Sembilan Jari Kaki dan Luka Lama Merapi

“Saat itu saya lagi ngambil air wudhu, tiba-tiba keponakan saya berteriak dan menyuruh lari,” ujar lelaki itu, memulai kisah panjangnya pada peristiwa erupsi Merapi 2010 silam.

Ia adalah Trisno Utomo, pria berumur 65 tahun yang menjadi salah satu warga yang selamat dari ganasnya erupsi Merapi sembilan tahun lalu. Kini, ia menetap di Hunian Tetap (Huntap) Pagerjurang, Dusun Kaliadem, Cangkringan, Sleman. Kami menemui Trisno pada Jumat pagi (18/1) di kediamannya.

Suasana pagi itu masih cerah. Tak berselang lama, seorang wanita datang membawakan lima cangkir teh hangat beserta sepiring tahu goreng. Wanita itu adalah istri Trisno. Kami menikmati suguhan teh hangat itu sementara Trisno melanjutkan ceritanya.

Menurut pengakuan Trisno, kawasan lereng gunung yang sejuk mulai disesaki hawa panas yang tidak mengenakan. Merapi memuntahkan isi perutnya pada Selasa sore 26 Oktober 2010 – tepatnya pukul 17.04 WIB. Ketika kejadian itu, ia bergegas menuju barak pengungsian di Balai Dusun Kopeng bersama sanak keluarganya.

“Saya tiba di Balai Dusun sekitar pukul enam sore,” ujar Trisno. Ponsel selulernya berdering tak lama setelah Merapi mengeluarkan erupsi untuk kedua kalinya pada Selasa itu. Ia menerima telepon dari salah satu tetangganya, keluarga Ponimin. Tetangga Trisno itu masih terjebak di Dusun Kaliadem. Saat itu, Dusun Kopeng tempat Trisno mengungsi relatif aman, namun Dusun Kaliadem yang berada sekitar 4.5 km dari puncak mulai kacau tertimpa awan panas.

Trisno menuturkan, anak dari Ponimin meminta tolong untuk dijemput sebab aliran lumpur panas sudah mulai menyebar disekitar rumahnya. Menurutnya, saat itu memang Ponimin bersikukuh berdiam diri di rumah saja ketika erupsi terjadi. Ponimin percaya bahwa ia dan keluarganya akan selamat dan Merapi tak akan menyakitinya. “Biarin aja. Ngeyel gitu,” ujar Trisno meniru kata-kata yang keluar beberapa temannya di barak pengungsian. Trisno tak menghiraukan perkataan itu. Trisno mulai mempersiapkan diri untuk menjemput Ponimin.

“Pas itu saya dikasih sepatu anti panas gitu,” ucap Trisno. Sepatu yang dimaksud sejenis boots khusus yang ia dapatkan dari Tim SAR yang bertugas. Berbekal empati yang dibarengi nyali kuat, Trisno naik menuju Dusun Kaliadem. Ia menapaki jalur evakuasi dengan mobil sejenis Suzuki APV yang ia tumpangi bersama beberapa anggota Tim SAR.

Nasib sial menimpa, mobil yang Trisno tumpangi tidak dapat lebih mendekat ke rumah Ponimin karena terhalang abu vulkanik yang cukup tebal di jalanan. Trisno kemudian mencoba berjalan kaki melalui jalur setapak di sisi barat. Ia mendekat, menyusuri jalan yang dilaluinya. Trisno memperhatikan sekitar.

“Sapi-sapi pada kena semua pas itu, mati” ujarnya. Pemandangan sekitar mulai dipenuhi bara pepohonan dan bangunan yang terbakar akibat lahar panas Merapi.

Saat itu, ia nyaris tak sadar abu vulkanik semakin menebal. “Ya sepatu saya nggak apa-apa, tapi kaki saya mulai terasa panas,” ujar Trisno menjelaskan ada yang tidak beres dengan kakinya. Barangkali semangat yang ia bawa sedari awal membuatnya bersikukuh untuk menyelamatkan rekannya itu.

Trisno memotong cerita saat istrinya datang kembali membawakan roti. Sepasang suami istri ini secara bersamaan menawarkan kami untuk mencicipi lagi suguhan di atas meja. Kami bersama-sama meneguk kembali teh yang disajikan. Trisno kembali berkisah.

Ketika ia tiba di rumah Ponimin, rekannya beserta keluarga sudah berada di atas mobil, hendak turun menyelamatkan diri. Naas, abu panas terlalu tebal. Mobil Ponimin tak mampu melewati abu itu.

“Itu ban mobilnya jadi pecah,” ujar Trisno.

Ia seperti sedang mengingat kembali adegan demi adegan dimana ia berusaha untuk membantu Ponimin dan keluarganya yang sudah terjebak di dalam mobil. Trisno berujar jika saat itu ia hendak mendorong mobil dari belakang. Naas, boots yang ia kenakan mulai terasa panas, kakinya melepuh akibat lumpur panas. Ponimin yang mengetahui hal itu menyarankan untuk kembali ke dalam rumah. Mereka berdiam sejenak, memikirkan cara keluar dari ancaman.

Seketika Mariyati, istri Ponimin, mengambil dua bantal sebagai alas pijak untuk melewati lumpur panas sudah masuk kedalam rumah mereka. “Saya kan bawa helm teman saya trus diletakkan langsung kempes tapi masih bisa untuk dipijak,” ujar Trisno.

“Pas itu saya sudah tidak pakai sepatu, sesudah saya lepas itu. Ya ini, kulit ayam yang lengket di sepatu sudah katut,” lanjut Trisno sembari melirik kakinya yang tampak tragis akibat kejadian itu. Trisno membuat perumpamaan kakinya saat itu seperti sisik cakar ayam yang terkelupas ketika direbus ke dalam air panas.

Hampir empat jam lebih Trisno beserta Ponimin dan keluarganya harus berdiam diri didalam rumah. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Sudah tidak ada lagi terdengar suara maupun kegaduhan dari luar. Ditambah, gelapnya malam saat itu menambah sepi suasana yang ada.

“Sudah sepi, pokoknya enggak ada suara apapun gitu lo. Alhamdulillah enggak ada susulan yang besar, kalau ada pokoknya saya sudah enggak ada gitu”, canda Trisno yang cukup membuat kami bergidik ngeri membayangkan situasi pada saat itu.

Karena sudah menunggu cukup lama dan yakin jika tidak akan ada letusan susulan, Trisno dengan segera membuat panggilan dari telepon selulernya kepada keponakannya, Anton, yang kebetulan merupakan salah satu relawan erupsi Merapi pada saat itu. Ketika panggilannya dijawab oleh Anton, Trisno segera memberitahu letak keberadaannya, namun sepengetahuan Anton jalan menuju ketempat Trisno sudah ditutup. Tidak kehilangan akal, Anton segera menghubungi mantan lurah untuk menanyakan jalan alternatif lain yang bisa disinggah untuk menjemput Trisno.

Ketika telah sampai ke tempat yang dimaksud, Anton segera menelpon Trisno kembali untuk menyusul ke tempat dimana Anton berada. Trisno beserta keluarga Ponimin segera keluar dari dalam rumah dengan cara memanfaatkan pijakan yang sebelumnya sudah digunakan untuk masuk ke dalam rumah. Trisno bahkan mengaku jika ia sampai harus naik ke depan mobil karena posisi pijakan yang sudah tidak memungkinkan lagi. Tak selang beberapa lama kemudian, Trisno menerima telpon lagi dari Anton yang menyuruh Trisno untuk segera menyusul ke tempatnya.

“Ya pas itu, Pak Anton nyuruh ke sana,” ujarnya. Namun ia menolak karena kondisi lumpur yang semakin dalam dan tidak memungkinkan untuk menaruh pijakan lain ke atas lumpur. Anton yang bahkan berniat ingin menyusul Trisno segera dicegah karena takut akan menambah korban baru.

Trisno terdiam sejenak, ia termangun untuk beberapa saat, seperti sedang membayangkan apa saja yang dapat mengancam nyawanya bisa terjadi pada malam itu. Selang beberapa saat, Trisno melihat ada seorang relawan. Pandu – begitu ia biasa disapa – menggunakan motor RX menyusul ke arahnya. Trisno yang mengetahui jika lumpur disekitar mobil lebih dalam daripada lumpur yang ke arah selatan, langsung mengarahkan Pandu untuk mengendarai motornya menuju selatan.

“Ya saya suruh sedikit ke selatan,” ucapnya.

Trisno segera memposisikan Ponimin beserta keluarganya, menghadap ke arah selatan, lalu mengambil beberapa bantal baru sebagai pijakan. Maryati yang sudah tidak sanggup berjalan digendong oleh Pandu disusul dengan anggota keluarga Ponimin yang lain, sedangkan Trisno dan Ponimin berada dibagian belakang. Saat itu, Ponimin membawa satu bantal yang dijadikan pijakan sebagai bukti panasnya lumpur panas dan perlawanan yang mereka hadapi. Trisno yang sudah merasa sangat kelelahan tidak dapat memikirkan apapun lagi bahkan dia sampai lupa jika kakinya terbakar akibat boots tahan panas yang sebelumnya ia kenakan. Setelah tiba di tempat yang aman, Trisno dan yang lainnya beristrirahat.

Trisno dibawa ke Rumah Sakit Sejo dan langsung ditangani dengan cara di kompres dan disuntik. Menurut pengakuan Trisno, ia tidak tahu apa yang disuntikkan oleh suster ke tangannya, tapi yang ia rasakan pada saat itu rasa panas menjalar ke sekujur kakinya. Ketika ia meminta obat untuk menurunkan rasa panas yang ia rasakan dikakinya, ia tidak mendapat respon apapun bahkan sampai hari berikutnya. Trisno berinisiatif untuk pindah ke Rumah Sakit Dr Sardjito.

Luka bakar di kaki Trisno ternyata sangat serius. Kesembilan jari kakinya – kecuali jempol kanan – harus diamputasi. Ya, disaat membantu Ponimin itulah Trisno kehilangan 9 jari kakinya. Tak tampak raut penyesalan maupun amarah terlukis diwajah Trisno. Ia menganggap jika itu semua sudah takdir Tuhan dan tidak sedikitpun ia merasa dendam kepada teman karibnya itu.

“Malah itu rekan-rekan yang lain merasa marah sama Ponimin, kalau saya biasa aja” kekeh Trisno sewaktu menceritakan pengalaman yang mengharuskan ia kehilangan 9 jari kakinya dan hanya menyisakan jempol kaki kanannya.

Tidak berhenti di situ, Trisno masih harus menerima kenyataan pahit lainnya. Sembilan sapi perah-nya mati tersapu lumpur panas. “Tiga di antaranya itu lagi bunting,” jelasnya.

Selain sapi, surat-surat berharga dan rumahnya habis terbakar. Namun, Trisno tabah dengan semua itu. Ia juga tak lupa bersyukur. Menurutnya, bantuan dari pemerintah saat itu cukup membantu bagi para warga disekitar gunung Merapi, termasuk dirinya sendiri. Ternak sapi yang lenyap akibat ganasnya lumpur panas diganti dengan satu ekor sapi baru oleh pemerintah yang kemudian ia rawat lagi untuk memperoleh sapi-sapi baru berikutnya.

“Biaya perawatan kaki juga dibantu. Saya nggak ngeluarin sepeserpun,” tuturnya.

Trisno diam sejenak, matanya terpaku melihat ke arah Merapi yang mulai tertutup kabut tebal. Ia seolah-olah sedang menerawang jauh kebelakang, mengingat masa-masa sulit yang telah ia lalui. Menurutnya, ia masih trauma dan perasaan was-was itu masih bisa ia rasakan. Terlebih lagi, Merapi beberapa bulan terakhir mulai menunjukan aktivitasnya walaupun masih dalam status waspada. Trisno mengangkat kepalanya ke atas, menatap langit-langit rumahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam, suaranya nyaris terdengar, kemudian menghembus perlahan. “Ya saya tetap pasrah saja karena hidup mati di tangan Allah,” pungkas Trisno.

Penulis : Ika, Fau

Repoter Bersama : Benny, Durotul, Difa

*Tulisan ini merupakan salah satu karya Magang Kognisia. Repotase dilakukan saat Pendidikan Lanjut (Dikjut) Magang Kognisia periode 2018/2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *