Eco-jihad : Gerakan Peduli Lingkungan Berlandaskan Keagamaan

Oleh Aurelia T. Nugroho

Belum lama ini kita baru saja memperingati hari bumi yang jatuh pada 22 april. Banyaknya aktivitas-aktivitas manusia yang merugikan lingkungan seperti: pembangkit batu bara, kebakaran hutan dan penggunaan pestisida secara berlebihan setidaknya berdampak mengikis lapisan ozon dan menimbun zat karbon yang membuat sinar matahari tidak bisa keluar dengan baik dan membuat bumi ini semakin panas.

Senin (26/04) malam public virtue yang bekerjasama dengan kitabisa.com membuat series diskusi yang bertajuk “Ceramah Ramadhan Inklusif’ dan dibersamai dengan shalat tarawih secara berjamaah secara online ini. Diskusi yang sudah dilaksanakan dari awal bulan ramadhan ini akan membawakan topik-topik yang berbeda setiap malamnya. Pada malam itu topik yang ambil untuk di diskusikan bersama adalah Eco-jihad: Langkah menjaga keseimbangan bumi. 

Hal ini selaras dengan yang diucapkan oleh Hening bahwa “aktivitas manusia yang semakin merusak ekosistem akan membuat bumi tidak bisa bernafas dan berakhir dengan krisis iklim yang besar”. Itulah menjadi akar bencana hidrometeorologi dengan naiknya suhu rata-rata global sebanyak 1’2 celcius menjadikan beberapa tahun ini menjadi masa dengan tahun terpanas. Maka jangan heran mengapa kita merasa panas sekali saat ini apalagi ditambah dengan saat ini kita ada di dalam bulan Ramadhan dimana kita tidak bisa makan dan minum selama 12 jam apalagi saat matahari sedang panas-panasnya.

“Segala hal yang terjadi saat ini bukanlah takdir yang diberikan oleh Allah tetapi itu adalah bagian dari perbuatan manusia yang menjalankannya” tambah Hening.

Eco-jihad menjadi salah satu cara kita sebagai manusia meneguhkan hati dan menjadi salah satu dakwah kita dalam menjalan aksi menjaga ekosistem lingkungan tanpa pandang bulu siapa yang akan melakukannya,  dimana semua orang bisa melakukan jihad ini. Bulan ramadhan bisa menjadi bulan yang tepat untuk melakukan revolusi pada perkembangan lingkungan dengan berlandaskan keagamaan.

Dari diskusi ini juga dijelaskan bahwa di dalam Al-Quran sendiri tepatnya pada surat al a’raf di ayat ke 56-58, Allah telah mengingatkan bahwa manusia untuk tidak membuat kerusakan karena semua akibatnya kembali ke manusia itu sendiri dalam planet ini. Dari ayat-ayat itu juga dijelaskan bagaimana hasil tanaman yang ada sekarang itu kembali dengan kondisi tanahnya juga. Meskipun adanya hujan mungkin menjadi  penolong tetapi hal itu belum cukup untuk mengurangi kerusakan tanah yang sudah ada. Ada salah satu pertanyaan yang cukup menarik muncul dari Husman berbunyi “Mungkinkah MUI bisa diarahkan untuk membuat fatwa yang lebih progresif tentang mitigasi krisis iklim?” . 

Lantas hal ini dijawab dengan sangat yakin oleh Hening, “Sebenarnya isu ekologi dan agama di dalam MUI sudah lama diintegrasikan, tetapi berakhir di fatwa saja tanpa adanya kejelasan yang berarti. Hanya saja proses sosialisasi yang kurang kepada masyarakat dan hanya menjadi pikiran belaka membuat khalayak umum aware dengan adanya peraturan ini.”

Walau pada faktanya urusan agama dengan lingkungan ini masih sangat jauh dari jangkauan teoritis masyarakat untuk menjaga lingkungan yang berlandaskan agama tanpa pandang dari sisi yang lain. Manusia masih banyak mengedepankan hal lain yang bersifat kemanusiaan tanpa melihat fakta kalau lingkunganya sudah mereka rusak. Pada bulan ramadhan ini semoga bisa menjadi pintu pembuka untuk kita semua dalam menjaga dan memperbaiki pola pikir dan bagaimana tindakan yang semestinya, agar bumi kita tidak semakin panas dan rusak.


Penyunting: Citra Mediant

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *