Kupas Ulasan

Ketika Dunia Akademis Menjadi Panggung Politik

Oleh : T.H. Hari Sucahyo

Film After the Hunt (2025) adalah salah satu karya sinema yang dengan berani menelanjangi wajah dunia akademis modern, sebuah dunia yang selama ini sering dianggap sebagai ruang netral bagi pencarian kebenaran, namun ternyata penuh dengan politik, ego, dan privilese yang menyelinap di setiap interaksi manusia di dalamnya. Disutradarai oleh Luca Guadagnino, yang sebelumnya dikenal lewat karya-karya seperti Call Me by Your Name dan Challengers, film ini menandai pergeseran arah sinematik sang sutradara menuju ranah yang lebih gelap dan filosofis. Jika film-film terdahulunya berbicara tentang gairah dan identitas personal, maka After the Hunt menguliti lapisan moralitas, kekuasaan, dan pertanggungjawaban di dunia intelektual yang tampak rapi di permukaan namun rapuh di dalamnya.

Ceritanya berpusat pada Dr. Laura Keller (diperankan dengan ketenangan yang menusuk oleh Julia Roberts), seorang profesor sastra di sebuah universitas bergengsi di Amerika Serikat. Laura adalah sosok yang dihormati di kalangan akademisi: cerdas, berwibawa, dan dikenal adil terhadap murid-muridnya. Namun reputasi itu mulai goyah ketika seorang mahasiswa berbakat bernama Sophie (Ayo Edebiri) melontarkan tuduhan serius terhadap salah satu kolega Laura, Dr. Daniel Hodge (Mark Ruffalo), yang juga merupakan sahabat lamanya di fakultas. Tuduhan itu bukan hanya mengguncang dinamika profesional di kampus, tapi juga memaksa Laura menghadapi bayangan masa lalunya yang selama ini berusaha ia kubur.

Film ini dibuka dengan suasana kampus yang damai dan tertib, sebuah kelas yang dipenuhi diskusi kritis, seminar yang tampak intelektual, dan pesta akademik yang penuh basa-basi elegan. Namun, Guadagnino dengan cepat mengubah atmosfer itu menjadi sesuatu yang menekan. Ia menyoroti bagaimana kekuasaan dan pengetahuan bisa berkelindan secara berbahaya. Laura, yang awalnya tampak sebagai sosok penengah, perlahan diseret ke dalam jaring konflik yang memperlihatkan betapa rumitnya posisi seseorang ketika harus memilih antara kesetiaan personal dan prinsip moral. Melalui narasi yang bergerak lambat namun intens, penonton dibawa menyelami dilema batin Laura, apakah ia akan melindungi temannya demi reputasi dan stabilitas, atau berpihak pada kebenaran yang bisa menghancurkan karier dan nama baiknya sendiri?

Guadagnino dan penulis naskahnya, Samy Burch (May December), membangun cerita dengan struktur yang penuh lapisan. Alih-alih menyoroti kasus tuduhan secara frontal seperti film-film bertema “scandal” pada umumnya, After the Hunt lebih tertarik menelusuri dampak psikologis dan etis yang ditimbulkannya. Setiap percakapan terasa seperti pertarungan intelektual terselubung, di mana karakter saling menguji batas kejujuran dan kepura-puraan. Laura bukanlah pahlawan klasik; ia sosok yang kompleks, penuh luka, dan tidak selalu membuat keputusan benar. Ketika rahasia kelam dari masa lalunya mulai terkuak, sebuah hubungan ambigu dengan mantan mahasiswa bertahun-tahun silam, film ini mengaburkan garis antara korban dan pelaku, benar dan salah, publik dan pribadi.

Secara sinematografi, After the Hunt adalah karya yang memanjakan mata sekaligus menyesakkan dada. Guadagnino bekerja sama dengan sinematografer Sayombhu Mukdeeprom untuk menciptakan palet visual yang dingin dan lembut, dengan dominasi warna abu-abu, hijau lumut, dan cokelat tua. Setiap ruang kelas, kantor fakultas, hingga rumah Laura digambarkan dengan pencahayaan alami yang suram, seolah menyimbolkan atmosfer moral yang kabur. Kamera kerap berhenti lama di wajah-wajah para tokoh, menyorot mikro-ekspresi yang mengungkap kegelisahan tersembunyi. Di tangan Guadagnino, bahkan keheningan menjadi bagian dari dialog: tatapan mata Laura yang kosong, suara langkah di koridor, atau deru halus mesin kopi di ruang dosen bisa lebih berbicara daripada sepuluh halaman skrip.

Julia Roberts menampilkan salah satu performa terbaik dalam kariernya. Ia menghidupkan Laura dengan keseimbangan antara kelembutan dan kekakuan seorang perempuan yang tampak tenang tapi sebenarnya dikepung rasa bersalah. Setiap kali ia tersenyum dengan sopan dalam rapat fakultas, penonton tahu bahwa ada sesuatu yang sedang ia sembunyikan. Mark Ruffalo sebagai Dr. Hodge memberi nuansa ambiguitas yang kuat: karakternya bisa terasa menawan dan simpatik di satu saat, tapi memuakkan di saat lain. Sementara itu, Ayo Edebiri sebagai Sophie memberikan energi segar yang menjadi katalis bagi seluruh konflik. Ia merepresentasikan generasi muda yang berani menantang sistem, namun juga terperangkap dalam struktur kekuasaan yang ingin ia gugat.

Tema hak istimewa menjadi inti dari After the Hunt. Film ini dengan tajam mengurai bagaimana dunia akademis sering beroperasi di bawah ilusi meritokrasi, seolah semua orang dinilai hanya dari kecerdasan dan kerja keras, padahal kenyataannya dipenuhi hierarki, relasi kuasa, dan bias tersembunyi. Privilese gender, usia, dan status sosial menjadi medan tarik-menarik yang menentukan siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan.

Dalam beberapa adegan, Guadagnino menggambarkan para profesor senior yang dengan tenang membahas isu etika sembari menyesap anggur mahal, sementara kehidupan mahasiswa yang mereka bahas terancam hancur. Ironi semacam itu menjadi komentar tajam terhadap kemunafikan institusi pendidikan tinggi.

After the Hunt bukan sekadar kritik sosial; film ini juga meditasi tentang penyesalan dan rekonsiliasi. Laura bukan hanya menghadapi tuduhan terhadap koleganya, tetapi juga hantu kesalahannya sendiri—kesalahan yang mungkin tak bisa ditebus. Di titik ini, film menyoroti betapa rapuhnya garis antara seseorang yang merasa berbuat benar dan yang sesungguhnya hanya sedang melindungi diri dari rasa malu. Dalam salah satu adegan paling menghantui, Laura berbicara kepada Sophie di taman universitas. Ia berkata, “Kita semua belajar tentang kebenaran, tapi tidak ada yang mengajarkan bagaimana menanggungnya.” Kalimat itu menjadi semacam tesis moral bagi film ini, bahwa kebenaran tidak selalu membebaskan; kadang, ia justru menghancurkan.

Ritme film ini memang lambat, bahkan mungkin terasa terlalu kontemplatif bagi sebagian penonton. Tapi di situlah kekuatannya. Guadagnino tidak memberi kita jawaban pasti, hanya pertanyaan yang terus menggelinding. Apakah seseorang layak dihukum atas dosa masa lalu yang tak terungkap? Apakah keheningan bisa dianggap kolusi? Dan apakah dunia akademis benar-benar tempat bagi kebebasan berpikir, atau hanya panggung lain bagi permainan kekuasaan yang lebih halus?

Musik latar karya Ryuichi Sakamoto yang diselesaikan pascahumus dengan aransemen oleh Alva Noto, menambah dimensi emosional yang mendalam. Komposisinya minimalis, terdiri dari dentingan piano dan gesekan senar yang nyaris tak terdengar, namun membangun suasana mencekam sepanjang film. Tidak ada ledakan dramatis, hanya tekanan yang perlahan menyesakkan. Begitu pula dengan akhir film: bukan klimaks penuh teriakan atau pengakuan besar, melainkan keheningan yang menggantung. Laura duduk sendirian di ruang kuliah kosong, memandang papan tulis yang masih dipenuhi coretan puisi, seolah menatap refleksi hidupnya sendiri; sebuah perburuan panjang yang akhirnya berujung pada dirinya.

After the Hunt adalah film yang menantang penontonnya untuk berpikir, bukan sekadar merasa. Ia menolak dikategorikan sebagai drama skandal atau thriller psikologis, meski memiliki elemen keduanya. Ini adalah studi karakter yang tajam dan berani, sekaligus kritik lembut terhadap struktur sosial yang kerap menutupi ketidakadilan di balik topeng intelektualitas. Guadagnino menciptakan film yang tidak memberi kepuasan naratif instan, tapi justru meninggalkan bekas yang lama, seperti luka moral yang tidak sepenuhnya sembuh.

Dengan performa akting yang gemilang, penulisan naskah yang bernas, serta pengarahan visual yang elegan dan penuh kesadaran, After the Hunt menegaskan posisinya sebagai salah satu film paling penting tahun 2025. Ini bukan film yang mudah disukai, tetapi juga bukan film yang mudah dilupakan. Ia memaksa kita untuk menatap cermin dan mempertanyakan peran kita dalam sistem yang kita anggap suci, tapi mungkin sudah lama busuk dari dalam.