KEMATIAN YANG FANA, DI KEHIDUPAN YANG FANA

Kematian, mungkin jadi salah satu hal yang paling ditakuti oleh orang-orang pada saat ini. Tapi, setelah dipikir-pikir, memang horror juga ya ngomongin “mati”. Sebenarnya nggak ada maksud buat nakut-nakutin atau apa sih. Soalnya kalau bawa-bawa kata “mati” itu seolah-olah jadi momok buat semua orang. Alasannya si banyak, ada yang ngerasa amalnya belum cukup, ada yang masih pengen punya anak dulu, ada yang pengen bahagiain orang tua dulu, pokoknya macam-macam deh.

Tetapi, ada juga yang rasanya pengen cepat-cepat “mati” lho. Katanya sih pengen nyusulin orang yang dia sayang. Ada juga yang pengen cepat “mati” karena putus asa. Naudzubillah sih kalau sampe kaya gitu. Di Islam dijelaskan bahwa kehidupan setelah kita mati itu kekal. Apalagi kalau masuk Surga. Betapa banyak penggambaran dalam Al-Qur’an tentang indahnya Surga dan ngerinya Neraka. Ya itu juga jadi beberapa alasan mengapa orang-orang ada yang pengen “mati” atau orang-orang yang belum siap “mati”. Padahal kalaupun mati, bukan berarti kita langsung masuk Surga atau Neraka, masih banyak sekali tahapannya.

Zaman sekarang ini semakin miris, tanda-tanda kiamat sudah mulai bermunculan, semua orang juga berlomba-lomba untuk bertaubat, ya nggak semua juga sih. Masih ada juga kok orang-orang yang berlomba untuk maksiat, Naudzubillah. Masih nggak habis pikir sama para Pemuka Agama yang di tipi-tipi tuh yang kebanyakan hanya sekadar “pencitraan”. Ada saja masalah mereka yang disiarkan di channel-chanel penyebar kabar burung. Sebagian besar juga perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ucapkan.

Yang lebih miris lagi, kehidupan setelah kematian digambarkan sangat indah di beberapa film. Film besutan Disney yang berjudul Coco, kehidupan setelah kematian dibuat sama dengan kehidupan sebelumnya. Tetapi dengan syarat, orang sudah “mati” masih terkenang dan fotonya masih terpajang dirumah orang-orang yang masih hidup. Jika salah satu dari orang sudah mati itu dilupakan oleh orang yang masih hidup, maka mereka akan mengalami kematian yang kekal. Dan tidak ada lagi mereka penggambaran kehidupan yang terjadi setelah kematian kekal itu. Cukup konyol sebenarnya, tetapi lumayan menghibur juga dengan jalan cerita yang unik itu. Karena film tersebut besutan Disney, otomatis banyak anak-anak yang juga menonton Film Coco. Jalan cerita yang unik tidak semua membawa dampak positif kepada anak-anak, hal yang ditakutkan adalah gambaran mereka pada kehidupan setelah mati nanti akan sama dengan yang difilmkan. Padahal pada kenyataannya sangat jauh berbeda.

Lain lagi dengan cerita kematian di film Flatliner. Orang-orang yang sengaja dibuat mati digambarkan bisa dengan mudahnya dihidupkan lagi dengan alat-alat medis. Tetapi berbeda cerita dengan yang digambarkan di Film Coco. Kematian yang terjadi di Film Flatliner itu adalah kematian dengan unsur kesengajaan, karena salah satu tokoh merasa penasaran tentang kejadian apa yang terjadi setelah kita merasakan kematian.

Di film itu diceritakan bahwa ada neuron yang membuat otak kita berjalan selama beberapa menit. Terlihat masih ada percikan-percikan energi di otak sesaat setelah kita mati. Energi yang dihasilkan itu membuat kita bisa kembali ke masa-masa tertentu, bisa saja otak kita kembali mengulas pengalaman kita yang buruk atau sebaliknya.

Setelah kita merasakan dunia kematian yang sesaat itu, kita dihidupakn kembali, dan ketika kita menjalani kehidupan yang baru, seakan otak kita me-refresh pikiran kita sehingga kita seperti terlahir kembali tanpa dosa. Tetapi, kehidupan setelah “mati” ini membawa kita kepada perasaaan bersalah yang telah dialami. Sehingga membuat orang yang dihidupkan kembali merasa dihantui oleh perasaan bersalahnya.

Saya takut berbagai penggambaran kehidupan kematian yang tidak sebenarnya ini di salahgunakan atau dibuat pegangan bahwa kehidupan kita bakal seperti itu nantinya. Oleh karena itu, pengetahuan agama sangat diperlukan di sini untuk membentengi diri kita, untuk memperkuat iman kita agar kita tidak mudah dipengaruhi apapun itu bentuknya. (Zakiyyah Ainun Nayyiroh, Magang Kognisia 2017).

 

Ilustrasi: Bang Sat

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *