mengkaji perkembangan situasi termasuk laporan-laporan yang masuk melalui Call Center Satgas COVID-19 UII. Lembaga Kemahasiswaan (DPM dan LEM UII) juga ikut terlibat aktif dalam pembahasan bidang kemahasiswaan.” Jelasnya.

Beni juga menambahkan jika pembahasan mengenai bantuan logistik untuk mahasiswa sedang dibahas bersama dengan bidang Kemahasiswaan fakultas jikalau ada mahasiswa yang melakukan pelaporan ke bagian fakultas. “Untuk rencana/wacana (bantuan logistik) tentu tidak bisa dipublikasikan sebelum ada kebijakan/pengumuman resmi dari Pimpinan Universitas.”

Bersamaan dengan itu, Beni mengungkapkan untuk kebijakan keringanan SPP mesti ditanyakan secara langsung kepada Rektor dan Wakil Rektor, “Untuk kebijakan SPP itu ranahnya Pimpinan (Rektor dan Wakil Rektor) jadi saya tidak punya kewenangan menyampaikan.” Tutur Beni.

Kami mencoba meminta konfirmasi melalui surat elektronik yang ditujukan kepada Rektor UII, Fathul Wahid, namun belum mendapat respon bahkan sejak laporan ini diterbitkan. Kami masih menunggu keterangan terkait pengambilan keputusan tersebut dan kelanjutannya akan kami muat dalam laporan ini mengingat rasa skeptis mahasiswa akan kebijakan tersebut.

*Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada pihak Rektorat Universitas Islam Indonesia, kami tetap menunggu respon dari pihak Rektorat selaku pemangku kebijakan yang nantinya akan kami muat dalam laporan ini. Terimakasih, semoga Allah meridhoi UII.


Penulis: Ladhena Bernadetha & Marhamah Ika Putri

Reporter: Citra Mediant, Marhamah Ika Putri & Ladhena Bernadetha

Ilustrasi: Afifah Yulia Umardi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *