Kabar Kabar Estetik

Jogja Art + Book Fest: Sebuah Peristiwa Literasi, Seni Rupa, dan Musik, Melebur Menjadi Satu

JABF

Oleh: Elang Moh Abimanyu

Melalui Jogja Art+Books Festival, para pengunjung dapat merasakan sentuhan magis dari karya sastra yang hidup, menghayati keindahan visual dari seni rupa, serta memahami esensi Jogja yang membumi. Inilah Yogyakarta, sebuah kota dengan ciri khas kekayaan budaya yang tak ternilai, menggabungkan literasi, seni rupa, dan musik menjadi sebuah paduan yang memukau. Di tengah gemerlapnya aktivitas budaya, pameran festival menjadi panggung yang memperlihatkan keajaiban dari harmoni ini.

Mengusung tema sebuah peristiwa literasi, seni rupa, dan musik yang melebur menjadi satu, acara ini diadakan di The Ratan mulai dari 1 hingga 14 Mei 2024. Festival yang menyediakan bazar buku, pameran seni rupa, dan diskusi buku. Tak hanya itu, menjelang penutup hari Jogja Art+Books Festival juga menyediakan live music kepada para musisi dengan jenis musik yang berciri khas.

Lebih dari sekadar pameran, festival ini adalah sebuah undangan untuk menyelami jiwa seni dan literasi yang sesungguhnya. Di sini, seni dan literasi bukan hanya entitas yang terpisah, melainkan perpaduan harmonis yang mencerminkan kekayaan budaya nusantara.

Moe Indie, Lukisan yang Menceritakan Sejarah dan Seni yang Mencerminkan Masa Kini

Kamis sore (9/5) panitia pameran lukisan Jogja Art+Book Festival, Gayuh Hana Waskito memaparkan sejarah, filosofi, dan kaitannya dengan literasi dari diadakanya pameran lukisan ini. Ia menjelaskan bahwa seni dan literasi itu tentu sangat berkaitan terutama dalam proses pembuatanya, akan selalu ada literasi di dalamnya. 

“Jadi, kalau menurut keterangan Direktur Penyelenggara Acara, Bapak Dodo Hartoko, dia beranggapan sejatinya seni itu dalam pengembangan karyanya atau proses produksinya tidak lepas dari usaha-usaha literasi. Contohnya, seniman dalam melukis karyanya itu pasti akan membaca dan riset terlebih dahulu. Itulah yang membuat dihadirkannya juga pameran dalam acara literasi seperti ini,” tuturnya.

Ia juga mengatakan bahwa pada kali ini pameran lukisan mengusung sebuah tema yang bertajuk Mooi Indie dari masa ke masa. Mooi yang berarti indah dan Indie berarti negara jajahan. Alasan pameran ini diberi nama Mooi Indie dari masa ke masa karena pameran ini ingin menunjukan Mooi Indie di masa sekarang oleh berbagai seniman yang berbeda.

“Untuk temanya tahun ini yaitu Mooi Indie atau dari masa ke masa. Artinya istilah tersebut merupakan salah satu genre seni lukis yang muncul di masa kolonialisme, sama halnya seperti lukisan Raden Saleh. Alasan dinamakan Moe Indie karena lukisan itu melukiskan landscape bentang alam di negara jajahan. Konteksnya seperti pada masa itu kita dijajah Belanda dan biasanya lukisan ini menggambarkan pantai, sawah, dan pegunungan,” jelasnya.

Maka tidak heran, jika lukisan yang ada di pameran ini dibuat dengan refleksi yang berbeda-beda dari berbagai seniman dalam melihat Moe Indie. Salah satu lukisan karya Eko Nugroho, ia mengaitkannya dengan eksploitasi alam karena keserakahan manusia. Lukisan karya beliau ini terlihat ada pohon sawit, minyak yang menyembur, dan ada gunung yang berwarna merah.

Lukisan Karya Eko Nugroho
Lukisan Karya Eko Nugroho
Literasi sebagai Pintu Masuk dalam Mengingat Sejarah di Tengah Tantangan Kontemporer

Sore itu, kami berkesempatan menemui Muhidin M. Dahlan selaku penulis serta pegiat literasi dalam sesi diskusi buku. Ia mengatakan bahwa Jogja Art+Books Festival merupakan acara yang penting untuk dilakukan di tengah minimnya literasi sejarah. Jika mengacu dari literasi dan respon penjualan buku, angan-angan itu masih ada sebenarnya. Namun itu tidak didukung oleh pendidikan yang ada sehingga pelajaran sejarah secara umum di sekolah formal itu buruk. Ketika materi dan penyampaiannya buruk kemudian keduanya berkesinambungan, maka keberadaan sejarah akan berbahaya. 

Menurutnya krisis literasi yang terjadi di kalangan pelajar maupun mahasiswa saat ini dapat terjadi karena mahasiswa sekarang melakukan sesuatu hanya karena tugas dari pengajar saja, jika pengajar tidak menyuruh membaca buku maka tidak akan peduli. 

“Dengan adanya buku ini diharapkan dapat menjadi pintu masuk kita untuk memikirkan kembali bahwa kegiatan kecil seperti mengkliping menjadi penting pada suatu hari dan pada momentum tertentu. Buku ini kan tidak datang begitu saja, tapi olah ingat yang sudah dilakukan selama dua dekade. Ketika ada momentumnya cepat bergerak. Jadi buku ini dibikin cepat, tapi latihan untuk jaga-jaga itu cukup lama,” ujar Muhidin setelah dilakukanya diskusi buku.

Tak hanya itu, kami juga berkesempatan menemui Zainal Arifin Mochtar selaku akademisi dan pakar hukum tata negara Indonesia yang hadir dalam sesi diskusi buku. Menurutnya acara seperti ini merupakan pemantik kembali dari yang namanya wacana, serta monumen untuk mengingat kembali apa yang terjadi, mengingat rezim saat ini mengalami tuna sejarah.

“Ada kekhawatiran dari dalam diri saya jika orang makin tidak mengenal sejarah. Saya mengajar di kelas, tidak ada yang kenal nama pengacara Yap Thiam Hien. Ditarik hingga 2000 an itu juga tidak tahu. Gerakan tuna sejarah ini berbahaya. Banyak orang membunuh cara orang melihat sejarah dan memamah sejarah. Sejarah itu bukan pemilik pemenang dan sejarah bukan milik penguasa, tapi milik rakyat dan kisah rakyat itu ada di koran,” pungkasnya.

Jogja Art+Book Fest 2024 telah berhasil menyatukan literasi, seni rupa, dan musik dalam sebuah peristiwa budaya yang memukau dan menggugah. Menghadirkan berbagai pameran, diskusi buku, dan pertunjukan musik, festival ini tidak hanya memperkaya wawasan pengunjung, tetapi juga menghidupkan kembali semangat literasi dan apresiasi seni di tengah-tengah masyarakat. Melalui tema “Melebur Menjadi Satu”, acara ini mencerminkan kekayaan dan keragaman budaya Yogyakarta, menjadikannya lebih dari sekadar pameran, tetapi juga sebuah perayaan kolaboratif yang menyentuh jiwa.


Penyunting: Paramitha Maharani

Reporter: Muhammad Fathurrahman P. S

Grafis: Dhiya Shofia