Lemahnya Kekuatan Hukum Indonesia di Tangan Setya Novanto

Siapa yang tidak kenal dengan politisi paling tersohor di Indonesia, si Setya Novanto? Tersohor dengan gaya main politiknya yang cerdik dan cerdas dalam upaya memperoleh jabatan strategis. Padahal beberapa kali namanya terseret dalam skandal korupsi dari saksi hingga tersangka. Dari dugaan Korupsi cessie Bank Bali, Kasus PON Riau, penyelundupan 60 ribu ton beras Vietnam, Impor Pupuk Organik Palsu, hingga Papa Minta Saham. Namun Setya Novanto mampu lolos dari semua kasus tersebut. Baru-baru ini kasus yang cukup menghebohkan adalah mengenai dugaan korupsi e-KTP. Setnov dijadikan tersangka dalam kasus itu dengan tuduhan bahwa ia mendapat jatah sebesar 574 Milliar dalam pengadaan proyek tersebut. Kasus ini sekali lagi membuat kekuatan hukum Indonesia benar-benar diuji oleh Setnov.

Kecerdeikan Setnov Dalam Pusaran Korupsi

Kiprah awal Setnov dimulai saat ia menjabat sebagai Direktur Utama PT Era Giat Prima (EGP) dimana saat itu Setnov sempat menjadi tersangka dalam Skandal piutang (cessie) Bank Bali pada tahun 1999. Skandal cessie Bank Bali bermula saat Rudi Ramli, si pemilik bank, menemui kesulitan menagih piutang sebesar 3 Triliun yang tertanam dalam brankas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN) dan Bank Tiara. Piutang ini tak kunjung cair hingga akhirnya Rudy Ramli sebagai Direktur Utama Bank Bali meminta bantuan PT Era Giat Prima (EGP) untuk pengalihan hak tagih. Pengalihan ini pun berbuah hasil, namun ada beberapa skandal yang kemudian terkuak. Pertama, jumlah fee yang diperoleh Era Giat terlalu besar yaitu setengah dari uang yang dapat ditagih. Saat itu Pakar perbankan, Pardjoto, angkat bicara dan mengatakan jika ia mencium skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke singgasana presiden. Kedua, adanya kongkalikong yang melibatkan sejumlah politisi Partai Golkar di pemerintahan dalam upaya menagih BI dan BPPN agar mengucurkan dana kepada Bank Bali sebesar Rp 905 miliar. Dimana pada akhirnya Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar sedangkan sisanya, sekitar 60 persen, menjadi milik Era Giat.

Ketika sejumlah nama diseret oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan korupsi atas kasus Bank Bali tersebut,  Setnov selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima (EGP) lolos dari jeratan hukum beserta dua nama lainnya Tahri abang (mantan Menteri Pendayagunaan BUMN) dan Erman Munzir (pejabat Bank Indonesia). Kejaksaan agung mengeluarkan surat perintah Penghentian Perkara (SP3) terhadap Setnov.

Selanjutnya perusahaan milik Setnov, yakni PT Hexama Finindo, pernah tersandung dugaan kasus korupsi pada tahun 2004. PT Hexama Finindo ini memindahkan 60 ribu ton beras dari Bea Cukai tanpa membayar pajak dengan jumlah yang sebenarnya, akan tetapi dimaktubkan sebagai ilegal. Setnov sempat di periksa oleh kejaksaan Agung pada saat itu, namun entah mengapa kasusnya jadi mengambang.

Perusahaan Setnov yang lain, PT Asia Pasific Eco Lestari (APEL), juga semopat bermasalah. Pasalnya perusahaan tersebut dilaporkan terlibat kasus impor pupuk organik palsu di Pulau Galang. Setnov yang melakukan penandatanganan dengan pihak perusahaan Singapura disebutkan mengirim 400 ribu ton pupuk organik ke Batam. Namun Setnov mengaku dirinya telah mengundurkan diri dari perusahaanya tersebut pada tahun 2003, padahal di dalam dokumen milik PT APEL tertulis Setnov mengundurkan diri pada 29 Juni 2004 sebelum kontrak kerjasama dengan perusahaan Singapura. Namun lagi-lagi kasus ini mengambang.

Berikutnya, Setnov sempat terjerat dalam kasus korupsi proyek pembangunan lapangan tempak Pekan Olahraga Nasional di Riau tahun 2012. Pada saat itu mantan bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin bersaksi di persidangan dan mengatakan jika Setnov memang terlibat dalam kasus korupsi tersebut. Petugas KPK sempat menggeledah ruang kerja Setnov untuk mencari bukti meski akhirnya Setnov hanya di periksa sebagai saksi.

Kasus lainnya yang sangat berani dilakukan oleh Setnov yaitu skandal “papa minta saham.” Saat itu Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan kesepakatan dengan Setnov terkait permintaan jatah saham Freeport. Bahkan disitu nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat tercatut. Kasus ini terdengar lewat rekaman Maroef Sjamsoeddin, yang saat itu menjabat sebagai Presiden Direktur PT Freeport. Namun kasus itu belum bisa dijadikan bukti kuat. Setnov sempat melakukan pengujian materi atas Undang-undang IT ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian  menganggap jika bukti tersebut belum cukup kuat.

Walau namanya terseret dalam kasus-kasus seperti di atas, akan tetapi seorang Setnov selalu berhasil dalam permainan politik Indonesia. Setnov juga sangat cerdas dalam upayanya mendapat posisi penting sekaligus mempertahankannya. Pada kasus cessie Bank Bali, Setnov sempat menjabat sebagai Wakil Bendahara Partai Golkar, dan nyatanya kasus tersebut tidak mematahkan posisi politisnya di Golkar. Begitu juga halnya ketika ia tersandung dengan kedua perusahaannya PT Hexama Finindo dan PT.APEL, semua itu tetap tidak bisa menghalang-halangi Setnov naik sebagai anggota DPR-RI (1998-2004, 2004-2009) dan menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar (2009-Sekarang). Meskipun ketika skandal “papa minta saham” Setnov sempat mundur dari jabatan politisnya sebagai Ketua DPR-RI (2014-2019). Namun setelah lolos dari jeratan masalah tersebut namanya diangkat kembali sebagai ketua DPR-RI. Tidak hanya itu Setnov juga di angkat sebagai Ketua Umum Partai Golkar hingga periode 2019.

Saat ini, KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka mega korupsi e-KTP. Ia diduga merugikan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dalam pengadaan proyek e-KTP sebesar Rp. 5,9 trliun. Sekali lagi Kekuatan Hukum di Indonesia di uji kekuatannya dihadapan Setya Novanto.

Beberapa kali menjadi tersangka dari kasus besar tidak lantas mematahkan gerak politiknya di Indonesia. Sebab Setnov, dengan daya magisnya, selalu berhasil membolak-balikkan hukum seolah ia pemilik hukum itu sendiri. Namun apakah Setnov akan mampu lolos dari jeratan hukum kali ini? Apakah kecerdikan dan kecerdasan Setnov masih bisa mempertahankan jabatan strategisnya? (Firman Hidayat, Mahasiswa Hubungan Internasional FPSB UII)

 

Sumber foto: Tempo.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *