Bersua kembali

Oleh Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi (HI 2019)

“Selamat Idul Adha… mohon maaf lahir batin sanak”

“Semoga cepet tuntas ya kesibukannya, maaf lho ganggu mulu hehe”

“Mudahan juga Corona hilang”

Dengan penuh nestapa Anwar membaca pesan Facebook Messenger salah seorang teman karibnya yang bahkan hingga detik ini sama sekali belum dibalas. Tak terbendung hati Anwar menahan buncah seorang diri di remangnya malam. Rasa sesal menggayuti sanubarinya – teragak ingin berjumpa si Rustam. Namun apalah semua hanya penyesalan, takkan ada lagi kesempatan untuk menemuinya. Selamanya.

“Setelah pandemi berakhir, ayo kita bersua kembali!”

Siapa yang menyangka kalimat di atas adalah pesan terakhir Rustam. Setelah itu tiada lagi orang yang aktif mengiriminya pesan – tidak ada lagi orang yang rasa pedulinya kepada Anwar melebihi Rustam seorang. Bahkan kekasih atau teman-teman barunya, semakin lama semakin nampak ‘musiman’. Mereka datang hanya ketika membutuhkan, lalu menghilang begitu saja bak korban penculikan misterius tatkala orde baru. Sementara dahulu, jauh atau dekat Rustam selalu ada untuknya. Selalu berupaya untuk menolong Anwar sebisa mungkin.

“Rustam…” Sebutnya di tengah sepi. Air matanya tak terbendung. “Rustam… janganlah pergi, ayolah kapan kita bersua kembali!”

Seharusnya Anwar lebih mensyukuri kehadiran sang sanak yang senantiasa menemaninya sejak bermain kelereng sampai zaman mabar game online. Sesibuk apa pun Rustam, ia selalu menyempatkan diri untuk menanyai kabar kawan terbaiknya. Meskipun tahu Anwar nantinya tidak melakukan hal demikian. Rustam sangat jarang menceritakan masalah hidupnya kepada siapapun. Adapun Anwar, tiada hari tanpa sambat dan berkeluh kesah – saat dirinya masih akrab dengan Rustam.

Sekarang engkau pasti dalam keadaan risau. Betapa jembar kesempatan yang diberikan, akan tetapi mengapa engkau tidak menyempatkan waktu sedikit pun untuk menyambung silaturrahim dengannya? Membalas pesan pun tidak mau. Mau sampai kapan sok-sok berlagak menjadi insan yang paling sibuk? Sementara pada kenyataannya engkau hanya hidup di zona nyaman. Hei Anwar, sekarang kamu pasti tersadar hal-hal kecil seperti membalas pesan bisa saja menjadi sangat berarti bagi orang lain. Jadi jangalah lagi seenaknya bersikap tak peduli tanpa alasan jelas.

Namanya manusia, ketika nelangsa ia pasti merasa tidak ada satupun yang peduli padanya. Padahal orang yang amat peduli itu ada… namun tanpa sadar dicampakkan olehnya. Berhentilah berkoar-koar mengenai kemanusiaan bila dirimu masih memperturut idealisme di atas segalanya. Bukankah kita seharusnya saling menguatkan, terlebih di masa wabah mengerikan ini – bukan hanya berdampak pada fisik saja, melainkan mental pula.

Aku yakin kalau saja Rustam masih ada, mengetahui keadaan si Anwar yang sekarang ia pasti akan langsung berangkat untuk menemuinya. Tak peduli sejauh apa jaraknya – tak peduli sesusah apa kondisi Anwar sekarang. Rustam pasti akan mencari cara bagaimana kawannya itu bisa terlepas dari berbagai macam beban.

Semakin terisak Anwar di malam itu. Ditambah lagi ia mengingat momen haru di mana Rustam hadir dengan ikhlas menolongnya. Hari itu Rustam pernah berkata pada Anwar.

***

“Udahlah aman, gausah ganti sanak. Alhamdulillah soalnya lagi ada duit nih, pokoknya nggak usah dipikirin lah.”

“Ya Allah, Tam. Nggak enak aku ini serius, udah hampir sebulan belum bisa bayar utangmu. Kasihlah kesempatan.”

“Bodo amat, aku pokoknya udah ikhlas!”

“Woee!!!”

“Biarin, dah yak santai aja. Aku cabut dulu.”

Padahal utang Anwar kepada Rustam tatkala itu tidaklah sedikit jika dihitung secara nominal. Akan tetapi Rustam mengikhlaskan begitu saja, semudah membalikkan telapak tangan. Sebuah kebaikan yang bahkan takkan mampu disisihkan oleh masa. Elok budinya tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

Rustam adalah pendengar setia. Entah ketika Anwar berkeluh kesah tentang cinta, masalah hidup, dan semuanya – Rustam pasti mendengar dengan baik. Baginya apa pun kabar soal kawannya tersebut ialah perihal penting yang harus didengarkan. Tiada bosan-bosannya manusia itu mendengarkan Anwar. Pantas saja di masa kini Anwar menjadi berlipat-lipat kesepian, tidak hanya dilanda ujian hidup, tetapi juga duka lantaran kehilangan temannya untuk selamanya.

Memang secara omongan Rustam tidak bisa memberi saran atau masukan kepada Anwar, namun ia membantu melalui tindakan. Misalnya dulu tatkala Anwar tidak bisa berpaling dari mantan cintanya, Rustam selalu mengajaknya untuk keluyuran bersama kanca-kancanya yang lain – entah mendaki gunung, traveling, dan berbagai aktivitas lainnya. Berkat itu Anwar jauh dari kesendirian sehingga ia mudah untuk move on.

Sambil tersedu-sedu Anwar mengingat persuaan terakhir mereka tepat sekitar setahun silam. Siapa yang mengira Kopi Klotok menjadi saksi bisu pertemuan terakhir mereka. Senja yang nampak lebih dingin dari biasanya itu menjadi suasana terakhir Anwar melihat sanaknya.

“Aihh ngapain sih, kek ini pertemuan terakhir aja sampe mesti ketemuan dulu baru pulang.” Keluh Anwar selepas menyeruput kopi.

“Haha.” Gelak si Rustam. “Ya nggak apa-apa kan? Silaturrahim woi, berapa lama satu rantau di Jogja tapi nggak pernah ketemu ya kan.”

“Ya ya, tapi sekarang aku sibuk banget. Syukur aja masih sempat hari ini, duh.”

“Wahh, sibuk kerja kah sanak?”

“Hmm, nggak. Pokoknya sibuklah. Aku juga mau serius sama si ‘dia’. Tahun ini moga bisa tunangan.”

“Owh oke oke maaf lho. Alhamdulillah, mantap sanak. Nanti kalau nikah wajib undang aku pokoknya! Haha, keknya bakal seru nanti!”

“Haha, dahlah pokoknya kamu doain aja ya.”

“Aman, selalu!”

“Eh iya kamu tu, buruan nggih nyari cewek. Betah amat melajang dari dulu haha. Nyari yang Jogja aja, populasi cewek di provinsi ini lebih banyak dari cowoknya, lho. Yang rantau bisalah dapat kesempatan.”

“Entahlah bung.”

“Lha, napa? Jangan bilang kau tidak suka wanita?”

“Bukannya gitu woi! Tapi sekarang aku cuma fokus mikir bagaimana bertahan hidup. Boro-boro cewek, bisa makan hari ini aja aku udah syukur.”

“Sok bijak seperti biasa yak.”

Keduanya kemudian tertawa lepas. Memori itu semakin bergayutan dalam benak Anwar yang saat ini penuh rasai. Ia pacik handphonenya dengan kuat sembari meluapkan isak. Sulit bagi Anwar menerima kenyataan bahwa temannya, Ahmad Rustam telah dikebumikan kemarin. Sebelum meninggal, Rustam telah berjuang melawan ganasnya Covid-19 selama kurang lebih dua pekan. Kehendak Allah, ia kemudian menghembuskan napas terakhir pada tanggal 31 Maret 2021.

***

Banyak ungkapan belasungkawa dari teman-teman alumni SD-nya termasuk para guru, tetangga, dan lain-lain. Anwar pun menyaksikan banyak ucapan duka cita memenuhi sosial media Rustam tanpa terkecuali. Sungguh hati Anwar semakin tergamang saat itu. Ternyata memang benar, “Setelah pandemi berakhir, ayo kita bersua kembali!” – itulah pesan terakhir Rustam untuknya.

Mau si Anwar mencoba membalas dengan spam berkali-kali pun sudah sia-sia, lihatlah akun Facebook Rustam yang kini sudah tertanda ‘mengenang’. Berat bagi Anwar untuk berhenti terlarut menyesal, namun inilah hidup. Tidak ada yang bisa menjamin seseorang untuk hidup lebih lama sebab semua pasti akan merasakan kematian. Letih sudah Anwar – ia berbaring di kasur dengan lemah tak berdaya.

“Ayo kita bersua kembali, Rustam. Janganlah waktu pandemi selesai, tapi nanti di akhirat ya sanak! Tunggulah kawanmu ini.”


Penulis merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional angkatan 2019.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *