Sekolah Hanyalah Komoditas Tenaga Kerja Informal

Oleh: Fatih Hayatul Azhar
(Mahasiswa Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan)

Pendidikan modern, di era yang konon katanya maju, lebih mirip pabrik daripada lembaga pembentuk manusia. Kita menyebutnya “sekolah,” tetapi realitanya, sekolah tak lebih dari jalur produksi massal yang menyiapkan generasi muda untuk dilempar ke pasar tenaga kerja. Jika kita melihat dari kacamata kritis, pendidikan hari ini menggarap siswa bukan sebagai individu dengan potensi tak terbatas, tetapi sebagai objek yang harus dicetak dalam satu bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhan industri.

Di pabrik, yang penting adalah efisiensi. Tak ada tempat bagi individualitas, apalagi kreativitas. Begitu juga di sekolah, murid diharuskan mengikuti jalur tertentu—kurikulum baku, tugas berulang, ujian standar. Apa yang terjadi? Mereka terdidik untuk menjadi buruh berpikir, bukan pemikir yang bebas. Pada paradigma tersebut, sekolah kehilangan fungsinya sebagai tempat eksplorasi intelektual, malah menjadi sarana penyeragaman pikiran. Apakah ini yang kita sebut sebagai pendidikan?

Lantas, di mana ruang untuk menjadi manusia? Di bawah sistem ini, siswa dipaksa menjadi produk seragam yang siap dijual di pasar kerja. Pendidikan telah direduksi menjadi proses industrialisasi manusia, bukan pemberdayaan nalar kritis. Ironisnya, kita menerimanya tanpa banyak pertanyaan, seolah-olah ini adalah harga yang wajar untuk “sukses” dalam masyarakat yang dipenuhi oleh mesin-mesin kapitalisme.

Kreativitas Terpasung oleh Standar

Kurikulum dalam sistem pendidikan saat ini semacam manual kerja bagi calon buruh intelektual. Dirancang untuk memastikan bahwa output—dalam hal ini, siswa—memenuhi standar tertentu. Ini mengingatkan kita pada standar ISO dalam industri manufaktur. Namun, dalam proses ini, yang sering terlupakan adalah manusia bukan mesin yang hanya butuh instruksi; manusia membutuhkan ruang untuk berpikir, berimajinasi, dan menciptakan sesuatu yang baru.

Dengan kurikulum yang kaku, siswa diajarkan untuk mematuhi aturan, bukan untuk menantangnya. Di mana ruang untuk pemikiran inovatif? Di mana kesempatan untuk mengeksplorasi ide-ide liar yang mungkin di luar kebiasaan?

Kurikulum yang begitu terstruktur secara tidak langsung memasung kreativitas siswa, memaksa mereka berpikir dalam kotak yang sudah ditentukan. Padahal, di luar sana tidak membutuhkan robot yang patuh. Dunia membutuhkan manusia yang mampu melihat di luar kotak, yang bisa menembus batas-batas konvensional.

Jika kita terus memaksa siswa untuk berpikir dalam garis-garis yang sudah ditentukan, bagaimana kita bisa berharap mereka menciptakan sesuatu yang baru? Kreativitas bukanlah produk dari kepatuhan, tetapi hasil dari keberanian untuk melanggar aturan. Namun, pendidikan kita hari ini tidak merangsang keberanian itu. Justru sebaliknya, ia menumbuhkan ketakutan untuk salah. Maka, yang kita hasilkan adalah generasi yang patuh, bukan generasi yang berani berpikir dan berinovasi.

Mereduksi Potensi Manusia menjadi Angka

Sistem penilaian di sekolah tidak lebih dari sebuah sistem ekonomi yang membungkus pendidikan dalam logika kapitalis. Nilai ujian, angka-angka di atas kertas, dijadikan mata uang yang menentukan harga diri dan masa depan siswa. Reduksi yang luar biasa kasar terhadap potensi manusia, seolah-olah semua kualitas dan kemampuan seseorang bisa diringkas dalam angka yang dingin dan tak bernyawa.

Nilai-nilai yang kita anggap sebagai ukuran sukses, sebenarnya adalah refleksi dari sistem yang lebih menghargai kuantitas daripada kualitas. Dalam mengejar nilai tinggi, siswa seringkali mengorbankan pemahaman mendalam dan keinginan untuk benar-benar menguasai suatu subjek.

Mereka belajar untuk ujian, bukan untuk hidup. Apa gunanya nilai tinggi jika itu hanya sekadar angka tanpa makna di baliknya? Apakah kita sedang mendidik manusia? Atau hanya sekadar melatih mereka untuk lulus ujian?

Khawatirnya adalah bagaimana nilai memengaruhi persepsi diri siswa. Mereka diajarkan untuk melihat diri mereka sebagai angka-angka, bukan sebagai individu dengan potensi unik. Semisal nilai mereka rendah, mereka dianggap gagal. Jika tinggi, mereka dianggap sukses. Padahal, apakah angka-angka ini benar-benar mencerminkan potensi sejati seseorang? Atau hanya ilusi sukses yang diciptakan oleh sistem pendidikan yang lebih peduli pada statistik daripada perkembangan manusia?

Guru Kehilangan Peran sebagai Inspirator

Dalam sistem pendidikan yang semakin tersentralisasi dan terstandarisasi, guru terjebak dalam peran sebagai supervisor, bukan inspirator. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk memastikan siswa mematuhi aturan dan mencapai target yang telah ditetapkan daripada membimbing mereka menemukan jalur pemikiran yang orisinal dan kreatif. Ini adalah bentuk degradasi paling buruk dari peran mulia oleh seorang guru, yang seharusnya menjadi pemandu intelektual dan pembentuk karakter.

Guru yang ideal adalah mereka yang mampu memantik api rasa ingin tahu dalam diri siswa, bukan mereka yang hanya sibuk dengan administrasi dan target kurikulum. Pada kenyataannya, guru-guru ini lebih sering dibebani dengan tanggung jawab yang membuat mereka seperti operator mesin pendidikan. Tugas utamanya adalah memastikan proses berjalan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP).

Apakah ini yang kita inginkan dari seorang pendidik? Ketika guru kehilangan kebebasan untuk mengajar dengan caranya sendiri, mereka kehilangan kemampuan untuk benar-benar menyentuh hati dan pikiran siswa. Mereka bukan lagi inspirator yang mampu mengubah hidup siswa, tetapi hanya bagian dari mekanisme besar yang menggerakkan sistem pendidikan.

Melalui kondisi itu, hubungan antara guru dan siswa menjadi transaksional, bukan transformatif. Dan yang paling merugi dalam situasi ini tentu saja siswa, yang kehilangan sosok inspiratif yang seharusnya membimbing mereka menjadi pemikir bebas.

Apakah Ini Pendidikan atau Hanya Investasi?

Di era sekarang, gelar akademik telah berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan seperti tiket masuk dunia kerja. Diploma tidak lagi dipandang sebagai bukti pengetahuan atau kompetensi, melainkan sebagai investasi yang diharapkan memberikan pengembalian berupa pekerjaan dengan gaji tinggi. Pendidikan tidak lagi dilihat sebagai proses pencerahan intelektual, tetapi sebagai sarana untuk menaikkan status ekonomi dan sosial.

Memunculkan pertanyaan mendasar, “Apakah kita sedang mendidik atau hanya memperdagangkan tiket ke dunia kerja?” Ketika diploma menjadi lebih penting daripada pengetahuan yang sebenarnya, kita menciptakan ilusi bahwa pendidikan adalah soal mendapatkan gelar, bukan soal menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bijaksana.

Akibatnya, banyak siswa yang hanya mengejar gelar tanpa benar-benar memahami atau menghargai ilmu yang mereka pelajari. Lebih jauh lagi, fenomena ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Mereka yang mampu membayar pendidikan berkualitas akan terus mendominasi, sementara yang lain tertinggal.

Hal-hal strukturalis tadi bukan lagi tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi tentang mempertahankan legitimasi kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat untuk mempromosikan kesetaraan, malah berkontribusi pada ketidakadilan.

Penghapusan Makna Pendidikan

Pendidikan yang terjebak dalam sistem kapitalis tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pembebasan, melainkan sebagai alat yang memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Mereka yang memiliki akses ke pendidikan berkualitas mendapatkan keuntungan yang tidak proporsional, sementara yang lain terpinggirkan.

Tentu ini bukan lagi tentang mendidik manusia saja, melainkan tentang mendukung oligarki pengetahuan, di mana akses terhadap informasi dan pendidikan dikendalikan oleh mereka yang sudah memiliki kekuasaan. Dalam kondisi ini, pendidikan kehilangan makna sejatinya.

Alih-alih menjadi sarana untuk mencari kebenaran dan memajukan masyarakat, pendidikan malah menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Mereka yang mampu mengakses pendidikan berkualitas akan terus mendominasi, sementara yang lain tertinggal jauh di belakang. Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana pendidikan tidak lagi mendorong kesetaraan, melainkan memperkuat ketidakadilan.

Jika kita tidak segera menyadari dan mengubah arah, kita akan melihat pendidikan menjadi semakin eksklusif, hanya dinikmati oleh mereka yang sudah memiliki privilese. Apakah ini yang kita inginkan? Atau kita akan terus mendukung sistem yang sebenarnya merusak esensi dari pendidikan itu sendiri—sebuah sistem yang tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi malah memperbudak nalar kritis demi kepentingan segelintir orang?


Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi Kognisia.

Penyunting: Paramitha Maharani

Grafis: Dhiya Shofia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *