Harap-harap Cemas

 

Pagi itu udara terasa sangat sejuk dan menusuk hingga menembus pori-pori kulit. Seperti biasa,di sini pagi terlalu cepat dimulai sehingga matahari tampak lebih sigap memperlihatkan wujudnya. Sinar mentari pagi yang merambat masuk perlahan melalui sela-sela kain sontak memaksaku untuk terjaga dan seolah-olah berkata “Bangun nak,ada sesuatu yang harus kau lalui hari ini,”.

Letih dari sisa-sisa orientasi tingkat Universitas yang sama sekali tidak ada menariknya bagiku masih berbekas dan membuat badan berbobot sembilan puluh kilogram ini remuk dan enggan untuk hadir di acara itu, namun sayang sekali apabila aku tidak hadir dihari itu. Pastinya aku akan melewatkan satu kesempatan emas yang bisa jadi sebuah keberuntungan “mungkin saja hari ini akan ada kejutan didepan mataku,” aku bergumam di dalam hati. Sejujurnya tak ada yang lebih menarik dari hal itu namun, ada satu hal lagi “jangan sampai aku melewatkan perkenalan dengan orang-orang baru yang mungkin saja bisa kujadikan teman diskusi,atau hanya sekedar partner ngopi,” lagi-lagi fikiran aneh melintasi fikiran dimana pagi itu untuk bangkit dari tempat tidur pun aku enggan.

Setelah beberapa menit berdiam diatas tempat tidur, kuputuskan untuk beranjak dan berjalan menuju kamar mandi. Pagi yang cerah dengan jiwa yang teramat lelah, kucoba untuk membangunkan jiwa yang masih setengah sadar dengan mengguyurkan segayung air keseluruh badan “Woaaaaa,ternyata ini rasanya mandi pagi setelah berbulan aku terjaga disiang hari,” aku teriak tanpa memperdulikan penghuni lain. Air yang sejuk mengguyur seluruh badan yang terlihat lebih mirip derum cat membuat ku terkejut dan sadar betapa pentingnya untuk bangun lalu mandi dipagi hari.

Hampir lima belas menit kuhabiskan waktu didalam kamar mandi sambil bernyanyi yang seakan sudah seperti ritual sakral. Bergegas aku meyudahi ritual sakral itu lalu mempersiapkan diri untuk menghadiri acara di pagi itu, dengan hoodie seadanya bertuliskan baby,it’s cold outside dan celana jeans yang sudah dua pekan tidak ku cuci. Aku berangkat mengenakan sneakers kesanyangan berlogo ‘ceklis’ yang warna hitamnya sudah pudar serta sol yang hampir tanggal, sigap aku bergerak setelah melihat jam di handphone menunjukkan pukul 7:50 pertanda bahwa sepuluh menit lagi acara akan dimulai. Dengan tergesa-gesa aku menyusuri jalanan depan kostanku hingga tiba diantara gedung-gedung kampus. Setelah menghabiskan waktu selama sepuluh menit tepat pukul delapan dimana acara akan segera dimulai akhirnya aku sampai ditempat kelompokku berkumpul dengan napas sesak,maklum saja badan bak derum cat ini tidak akan bersahabat untuk berjalan tergesa-gesa.

Setibanya aku di hadapan teman-teman kelompokku dengan mata sayu bak pengguna narkoba dan nafas terengah-engah mereka menatap tajam ke-arah ku dengan raut wajah yang menyimpan tanda tanya besar “Raksasa mana lagi yang tersesat dikelompok ini ?,”. Aku tiba disaat mereka sedang mempersiapkan yel-yel untuk di perlombakan sekaligus menjadi pagi yang suram bagiku,karena disaat aku mencoba untuk memberikan ide dan mengutarakan pendapat dihadapan teman satu kelompok,sesorang sontak membentak dengan nada yang menciutkan nyaliku.

“Bacot lu!,” bentaknya

“Hmm,apaan sih,” jawabku

“Lu kalau jadi orang gak usah nyolot,kalau mau kasih saran gak usah ngegas,” dengan mata terbelalak dia kembali membentakku

“Hm hm,” aku terdiam tanpa sepatah kata. Kaget,kesal semua menjadi satu,perempuan yang baru beberapa menit kukenal berani-beraninya dia membentakku. Tak lama setelah itu suasana dicairkan oleh pembawa acara yang tiba-tiba menghampiri kelompokku dan ternyata memperhatikan apa yang sedang terjadi.

“Hm, memang cinta itu kadang diawali dengan hal-hal yang menyakitkan,” pembawa acara yang menghampiri kelompokku itu berkata dengan pengeras suara sembari menannyakan nama ku,dalam hati aku bergumam “boleh juga itu,lagian perempuan berkerudung hitam yang membentakku lumayan,berparas arabian dan … ,” lalu aku sadar karna di kejutkan dengan perintah penertib barisan yang tiba-tiba mengisyaratkan untuk berpindah tempat.

Setelah berpindah tempat, aku tidak bisa menyembunyikan karakter asliku yang kadang-kadang membuat orang merasa risih dengan guyonanku, namun kali ini berbeda. Teman-teman yang baru kukenal itu mengabadikan momen dimana aku seolah-olah menjadi ‘komika’ atau stand up comedy-an. Dengan senang hati aku mencairkan suasana dan seolah-olah menghibur mereka yang sedang kepanasan dan ku-fikir terbesit juga dalam benak mereka ‘untuk apa semua acara ini digelar’.

 

**

 

Dua hari setelah aku di bentak seorang perempuan yang baru saja ku-kenal aku melangkah lagi  menuju kampus untuk melanjutkan acara demi acara yang harus di lewati. Dengan badan yang masih tersengal-sengal dan mata sayu seolah mencerminkan berandalan yang tak punya tujuan hidup aku berjalan membelah dinginnya pagi serta menyusuri jalanan menuju kampus. Hari ini acara dimulai lebih awal yaitu pukul 07:00 yang mengharuskan aku untuk hadir lebih cepat.

Acara yang cukup menarik perhatian ku tetapi lebih menarik kamu untuk ku perhatikan. Perempuan dengan perawakan tenang serta tinggi tidak semampai membuat penasaran namun tidak menjadi pusat perhatian, syukurlah. Hanya aku yang memperhatikanmu diam diam.

Di sela-sela acara, kami di gilirkan untuk mengunjungi stand komunitas mahasiswa yang ada difakultasku, di sela-sela itu juga terjadi perbincangan kecil yang memberi aku satu jawaban tentang mu, kau tak hanya pemalu, namun lebih dari itu. Sampai Jadi Debu bergeming di telingaku dan lamat-lamat suara ananda badudu merasuki seisi aula, lagu yang cukup terkenal dan dinyanyikan oleh Banda Neira sebuah band independen yang ‘meng-cover’ puisi lalu melagukannya.

“Sampai kita tua,sampai jadi debu,”,“ku di na na na..”

“Kau diliang yang satu,ku disebelahnya,” saut perempuan itu

“Eh, aku lupa lirik,” ucapku sambil tertawa

“Bilang aja enggak tau lagunya, haha” giginya yang putih dan rapih itu sontak terlihat

aku terdiam,karna secara tidak langsung pengetahuan akan musikku sedang di uji dan dia memiliki ketertarikan musik yang sangat unik, didalam hati aku bergumam “Keren jugak ini anak,jarang-jarang perempuan mau tahu soal musik seperti ini,”

Setelah perbincangan singkat itu berlalu dan tak terasa matahari terbenam lalu berganti menjadi malam,acara puncak itupun datang. Peserta dan panitia sama-sama menghidupkan lilin didalam ruangan yang seluruh penerangannya sengaja dimatikan dan bernyanyi lagu perpisahan,lamat-lamat kutatap wajahnya sambil berhayal “Suatu saat kau akan jadi milikku!,”.

Seharian kami melewati acara demi acara sampai-sampai tak terasa waktu dengan cepat berputar siang pun sudah berganti malam, momen demi momen yang mungkin menjadi wadah perkenalan atau bisa jadi jembatan asmara senior dengan junior atau aku dan kamu. Lebih dari delapan jam bertahan dikampus dan mengikuti kegiatan yang ber-orientasi untuk mahasiswa baru. Tiba-tiba salah satu panitia mengumumgkan kejutan dengan pengeras suara

“Teman-teman,silahkan keluar memalui pintu timur dan membawa nasi kuning spesial sebagai bekal makan malam kalian, terimakasi telah mengikuti rangkaian acara dan bla bla bla,” ucapnya

“Alhamdulillah,maka nikmat tuhanmu yang mana lagi yang akan engkau dustakan,” gumamku

“Ini sebenarnya yang ditunggu-tunggu,enggak apa-apa seharian dikampus tapi pulangnya bawa       bekel haha,” saut teman sekelompokku.

Dengan senang hati kami menyambut perpisahan yang secara resmi menjadi awal perjuangan,nasi kuning adalah lambang penghematan. Aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan malam,dan bisa mempergunakannya untuk hal lain seperti delivery kopi, Yap! Kopi. Kopi adalah ‘dopping’ bagiku,mungkin karna caffeein menyebabkan candu yang membuat ketergantungan tapi kamu menyebabkan kerinduan.

“Cerah amat mukanya dapet nasi kuning,” ujar nya,perempuan yang kuceritakan sejak tadi

“Ya iyalah,gak perlu beli makan malam lagi dong haha”

“Dasar anak kost,huu,” ia berbicara sambil menjulurkan lidah

“Biarin,hidup senang perut kenyang haha,” sanggahku

Perbincangan terakhir sebelum aku dan dia berpisah dan kembali ke-kediaman masing-masing. Hari yang meelahkan dengan kenangan yang mengesankan,jujur,untuk hal satu ini aku merasa senang karna mendapat sambutan yang memanusiaakan manusia dan tentunya mengesankan.

 

**

 

Sepekan berlalu dan perkuliahan pun dimulai,aku yang hampir satu tahun tidak bercengkrama dengan pelajaran dan buku-buku kembali masuk kedalam dunia yang penuh dengn ‘deadline’,’project’ dan latihan. Semua itu bisa aku atasi dan tidak terlalu berat karna, aku sudah biasa sejak masa sekolah menengah atas untuk mengatasi masalah dan belajar mandiri dalam hal apapun, memang tak dipungkiri aku terkejut akan hal-hal baru yang aku temui,teman baru,dosen baru dan mungkin perasaan yang baru. Setelah sepekan berlalu juga,aku tiba-tiba merindu dan bingung kenapa aku bisa merasakan hal itu lagi, konyol memang kalau hanya karna dia mengingatkanku akan lirik lagu membuat aku merindu “rendah sekali kelas asmaraku” gumamku dalam hati. Tapi sejujurnya,dia anak yang membuatku setengah mati penasaran.

Siang itu aku mencoba mencicipi fasilitas kampus,ada satu hal menarik di kamar mandi masjid yang menyadiakan sabun dan shampo untuk mandi. Sungguh mulia pengurus majid kampus yang sampai terifkir akan hal seperti itu,dan perpustakaan 5 lantai yang ditengah-tengahnya terdapat objek sejarah yaitu candi. Keren,karna tidak semua kampus ada candinya dan tidak semua kampus ada sabun dan shampo dikamar mandi masjidnya.

Melangkah aku menuju perpustakaan pusat yang dimiliki kampus,seakan-akan aku sampai disurga. Karna di dalam kepalaku,membaca itu lebih dari apapun dan membaca itu adalah sebuah meditasi. Aku telusuri satu persatu rak buku yang ada dan kuambil salah satunya untuk dibaca.

Setelah hampir setengah jam bercengkrama dengan buku yang sudah kuambil tadi,tiba-tiba rasa bosan menyerangku “Ah,bosan juga lama-lama disini. Aku pinjam saja bukunya lalu aku baca dirumah sembari menikmati kopi” gumamku dalam hati, setelah memutuskan untuk meminjam buku dari perpustakaan,aku melangkahkan kaki memuju kost-kostan berisi dua puluh kamar dengan luas 3×3. Cukup luas untuk seorang pria yang merantau hanya bermodalkan nekat sepertiku.

Sesaat aku hampir sampai, tiba-tiba ada perempuan yang menyapaku tepat di warung makan depan kost-kostan namun ragu aku membalas sapaan itu karena aku tak dapat melihat dengan jelas  dalam jarak tertentu. Membatin aku “Sepertinya aku mengenal perempuan itu,” gumamku dalam hati karna suara yang kudengar itu seperti akrab ditelinga, untuk membayar keragu-raguan itu dengan percaya diri aku menghampirinya untuk memastikan benar atau salah dugaanku dan ternyata benar. Mungkin ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam pun tiba.

“Hei,” sautnya

“Eh,ngapain disini?,” jawabku

“Makan,”

“Lah kok makan didepan kostku,memangnya kamu nge-kost dimana?,”

“Disebelah,”

“Waduh,beneran?”

“Ya iyalah,masa aku ngekost di monjali. Kejauhan tau !,”

“Ya enggak gitu juga,eh tapi kita kok jarang ketemu ya?,”

“Karna kita jarang berpapasan,” jawabnya ringan

“Hm,ospek satu kelompok,fakultas sama,kostan sebelahan. Kayaknya kita .. “

“kayaknya apa? Jangan ngawur kamu, haha” sembari melontarkan senyum manis.

“kayanya kita cocok untuk berteman,haha,” jawabku menggunakan trik mengelak

“Haha sana masuk,pulang kuliah bukannya mandi malah gangguin orang makan,” perintahnya dengan raut salah tingkah

“Ok,laksanakan,” dengan tegas aku menjawab

Lalu beranjak aku menyusuri lorong kostan yang lebih mirip seperti rumah sakit karena dindingnya berlapiskan cat warna putih polos sambil bertanya dalam hati “Yang menyapa duluan kan dia,lalu kenapa aku yang dibilang mengganggu?,” tak habis fikir aku dibuatnya, mungkin ini yang dikatakan banyak orang “Serumit apapun matematika dan fisika jauh lebih rumit memahami wanita.”

 

**

 

*ping*

*ping*

Tiba-tiba notifikasi dari sosial mediaku berdering

“Siapa lagi yang berani mengganggu malam indahku,” gumamku dalam hati. Tapi aku penasaran,siapa yang tengah malam begini mengirimkan pesan kesosial mediaku.

“Di,sekali-sekali aku pengen ngajakin kamu hunting,” isi pesan dari prempuan yang kutemui sore tadi.

“Wah,dengan senang hati,” balasku di kolom pesan

“Nanti kita atur jadwal ya,”

“Siap ! kapan saja,dimana saja, berangkat!,” jawabku dengan antusias.

Tak disangka-sangka baru sore tadi kami bertemu malamnya dia menyapa dan memberikan tawaran untuk berburu foto bersama aku tidak merespon lebih karna terlalu berlebihan untuk bertanya dapat kontakku darimana?. Ya sudah pasti dari grup kelompok orientasi,namun percapakan didalam pesan itu berakhir dengan cepat dengan tempo yang singkat seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Harap-harap cemas aku menanti hal itu terjadi. Setelah sebelumnya dia membuat aku tak bisa berhenti berfikir sekarang lalu dia malah memberikanku sebuah harapan. Namun nyatanya hingga detik ini tidak ada lanjutan dari percakapan dipesan itu serta pertemuan diwarung makan depan kost-kostan. Tapi kenapa aku masih berharap dan kenapa aku yakin kalau itu akan tetap terjadi. Pertanyaan besar mulai menghantui ku satu demi satu,apakah dia memiliki perasaan yang sama? Atau semua itu hanya basa-basi belaka?, Entahlah.

 

Oleh: Didi

Ilustrasi: Bang Sat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *