Oleh : Feroza Fahira dan Najwa Ayu Difani
Di tengah isu-isu kebangsaan yang kian kompleks, Embun Kalimasada YBW UII (Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia) kembali menggelar acara perilisan buku Islam Indonesia 2025 pada Selasa, (20/5) di Auditorium FTSP (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan) UII. Perilisan buku ini telah mencapai edisi keenam, awal mulanya hanya ditulis oleh sejumlah dosen yang kerap memiliki visi yang sama. Mereka mendiskusikan dinamika pemerintahan Indonesia yang makin rumit. Diskusi yang dilakukan menghadirkan sebuah gagasan penulisan buku tersebut untuk menggerakkan semangat kepedulian dari para pembaca.
Acara perilisan buku Islam Indonesia 2025 mengundang tiga narasumber dari latar belakang profesi yang beragam, yakni Durrotul Mas’udah (Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga), Jaya Addin Linando (Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII), serta Shinta Maharani (Jurnalis Tempo). Ketiganya memberikan tanggapan dari sudut pandang masing-masing dan membuka ruang diskusi yang terbuka serta interaktif.
Acara dimulai dengan pembacaan puisi oleh kedua mahasiswa UII, yang dilanjutkan dengan beberapa sambutan, diawali oleh Direktur Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII, Hadza Min Fadhli Robby. Ia turut menyampaikan tradisi perilisan buku Indonesia Islam telah dimulai sejak 2020, sebagai upaya menghidupkan budaya diskusi dan pertukaran gagasan di antara intelektual muda di Yogyakarta. Ia berharap buku ini dapat menjadi wadah mereka untuk menulis dan membangun kepercayaan diri, sehingga terciptanya momentum bergerak bersama, khususnya dalam mendukung upaya perbaikan kehidupan bangsa.
“Makanya kita mengajak teman-teman dari Tempo, Muhammadiyah, kampus, macam-macam untuk nulis—supaya kita bisa bergerak bareng lagi. Biar ini nggak cuma dari sektor universitas aja, tapi dari teman-teman lain juga,” ujar Hadza Min Fadhli Robby. (20/05).
Penulisan ini menjadi salah satu upaya bagaimana Embun Kalimasada dapat mengubah narasi Islam yang selama ini hanya berisi pengajian yang sifatnya tekstual, membawa isu-isu Islam ke arah yang lebih kontekstual.
Sambutan selanjutnya dilanjutkan oleh Ketua Pemberdayaan Masyarakat YBW UII, Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si, menyampaikan pesan yang penuh makna dibalik nama Embun Kalimasada. Menurutnya, “embun” berarti kesejukan, yakni simbol dari semangat yang membawa ketenangan dan kebaikan. Namun, ia menambahkan, kini semangat itu hadir dalam bentuk kata “embung” yakni sebuah wadah yang lebih besar dan megah, alih-alih sebagai simbol kesiapan dalam menghadapi tantangan bangsa yang semakin kompleks. Ia menegaskan bahwa gerakan ini bukan simbolik semata, melainkan wujud semangat kolektif untuk menghadapi isu kebangsaan.
Acara berlangsung pada sesi utama yakni diskusi panel yang akan membedah dari tiga sudut pandang panelis mengenai komunikasi politik, kebijakan ekonomi, serta jurnalisme. Diskusi ini secara langsung dipandu oleh Hadza sebagai moderator, ia menyebutkan perilisan buku Islam Indonesia 2025 ini berbeda dari sebelumnya. Biasanya hanya mengundang para penulis sebagai pembicara, namun, kali ini mengundang tiga panelis dari latar belakang yang beragam. Tujuannya adalah agar tulisan ini dibedah dan lebih dikaji secara kritis.
Durrotul Mas’udah memulai pembahasan akan komunikasi politik yang erat kaitannya dengan komunikasi publik. Sebagai seseorang yang memiliki latar belakang ilmu komunikasi, ia menjelaskan tentang rhetorical absence adalah bentuk adanya satu kemunduran. “100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, kita seperti tidak dianggap. Dibilang ndasmu, lah. Jadi membekas di pikiran, bagaimana kapasitas intelektual mereka?” ungkapnya kepada audiens (20/05). Kurangnya kemampuan pejabat pemerintah di era Prabowo-Gibran dalam beretorika menjadi sorotan utama dalam paparannya. Penggunaan kata yang kurang pantas, diucapkan seperti auto-pilot ketika menanggapi keresahan masyarakat, tidak mencerminkan sebagaimana pemimpin negara demokrasi seharusnya.
Kekuatan bahasa yang disampaikan secara serampangan oleh pemimpin dapat menimbulkan kelatahan pejabat lainnya. Pola ini menciptakan superioritas politik yang justru menekan dialog, alih-alih membukanya. Pemerintah sebagai aktor utama komunikasi politik, seharusnya menyediakan public address atau transparansi pada setiap keresahan masyarakat. Namun, kenyataannya, upaya demonstrasi masyarakat sering dihadapi dengan kekerasan.
Hal tersebut berhubungan dengan otoritarianisme pemerintah yang dipaparkan dari sudut pandang seorang jurnalis, Shinta Maharani, sebagai panelis kedua. Melalui sudut pandangnya sebagai jurnalis di media Tempo, kebebasan pers di Indonesia dinilai semakin buruk. Jurnalis kerap mendapatkan kekerasan, baik fisik maupun digital. Ia menyinggung perlakuan pejabat dan aparat yang memberikan ‘bingkisan’ sebagai bentuk terror ke kantor berita Tempo beberapa waktu lalu. Bingkisan berisi satu kepala babi dilanjut dengan enam ekor bangkai tikus tanpa kepala mencerminkan upaya intimidasi.
“Pemerintah seharusnya nggak anti sama jurnalis, nggak alergi terhadap kritik publik, agar demokrasi bisa tetap berjalan,” tutur Shinta Maharani (20/05).
Selain sudut pandang komunikasi dan pers, kebijakan ekonomi turut menjadi hal yang dikritisi dalam buku Islam Indonesia 2025. “Setelah membaca, buku ini terasa provokatif. Ternyata selama ini saya dibohongi,” ungkap Jaya Addin Linando, seorang dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII (20/05). Dalam sudut pandangnya, ia menanggapi penulisan buku yang menggunakan terminologi-terminologi menarik. Seperti kata Gaming Democracy dari bahasa ilmu manajemen Gamification, sebuah ungkapan seolah-olah demokrasi dijadikan mainan.
Perspektif ketiga panelis yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa perilisan buku Islam Indonesia 2025 tidak hanya membedah isu-isu aktual secara kritis, tetapi juga mendorong pembaca untuk lebih peka dan ambil andil dalam solusi kehidupan bangsa melalui narasi Islam yang kontekstual dan relevan di masa ini.
Perilisan buku Islam Indonesia telah menjadi agenda rutin tahunan Embun Kalimasada YBW UII. Saat ini, lembaga kebudayaan tersebut tengah bersiap untuk bertransformasi menjadi lembaga yang menaungi aktivitas pemberdayaan masyarakat dengan berfokus pada filantropi Islam. “Sudah disiapkan nama barunya apa dan calon ketuanya siapa, tapi mungkin akan di-spill nanti aja ya. Insha Allah, fokusnya lebih ke pemberdayaan masyarakat, bukan dalam hal kita memberi bantuan saja, tapi bagaimana masyarakat bisa punya program, kita kawal bareng-bareng dan pendanaannya dari macam-macam tempat,” ujar Hadza (20/05). Ia juga mengharapkan karya buku Islam Indonesia akan tetap berlanjut sebagai inspirasi untuk mengembangkan program yang lebih konkret di masyarakat.
Beberapa peserta yang hadir turut terkesan atas perilisan buku ini yang di-bedah secara langsung oleh tiga panelis. Tidak hanya itu, beberapa peserta diberikan buku Islam Indonesia dari tahun 2021 sampai 2024 dengan percuma. Disisi lain, salah satu peserta yang mengikuti acara ini juga beraspirasi tentang acara perilisan buku Islam Indonesia 2025, sebelumnya ia bercerita bahwa ia juga membaca buku yang ia dapatkan dari acara ini ketika acara berlangsung dengan menyimak apa yang panelis sampaikan.
“Dari buku ini membuat saya melek bahwa ekologi manusia mulai dari mikro hingga mesosistem sangat terpengaruh oleh dinamika pemerintahan,” ujar Asep Rizki selaku Mahasiswa aktif Psikologi UII (20/05). Ia juga berharap buku ini dapat menjadi panduan atau roadmap dalam menghadapi masa pemerintahan Prabowo-Gibran.
Penyunting : Filzahnabiela Azzahra
Grafis : Tara Saffanah Hernadi