Kupas Resensi

Kritik Kebisingan ala Men Coblong

men coblong

Oleh: Alia

Imbuhan me- selalu identik kata kerja, tetapi yang satu ini beda. Men Coblong bukanlah kata kerja, melainkan nama tokoh utama di buku ini. Men Coblong digambarkan sebagai wanita Bali yang kritis dan ibu dari seorang anak laki-laki. Pemikiran kritis itu dituangkan dalam bentuk esai pendek dibungkus cerita fiksi. Lembaran-lembaran buku Men Coblong (2019) mayoritas berisi renungan Men Coblong merespons terhadap beragam isu yang sedang terjadi dalam kurun waktu tahun 2013-2018, serta fenomena sosial yang ada di sekitarnya. 

Memang terkesan lawas karena sebenarnya esai ini telah dipublikasikan di media Bali Post dan media online BaleBengong sebelum dikumpulkan untuk menjadi buku. Isu yang dibawakan boleh kedaluwarsa, tetapi renungan Men Coblong masih relevan untuk masa sekarang. Sosok Men Coblong tak dapat dilepaskan dari pengalaman pribadi sang penulis, yakni Oka Rusmini sebagai perempuan, manusia Bali, ibu, istri, ataupun buruh media lokal. Oka Rusmini merupakan seorang penulis puisi, novel, dan cerita pendek yang meraih banyak penghargaan, seperti Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2003 dan 2012), Anugerah Sastra Tantular, Balai Bahasa Denpasar (2012), South East Asian (SEA) Write Award (2012), dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013/2014).

“Tidak ada solusi konkret. Semua hanya imbauan. Ini tentu sangat melelahkan. Namanya juga bangsa Indonesia. Kok, ya, diimbau? Dilarang saja masih melanggar. Melanggar dengan jantan lagi, cenderung tidak tahu malu.” (halaman 84)

Kutipan di atas berasal dari esai yang berjudul “Slot”. Esai ini diawali dengan isu yang menggemparkan publik pada masanya, yakni kecelakaan mobil Abdul Qodir Jaelani, anak Ahmad Dhani, di Tol Jagorawi tahun 2013. Sejak masifnya kendaraan pribadi, fenomena pengendara belum cukup umur kian merajalela. Perilaku menyimpang, tetapi sering dinormalisasi oleh para orang tua. 

Sebagai ibu, Men Coblong beranggapan mengantar anak sekolah merupakan tugas domestik orang tua. Apalagi ketika sekolah jauh dari rumah dan butuh kendaraan bermotor. Di sisi lain, dirinya juga korban dari anak-anak berseragam biru tanpa helm yang menabrak pantat mobilnya. Yang membuat geram adalah anak tersebut tidak peduli dengan langsung tancap gas. 

Pengendara yang belum cukup umur adalah pengendara yang berbahaya. Kalau sudah menjadi pelaku, mereka tidak akan diadili layaknya orang dewasa, karena anak di bawah umur masih terlindungi oleh Undang-undang Perlindungan Anak. Polisi sebagai penegak hukum sudah sepatutnya memberantas pengendara di bawah umur. Memberantas untuk mencegah kejadian yang merugikan pengendara lain. 

“Men Coblong selalu takjub melihat iklan-iklan yang dimuat Dirjen Pajak tentang pentingnya membayar pajak. Seolah begitu riang dan menggembirakan. Seolah rakyat dibalur mimpi tentang pentingnya pajak untuk seluruh nafas negeri ini. Tanpa pajak dari rakyat, negeri ini semaput.” (halaman 97)

Selanjutnya ada kutipan berasal dari esai yang bertajuk “Koyak”. Esai ini dimulai dengan merespon iklan pentingnya membayar pajak oleh Dirjen Pajak. Persoalan pajak memang tak ada hentinya. Dirjen Pajak selalu menuntut masyarakat agar patuh dan taat. 

Sebagai rakyat yang sopan, tentu selalu manut dan selalu nurut. Berbondong-bondong membayar beragam pajak, tetapi hasilnya minim dirasakan rakyat. Padahal mereka mempunyai slogan pajak kita untuk kita. Di manakah peran aparatur pajak yang mengelola secara terstruktur? Men Coblong pun bertanya-tanya. 

Tak hanya itu, Men Coblong juga mengeluhkan kuitansi honor sebagai juri atau pembicara tidak sesuai dengan nilai nominal yang diterima. Ia menolak untuk menandatangani dan berakhir tidak pernah lagi diikutsertakan di acara-acara instansi pemerintah. 

Buku yang memiliki total 220 halaman ini menyadarkan para pembaca agar selalu ingat betapa rumitnya persoalan di Indonesia. Contohnya kasus korupsi pejabat instansi pemerintah pusat, daerah, maupun desa yang terekspos setiap tahunnya. Rompi oranye yang dikenakan pun tak membuat mereka tertunduk malu. Persoalan korupsi justru malah melahirkan wacana pencegahan dengan menaikkan gaji para pejabat. Selama ini rakyat telah dirugikan, ke depannya  rakyat akan menanggung beban tarif pajak yang semakin besar untuk merealisasikan wacana tersebut. 

Oka Rusmini sangat mumpuni dalam merangkai kata sehingga para pembaca sama-sama dapat merasakan dongkol dan kesal. Penyampaian persoalannya selalu dibersamai ironi maupun sindiran. Selain itu, menariknya Oka Rusmini juga menyebutkan sejumlah kata bahasa Indonesia yang jarang dipakai, rata-rata terpampang pada tiap judulnya untuk mencerminkan isi esai. 


Penyunting: Yasmeen Mumtaz

Grafis: Dhiya Shofia