Sekolah Advokasi dan Panduan Melawan Represi

Oleh: M. Athaya Afnanda

Pada Minggu (26/2) telah berlangsung sebuah acara yang cukup banyak mendapatkan respon positif dari berbagai Lembaga Pers Mahasiswa di Yogyakarta. Acara bertajuk Sekolah Advokasi ini diadakan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Yogyakarta (PPMI DK Yogyakarta). Tema yang dibawakan dalam acara ini juga sarat akan makna, yakni “Jurnalisme Bebas Tanpa Represi.”

Alasan di balik pemilihan tema ini berangkat dari keresahan PPMI DK Yogyakarta terhadap beberapa hal, seperti maraknya tindakan represi kepada lembaga-lembaga pers mahasiswa yang ada di sejumlah kampus, tidak adanya jaminan keamanan hukum kepada para jurnalis-jurnalis media maupun LPM, serta maraknya kriminalisasi dalam banyak bentuk terhadap para jurnalis di Indonesia.

Acara ini juga menghadirkan beberapa bintang tamu yang mumpuni pada bidangnya masing-masing, seperti Yogi Zul Fadli sebagai pendiri dari Suarkala. Kemudian ada Shinta Maharani perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta (AJI Yogyakarta), serta yang terakhir ada Adil Al Hasan dari BP Advokasi PPMI Nasional.

Acara ini terdiri atas beberapa sesi yang cukup menarik untuk dibedah. Hal yang menarik adalah pembahasan ihwal advokasi dengan “Pendekatan Bantuan Hukum secara Struktural” yang dibawakan oleh Yogi Zul Fadli, serta pembahasan tentang “Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Tips Mengatasinya” yang dibawakan oleh Shinta Maharani.

Pembahasan tersebut menjadi sangat penting apabila melihat fenomena-fenomena tindakan represi terhadap para jurnalis yang kerap kali terjadi. Dalam konteks lembaga pers mahasiswa juga, hal ini menjadi penting karena memberikan ilmu baru khususnya kepada para mahasiswa yang tergabung didalamnya.

Pelatihan Pemberian Bantuan Hukum kepada Masyarakat

Pada awal dari sesi ini, para peserta diberikan materi-materi tentang kenapa negara kerap kali mengkriminalisasi para warganya. Yogi Zul Fadli selaku pemateri juga menjelaskan bahwa saat ini sistem hukum telah mengalami revolusi yang cukup signifikan dalam proses berjalannya.

“Hal ini terdengar kurang mengenakkan tapi kalau diperhatikan hukum saat ini telah berevolusi menjadi sarana yang cukup empuk bagi para orang-orang kaya dalam mengamankan kedudukan dan posisinya,” terang Yogi (26/2).

Setelah pemberian materi, para peserta juga diberikan pedoman-pedoman untuk mendampingi masyarakat yang mendapatkan tindakan semena-mena oleh pemerintah maupun pihak yang berwajib. Bentuk pendampingan advokasi yang diberikan adalah GBHS atau (Gerakan Bantuan Hukum Struktural).

Di mana dalam melakukan pendampingan hukum dengan GBHS, rangkaian berjalannya proses hukum dilimpahkan kepada masyarakat dan posisi kita hanya sebagai fasilitator. Proses persiapan sebelum melakukan pendampingan GBHS juga harus matang, dimulai dari perencanaan sampai dengan pengeksekusiannya.

Dalam kesempatan tersebut juga, Yogi Zul Fadli turut berpesan kepada para peserta agar jangan pernah gentar dalam melakukan pemberian bantuan hukum terutama kepada masyarakat yang membutuhkan.

“Jadikan advokasi ini sebagai alat politik kalian dalam melawan ketidakadilan, kalaupun nanti pada akhirnya kalian kalah setidaknya kita sudah berhasil mendapatkan respons positif dari ruang publik,” pungkasnya.

Pedoman Melawan Kekerasan terhadap Jurnalis

Dari data yang dimiliki oleh AJI Yogyakarta, kasus kekerasan terhadap jurnalis kian meningkat seiring berjalannya waktu. Dalam kurun waktu tahun 2006-2023, total ada 966 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di berbagai penjuru kota yang ada di Indonesia. Dari data yang dimiliki oleh AJI juga, ada sekitar 185 kasus tindak kekerasan maupun represi terhadap lembaga-lembaga pers yang ada di kampus.

Hal ini tentu menjadi perhatian tersendiri, khususnya bagi AJI yang mencoba memperjuangkan hak-hak dari para jurnalis. Shinta Maharani sebagai perwakilan dari AJI Yogyakarta, pada kesempatan ini memberikan pedoman-pedoman penting khususnya bagi para lembaga pers mahasiswa untuk melawan tindakan represi yang dilakukan oleh pihak luar maupun pihak kampus.

“Lembaga-lembaga pers mahasiswa di kampus masih menjadi salah satu fokus utama kami, karena teman-teman dari LPM juga merupakan tonggak awal tanda kebebasan berekspresi masyarakat di lingkungan kampus,” ujar Shinta (26/2).

Dalam upaya mengatasi hal tersebut, Shinta memberikan beberapa pedoman yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pers mahasiswa untuk dapat melawan tindakan represi dari kampus. Misalnya melaksanakan tugas sesuai tupoksi yang dimiliki oleh jurnalis, bergabung dengan komunitas-komunitas jurnalisme di tingkat universitas seperti PPMI, dan yang terakhir adalah mengusahakan lembaga pers yang diikuti dapat mendapatkan penjaminan hukum dari LBH ataupun untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan terjadi.

Terakhir, meskipun Shinta sendiri tidak menjamin bahwa dengan melakukan pedoman-pedoman di atas, lembaga-lembaga pers mahasiswa akan sepenuhnya aman dari berbagai tindakan represi yang dilakukan oleh pihak kampus. Namun, dia tetap menyemangati para peserta yang hadir untuk tetap menjadi penyambung keresahan mahasiswa di lingkungan kampus.

“Mengikuti tupoksi pun terkadang tidak terlalu menjamin bahwa kita sepenuhnya akan bebas dari tindakan-tindakan represi, tapi setidaknya kita sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan tugas dan upaya kita,” tutupnya.


Penyunting: Haidhar F. Wardoyo

Foto: Haidhar F. Wardoyo

Grafis: Hasan Basri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *