Sebuah Kisah di Zona Merah Gunung Merapi

Kamis 18 Oktober 2017, kami mahasiswa Magister Profesi (Mapro) Psikologi UII tergerak hatinya untuk menyuarakan keadaan yang sebenarnya di padukuhan Pangukrejo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Seluruh warga di desa ini telah direlokasi pada tahun 2010, saat meletusnya Merapi.

Berangkat dari brainstorming kami dengan pegiat komunitas Merapi, Rahmat Oktavianto Akbar, kemudian kami melakukan riset kecil menggunakan alat pengumpulan data paling ampuh dalam psikologi (wawancara dan observasi) di sekolah informal bernama Sekolah Gunung Merapi (SGM). Sekolah ini didirikan oleh Fajar Radite, seorang alumnus Magister Fisipol UGM yang juga aktivis dan relawan di bidang sosial dan pendidikan.

Padukuhan Pangukrejo merupakan padukuhan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai Kawasan Rawan Bencana III (KRB III). Artinya, kawasan ini rawan bencana yang dilarang menjadi daerah tempat tinggal atau tidak boleh dihuni oleh manusia.

Awalnya, kami menemukan adanya gangguan belajar dan gangguan psikologis pada anak-anak yang tinggal di padukuhan Pangukrejo. Tapi ternyata, semakin kami melakukan wawancara mendalam, gangguan belajar dan gangguan psikologis yang dialami anak-anak dalam SGM hanyalah akibat dari permasalahan lain yang ditimbulkan setelah terjadinya erupsi merapi tahun 2010.

Akhirnya kami pun mencoba untuk mengangkat apa yang menjadi riset kecil kami ini dalam sebuah seminar ilmiah. Tepat pada tanggal 18 Oktober 2017 di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, kami menggelar Seminar Pengembangan Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Terdampak Bencana. Kemi mengundang empat narasumber dari kalangan akademisi, relawan yang terjun langsung, maupun warga Kepala Dukuh Pungukrejo. Mereka adalah Heddy Shri Ahimsa, Fajar Radite, Noer Cholik, dan Subagjo. Tujuan kami ialah untuk mendapat gambaran utuh tentang permasalahan warga yang memilih kembali daerah asalnya dari Hunian Tetap (Huntap), padahal sudah jelas-jelas ditetapkan sebagai daerah KRB III.

Ahimsa, seorang professor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kami undang sebagai narasumber yang memiliki pengalaman riset secara ilmiah mengenai relokasi warga yang disebabkan oleh erupsi merapi. Dari Ahimsa, kami dan peserta mendapatkan pertanyaan yang menarik; perlukah relokasi warga yang sudah berpuluh-puluh tahun hidup secara harmoni dengan Merapi itu dilakukan? Padahal mereka mengetahui tanda-tanda alam jika Merapi akan bergejolak. Bahkan mereka sering mendapatkan tanda atau Wangsit apabila Gunung Merapi akan bergejolak. Professor dari UGM ini juga memaparkan bagaimana cara-cara relokasi yang seharusnya dilakukan, agar dapat terlaksana dengan tepat. Ahimsa juga sedikit mengkritisi relokasi-relokasi yang sudah dilakukan pemerintah saat ini. Sebab, yang dilakukan pemerintah tidak melihat beberapa aspek penting dalam melakukan relokasi.

Subagjo, Kepala Dukuh Pangukrejo, sebagai narasumber yang kami minta untuk bercerita secara terbuka mengapa warga masih memilih untuk kembali menempati daerah asalnya setelah direlokasi, padahal sudah jelas daerah itu ditetapkan sebagai zona merah. Subagjo bercerita, saat ini di padukuhan         Pangukrejo sudah ada ± 200 KK, yang artinya ada sekitar ± 600 jiwa yang kembali memilih tinggal di rumah lama mereka. Padahal, di derah tersebut para warga juga masih mengalami beberapa kesulitan. Subagjo tak sungkan menceritakan hal tersebut. Dengan gamblang ia menjelaskan permasalahan yang dihadapi warganya saat ini. Salah satunya yaitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, yakni air. Beliau dan warganya harus bergantian untuk mendapatkan jatah air. Untuk mendapatkan air, mereka hanya memiliki jatah 1 jam/4 hari. Hal ini dikarenakan sumber air yang ada sangat jauh berada di bawah daerah padukuhan Pangukrejo.

Nur Choliq, salah satu pengisi seminar, yang saat ini bekerja di Geological Agency of Indonesia, Volvanology and Geological Disaster Mitigation Center. Ia mengaku sebagai orang sebelah kakinya berada disisi pemerintah dan sebelah kaki lainnya berada di sisi warga. Pria yang pernah menjadi Staff di BPPTKG (Balai Penyelidikan dan Pengembanan Teknologi Kebencanaan Geologi) ini memaparkan sejarah terbentuknya Gunung Merapi 2000 tahun sebelum adanya saat ini. Kemudian Nur Choliq juga menceritakan bagaimana ia mencoba melakukan sosialisasi tentang mitigasi bencana yang dapat dipahami oleh anak-anak. Ia beralasan bahwa konsep mitigasi bencana Merapi yang ada saat ini semua berbentuk tulisan yang cukup panjang dan membosankan. Sehingga tidak membuat orang tertarik untuk mempelajari bagaimana dan apa yang harusnya dilakukan ketika Merapi menunjukkan tanda-tanda erupsi. Kemudian ia juga mencoba membuat terobosan untuk mengajarkan mitigasi bencana Merapi dengan membuat animasi, agar mudah dipahami dari seluruh kalangan.

Fajar Radite, sebagai narasumber keempat, sekaligus aktivis komunitas dan pendiri SGM (Sekolah Gunung Merapi). Fajar menceritakan awal mula berdirinya SGM dan mengungkapkan permasalahan nyata yang dihadapi oleh masyarakat Pangukrejo. Selain itu ia membeberkan gagasan awal kenapa ia tergerak untuk mendirikan SGM di Padukuhan Pangukrejo, yang kemudian banyak menemukan permsalahan pada warga padukuhan Pangukrejo. Salah satu diantaranya yaitu mengenai portal wisata yang awalnya merupakan salah satu penghasilan besar padukuhan Pangukrejo. Namun kemudian diambil alih Pemerintah Ddaerah dengan alasan undang-undang mengenai pungli, dan masih banyak lagi alasan yang lain.

Acara yang kami selenggarakan ini sebenarnya membuat peserta, khususnya kami panitia menjadi lebih mengetahui bahwa ternyata permasalahan mengenai pemberdayaan masyarakat yang terdampak bencana erupsi merapi bukanlah suatu hal yang mudah karena banyak pihak yang terlibat didalamnya. Seperti masyarakat itu sendiri, komunitas yang ada, Pemerintah Daerah maupun pusat.

Kami pun akhirnya belajar lebih dalam bahwa permasalahan yang terjadi di padukuhan Pangukrejo, beberapa ada yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan psikologis yang dialami oleh anak-anak siswa yang belajar di Sekolah Gunung Merapi.

Menurut kami, UII sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi Islam pencetak generasi-generasi cendikia yang memiliki visi sebagai universitas yang Rahmatan Lil’alamin harusnya memiliki andil yang besar dalam membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat terdampak bencana erupsi Merapi. Selain itu, UII juga seharusnya bisa melakukan penelitian guna mencari solusi yang tepat mengenai permasalahan yang dihadapi warga masyarakat lereng merapi, khususnya yang berada dalam zona KRB III.  Karena bagaimanapun juga, diakui atau tidak diakui oleh pemerintah mengenai keberadaan warga yang kembali tinggal di daerah KRB III khususnya padukuhan Pangukrejo, warga masyarakat tersebut merupakan tetangga terdekat dari Rumah Belajar Kearifan dan Kebijaksanaan yang bernama Universitas Islam Indonesia. (Arie Garda, Fahri, Himawan, Raras, Juine, Henni, Mey)

 

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Profesi Psikologi UII

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *