R.I.P Kelembagaan FPSB

Untuk mengenang kematian dan jasa-jasa kelembagaan di FPSB , maka dari ini perlu untuk mendoakan arwah para pejuang kelembagaan, dengan ini “mengheningkan cipta dimulai”, selesai.

Kelembagaan FPSB di isyaatkan seperti kuburan. Orang-orang hanya berduka, datang untuk berziarah(mendoakan) agar tenang di alamnya. Bunga kembang bertaburan di area kelembagaan. Kelembagaan FPSB hanya tinggal memorial hitam putih di kenangan semuanya.

Orang-orang yang menjalankan keorganisasian kelembagaan FPSB justru hanya jihad pada kematian. Batu, krikil, kayu rongsokan, sampah, bom molotov merupakan bagian dari cacian dan makian yang menjadi momok setiap harinya. Ada yang justru menaruh nama di batu nisannya untuk dikebumikan di kelembagaan. Ada pula yang mengangkat kedua tangan dan memilih untuk pergi atau diam-diam kabur dari “jihad kematian”.

Realitas Vs Stigma

Hari ini, kelembagaan FPSB terutama DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) dan LEM (Lembaga Eksekutf Mahasiswa) dalam bayang-bayang kemunduran. Menjadi titik sejarah pertama, kursi DPM FPSB di isi oleh empat orang dalam 20 tahun terakhir.  Ketika satu orang turun menjadi mandatoris (Ketua Lem), artinya DPM hanya bisa dipimpin oleh tiga orang. Pada periode 2015/2016, saat itu juga perangkat DPM hanya empat orang. Sama dengan jumlah perangkat jabatan dengan periode sekarang. Tapi periode itu yang terlantik lima orang, walapun pada perjalanannya satu orang mundur di tengah berlangsungnya  organisasi ini berjalan. Jadi tidak apple to apple untuk disamakan dengan periode itu, karena pada hakikatnya mereka terlantik dengan lima orang. Bagaiamanpun caranya, tetap! lembaran sejarah baru, periode 2018/2019 lah yang tercatat di halaman pertama. Dengan demikian, judul bukunya adalah  “R.I.P Kelembagaan FPSB”.

Penulis juga tidak bisa secara fanatik membenarkan diri dan membela secara habis-habisan, kalau periode sebelumnya tidak bersalah. Karena penulis juga pernah menjabat pada periode sebelumnya. Tetap! di dalam lembaran sejarah baru, periode sebelumnya menjadi bagian yang tercatat dari halaman kata pengantar.  Otokritiknya seperti ini, seharusnya periode sebelumnya punya tanggungjawab moril dalam proses regenerasi yang berlansung diperiode kedepan. Selanjutnya munculah pertanyaan, langkah kongkrit apa yang dilakukan DPM sebelumnya?

Tidak ada langkah kongkrit! Bahkan kalau kita perlu buat satu pertanyaan dalam satu paragraf ini, percaya dan tidak percaya semua menyepakati kalau masih adanya pertanyaan seperti ini. Apa DPM? Apa LEM? Apa LPM? Apa Fungsi DPM dan LEM? Apa untungnya masuknya DPM dan LEM? Ngapain aja sih DPM dan LEM? Kenapa harus masuk DPM dan LEM? Sepenting apa kita harus masuk DPM dan LEM? ganggu kuliah ga masuk DPM dan LEM? kalau yang daftar DPM sedikit, emangnya Kenapa? Yang bisa menjawab ini, pastinya dia yang saat ini sedang telibat di DPM dan LEM. Dari ribuan mahasiswa hanya empat orang yang bisa menjawab. Yang tau dengan jawabannya, pastinya dia hanya bereaksi “ohhhhhh begitu toh”, yang tidak tau atau tidak mau tau, cuman mengatakan “bodo amat”. Jadi bisa hitung sendiri, berapa jumlah yang tau, tidak tau dan tidak mau tau, dari ribuan mahasiswa FPSB? Tercatat dari angkatan 2015-2018, ada sekitar 2060an-4 yang bisa menjawab, berarti bekurang menjadi 2056 Mahasiswa FPSB yang tau, tidak tau dan tidak mau tau.

Nantinya, dari analisa survei abal-abal tersebut, belum lagi ditambah dengan mahasiswa yang terbungkus oleh stigma akar rumput “rumput-rumput senior”. Jelas Rumputnya berwarna merah ya (sebut saja merah)!  kalau hijau haram hukumnya, sudah jelas itu simbolisasi HMI yang di lemparkan ke Lembaga. Kalau bagian ini menjadi kewajiban dua dekade terakhir, yang tidak boleh terlepaskan dari akarnya. Hebatnya akar rumput ini, terus menjalar melebar kesetiap sudut-sudut kelas semua jurusan HI,PBI, Psikologi dan Komunikasi. Standing applause, untuk golongan akar rumput merah.

Lembaga dan golkar

Justu kita harus mendukung penuh gerakan Golkar (Golongan Akar Rumput), karena dalam pemahaman ilmiahnya, ini merupakan social movement. Berangkat dari keresahan masa lalu, masa kini dan masa depan. Pada intinya, hanya melawan kehegemonian kekuasaan dari golongan tertentu, bisa anda pahami sendiri apa golongan itu?siapa golongan itu? Pada awanya golkar ini muncul dari keresahan fakultasnya, diwaktu kejayaan kehegemonian masih berkuasa di semua titik. Sekarang, justru berbelok pada dorongan menaklukkan kehegemonian di Univesitas.

Lantas, apakah golkar masih bergerilya di fakultasnya sendiri? memang aspirasi keresahan itu, sudah coba dijawab oleh pimpinan kelembagaan di FPSB untuk melawan stigma, dengan dibuktikan tidak adanya satupun kader golongan hijau melakukan kegiatan gerilyanya di kegiatan kelembagaan. Tidak cukup sampai disitu! Percobaan itu pun tidak ampuh.  Justru golkar sudah lebih dulu mengambil alih saklar “kekuatan sosial” yang ada di FPSB. kekuatan sosial yang dimaksud adalah mahasiswa yang tau, tidak tau dan tidak mau tau. Mahasiswa ini, terjaring dibawah kekuatan kolektif golkar.  Kekuatan sosial ini menjadi senjata ampuh golkar dalam menghidup dan mematikan, mematikan dan menghidupkan kembali hingga memberikan depresi ke lembaga.

Saat ini, saklar sedang dimatikan oleh golkar. Jadi, jangan heran melihat kelembagaan di FPSB sedang gelap gulita. Justu yang bisa masuk kelembaga, mereka yang mempunyai kekuatan lebih “indigo”, kelebihan dalam melihat hantu-hantu di lembaga. Terus, apakah saat ini yang sedang menjalankan keorganisasian di kelembagaan FPSB, orang-orang yang indigo? Penulis tidak bisa menjawab, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Harapan optimisme dari kelembagaan hanya kepada mereka yang kasihan dengan kelembagaan. Tidak terdaftar, berapa jumlah mereka yang kasihan dalam survei abal-abal penulis. Mereka yang kasihan inilah yang menjadi potensi besar kelembagaan dalam merangkul keberdayaannya. Pramodya Ananta Toer, Sastarawan terkenal dalam sejarah bangsa Indonesia lah yang mampu membantu mengoyak jawaban dan tantangan kelembagaan. Sejarahnya tertulis dalam novelnya berjudul “Bumi Manusia”, orang kasihan mereka yang berkemauan baik tapi tidak mampu berbuat, kasihan adalah kemewahan dan kelemahan. Tapi orang terpujilah, yang mampu melakukan kemauan baiknya. Jadi, kalian yang duduk di kursi DPM sekarang adalah bagian dari golongan orang yang kasihan dan terpuji. Jadikan mereka yang kasihan menjadi terpuji untuk melakukan kebaikannya di kelembagaan.

Pada dasarnya, hal yang tidak bisa dibantahkan adalah menghapus sebuah golongan. Bahkan, dalam islam pun pembicaraan mengenai golongan hadir dalam hadis-hadis sahih. Apalagi Indonesia yang sudah berumur 73, masih tergolong-tergolong atau terkotak-kotak secara identitas, kepentingan dan kekuasaan. Berarti sebuah golongan itu memang benar adanya. Boro-boro mau menghilangkan persoalan itu di Fakultas kita, pesimis hal itu dilakukan.  kecurigaan dan ketidakpercayaan masih menjadi darah daging kita.

Setiap orang berhak memilih sebuah golongan manapun, itu menjadi sebuah haknya. Sekarang, waktunya setiap golongan pada intinya punya kepentingan bersama yang paling dasar yaitu berbuat kebaikan. Sudah waktunya kelembagaan menarik dan merebut semua tangan tuhan di setiap golongan untuk bersama-sama bersepakat menempelkan di kletekan saklar. Mau menghidupkan kembali atau tidak, itu piihan anda bersama!

 

oleh: Firman Haitami (Ketua DPM FPSB periode 2017/2018).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *