Aliansi Rakyat Pekerja Jogja: Upah Minim Masih Menjadi Penghambat Kesejahteraan

 

(Yogyakarta, 01/05/2018) Sekelompok warga yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta, melakukan aksi damai untuk Memperingati Hari Buruh di 0 KM Malioboro Yogyakarta. Massa yang mayoritas merupakan perempuan pekerja informal ini menuntut hak atas pekerjaan yang layak. Tuntutan yang tiap tahun dilancarkan untuk pemerintah di tempat dan waktu yang sama, hingga saat ini belum mendapatkan titik terang.

Warisah, selaku koordinator umum aksi damai yang juga menjabat sebagai ketua Serikat Partai Pembebasan Rakyat (PPR) Kabupaten Bantul menjelaskan bahwa mereka, sebagai buruh merasa belum terlindungi dan hak-hak mereka sebagai buruh belum terpenuhi. Tidak hanya itu, jaminan sosial dan juga fasilitas kerja juga tidak mereka dapatkan selayaknya seorang pekerja. “Kalau bicara soal tuntutan, tuntutan kami banyak sekali”, jelas Warisah. Upah minimum yang belum sesuai dengan UMP/UMK, pengakuan dan perlindungan hak atas kerja layak, belum adanya undang-undang yang mengatur tentang buruh, merupakan beberapa tuntutan yang selalu mereka orasikan. Mereka juga beranggapan bahwa terdapat pembedaan hak mereka selaku pekerja informal dan juga para pekerja formal di pabrik-pabrik. “Kami juga pekerja, tetapi mengapa hak kita dibedakan dengan pekerja di pabrik”, tambahnya.

Digambarkan upah yang begitu rendah sehingga buruh di Jogja hanya bisa makan dari hasil kebun sendiri.

Jika dilihat secara objektif, ketika pekerja informal seperti pekerja rumahan, buruh gendong, dan pekerja rumah tangga diperlakukan secara baik dan diberi perlindungan, pekerja informal mampu memberikan peluang untuk mendorong peningkatan kualitas kesejahteraan kelompok miskin. Tetapi pada kenyataannya, pekerja informal disudutkan dengan dua pilihan sulit, yaitu menerima pekerjaan dengan upah rendah yang telah ditentukan oleh pemberi kerja beserta menanggung keseluruhan risiko kerjanya atau menolak pekerjaan tersebut dan tetap hidup dalam rantai kemiskinan.

“Untuk makan saja kurang, apalagi kan kami punya anak sekolah, bayi, bahkan kebutuhannya sangat banyak sekali dan kami sebagai pekerja rumahan itu mungkin kalo dilihat dari kerja kita kan kerja borongan jadi tergantung apa yang kita hasilkan. Kadang juga kami kan sebagai perempuan juga mempunyai kewajiban yang lebih di rumah tangga”, lanjut Warisah dengan nada semakin melemah yang nampaknya karena kelelahan.

 

Pembangunan perumahan buruh merupakan salah satu permintaan buruh di aksi 1 Mei.

Secara tidak langsung, keberadaan pekerja informal khususnya perempuan pekerja informal, pada kenyataannya adalah ketidakmampuan Negara menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya. Walaupun sebenarnya sektor ini mampu menyerap tenaga kerja dengan pendidikan rendah dan tanpa ketrampilan tinggi, Pakar Ekonomi, Didik J.R.  di tahun 2010 menegaskan bahwa sektor informal mengisi seluruh sudut perekonomian nasional,  setidaknya dua pertiga ari perekonomian nasional.

Tapi yang lebih disayangkan lagi, mereka tidak memiliki kontrak kerja secara resmi. “Upah dan jaminan sosial itu jelas, mungkin kontrak kerja pun kami tidak ada, jadi kontrak kerja itu hanya secara lisan saja. Jadi itu kan tidak kuat, bahkan pemerintah pun kesulitan karena kontrak kerja kita secara lisan, tidak tertulis, tidak ada kontrak kerja yang bener-bener disepakati kedua belah pihak.” Ungkapnya dengan nada yang kembali membara.

Tanpa adanya perlindungan dari pemerintah karena belum meratifikasi sejumlah konvensi ILO tentang kerja layak bagi buruh informal. Seperti Kilo No. 189 kerja layak bagi PRT dan Kilo No. 177 kerja layak bagi buruh rumahan, sehingga sampai hari ini belum ada kebijakan yang melindungi hak-hak. “Karena kami belum didengar pemerintah, kami akan terus mengumpulkan data dan bukti kalau kami tidak akan henti-hentinya melakukan tuntuan sampai dikabulkan”, Tutup Warisah dibarengi dengan diakhirinya aksi damai siang tadi.

3 peraturan yang dianggap merugikan buruh.

Berbeda dengan aksi damai yang diselenggarakan oleh Aliansi Rakyat Pekerja Yogyakarta, aksi yang bertajuk “Bangun Perumahan Buruh dan Terapkan UMS di DIY” ini disebabkan karena beberapa faktor. Yang pertama, Yogyakarta menjadi provinsi termiskin pertama di Jawa. Kedua, Yogyakarta sebagai Provinsi termiskin ke-3 di Indonesia. Dan yang ketiga, karena upah murah, banyak buruh yang tidak memiliki rumah. “Karena upah murah, beli rumah susah.” Ujar Irsad Ade Irawan selaku koordinator lapangan dan juga menjabat sebagai Jubir DPD KSPSI DIY.

Aksi yang diprakarsai oleh kesadaran bersama, dan berlandaskan “Kalau mau berubah, ya harus berjuang” ini juga diselingi beberapa atribut yang menggambarkan hal-hal yang dialami para buruh. Pemaknaan upah murah yang diberikan pemerintah DIY ini misalnya, disimbolkan dengan orang-orangan.

Sampai saat ini, pemerintah kurang responsif dalam menghadapi tuntutan-tuntutan para buruh. Pemerintah belum memihak dan belum mau memberikan perubahan. “Pemerintah tidak mau mendengarkan apa yang menjadi aspirasi. Jadi kurang responsif. Sementara faktanya sudah jelas, sudah banyak orang miskin dan ketimpangan di Yogyakarta, padahal kan Yogyakarta merupakan daerah istimewa, tapi dimana istimewanya?” Ujar Irsad.

Massa aksi mengibarkan bendera organisasi KSSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sebenarnya sudah diakui oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam pidatonya yang berjudul “Menyongsong Abad Samudera Hindian Untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja”. Selain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X juga menyebutkan bahwa terjadi kesejangan yang cukup tinggi antara warga kaya dan warga miskin di DIY. Hal ini ditunjukkan dengan angka Rasio Gini sebesar 0,432, tertinggi di Indonesia. Dengan predikat provinsi termiskin se –Jawa dan termiskin ke-3 di Indonesia, dijadikannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa sampai saat ini belum mampu mensejahterakan rakyat, sementara Dana Istimewa tetap mengalir ke DIY setiap tahun.

Mereka berharap, dengan adanya tuntutan-tuntutan ini, Pemerintah, dengan dibantu Gubernur DIY dapat mengurangi jumlah kemiskinan dan juga ketimpangan. Tetapi jika tuntutan-tuntutan tidak dipenuhi, mereka akan terus melakukan aksi, bahkan melakukan gugatan ke pengadilan, karena di tahun sebelumnya, mereka pernah membuat SK tentang upah minimum provinsi DIY. (Ainun, Tika)

Fotografer: Mujen.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *