Oleh: Alia Al Hasna
Pada Sabtu (17/8) sore, pengunjung silih berganti mengisi halaman gedung Jogja National Museum (JNM), yang bertempat di Jalan Ki Amri Yahya, Pakuncen, Kota Yogyakarta. Ada mereka yang mengantre untuk berfoto ria di depan tulisan ARTJOG berwarna biru. Ada pula mereka yang sedang menunggu rekannya datang agar dapat memasuki gedung bersama. Hal ini menandakan bahwa ARTJOG menjadi destinasi wajib di akhir pekan.
Mengangkat tema Motif: Ramalan, ARTJOG 2024 berlangsung selama kurang lebih dua bulan, dari 28 Juni hingga 1 September. Tema ini merupakan motif imajiner penghubung masa lalu, sekarang dengan mendatang, atau masa mendatang, sekarang dengan yang sudah lalu. Selain itu, aktivitas meramal masih berkaitan dengan kebudayaan sastrawi Jawa, seperti kidung, piwulang, jangka, serat, ilmu “titen” dan lain sebagainya.
ARTJOG 2024 menghadirkan karya dari 84 seniman kategori dewasa maupun anak-anak, termasuk karya penyandang disabilitas. Selain itu tiap minggunya terdapat segenap agenda yang ditawarkan kepada para pengunjung. Agenda tersebut berupa lokakarya, tur pameran bersama kurator, performa•artjog, bedah buku, bahkan sesi meet the artist.
Pada Sabtu (17/8), terdapat dua agenda yang dilangsungkan yakni penampilan Ramalan Sang Raja pukul 20.00 WIB dan penampilan Banting Tulang pukul 16.00 WIB. Penampilan Ramalan Sang Raja merupakan gabungan kisah Cin Thun Liat Kok X Sie Jin Kwie Ceng Tang X See Yu Ki dari Sanggar Wayang Potehi Siauw Pek San. Sedangkan penampilan Banting Tulang yang merupakan karya Tromarama.
Banting Tulang sebagai Perpaduan Kerja dan Hobi
Salah satu sudut gedung dikerumuni oleh pengunjung dari dua sisi. Di sinilah terdapat penampilan seni yang berbeda dan unik. Ketika mayoritas karya seni yang terpampang merupakan benda mati, sudut ini menampilkan manusia sebagai objek. Bukan seni tari, melainkan seni rupa karya performan berbasis aktivasi.
Karya tersebut bernama Banting Tulang, ciptaan kelompok seniman Indonesia yang bernama Tromarama. Anggota Tromarama terdiri dari Febie Babyrose, Herbert Hans, dan Ruddy Hatumena yang sama-sama lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung. Selama ARTJOG berlangsung, pengunjung hanya dapat menyaksikan penampilan secara langsung pada tanggal tertentu, yaitu 13 Juli, 3 Agustus, 17 Agustus, dan 1 September.

Karya ini ditampilkan di ruangan tertutup yang tembus pandang. Di dalamnya berisi empat orang dengan sebuah jam tangan pintar atau smartwatch yang melekat di masing-masing pergelangan tangan kiri. Jam tangan pintar itu menyala ditandai kedipan cahaya pada beberapa detik sekali. Tampak juga properti lain yang digunakan, yaitu bola karet aneka warna dan biji bekel.

Dalam satu waktu, setiap orang mengambil salah satu antara bola karet dan biji bekel yang tergeletak di lantai. Mereka mengayunkan tangan untuk melempar benda tersebut ke arah lantai ataupun dinding. Apabila bola karet yang dilemparkan, tercipta gerakan memantul sehingga muncul suara benturan dari lantai atau dinding. Kebalikannya apabila biji bekel dilempar, maka tidak menciptakan gerakan memantul, tetapi suaranya yang nyaring bermunculan.
Setelah barang dilempar, mereka terdiam sejenak memandang ke arah di mana tempat benda yang telah terjatuh. Selama penampilan berlangsung, keempat orang tersebut tidak memasang ekspresi apapun di wajahnya. Mereka fokus melakukan aksi lempar tangkap tanpa ada interaksi satu sama lain. Aksi lempar tangkap ini dilakukan berulang-ulang kali tanpa henti dengan durasi 60 menit. Menurut deskripsi yang tertera, aksi ini dilakukan tanpa adanya arti bagaikan perilaku iseng.
Penampilan seni Banting Tulang mungkin terlihat sederhana, tetapi sebenarnya menyimpan makna berkenaan kehidupan manusia pada zaman sekarang. Karya Tromarama ini menggambarkan pergeseran definisi dan makna pekerjaan di era digital. Sebelum memasuki era digital, pekerjaan manusia selalu identik dengan tenaga untuk aktivitas fisik, memerlukan keterampilan, dan kewajiban hadir pada ruang sosial. Kehadiran era digital justru memudarkan segala batasan yang telah ada. Pekerjaan dapat dipenuhi dari jarak jauh dan memudarkan waktu kerja dan waktu luang. Bahkan hobi yang tadinya hanya diartikan sebagai kesenangan di waktu senggang, menjadi mungkin dipenuhi bersamaan dengan bekerja untuk memperoleh uang.
Nama Banting Tulang sangat tepat menggambarkan penampilan secara keseluruhan. Frasa Banting Tulang diambil dari asal usul sejarah permainan bola bekel. Sejatinya, bola bekel merupakan permainan yang diadaptasi dari Belanda dengan nama bikkelspel atau bikkelen. Biji bekel yang digunakan oleh masyarakat Belanda pada saat itu berbahan dasar tulang talus kambing atau domba. Oleh sebab itu, permainan ini disebut sebagai permainan banting tulang. Di Indonesia sendiri banting tulang merupakan kiasan untuk seseorang yang bekerja keras.
“Semoga ARTJOG ini akan terus diselenggarakan setiap tahunnya. Semoga juga bisa menjadi tempat seniman-seniman bebas berkarya untuk menambah kreativitas. Dan semoga kedepannya dapat semakin berkolaborasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain melalui media seni rupa,” ucap Aya, selaku gallery sitter ARTJOG 2024 (17/8).
Penyunting: Paramitha Maharani
Grafis: Tara Saffanah Hernadi