Media dan Belenggu Kekerasan Budaya

Oleh Novan Harya Salaka

Kekerasan tidak hanya melulu soal kekerasan fisik. Dalam kehidupan, kekerasan menjelma dalam berbagai bentuk. Selain kekerasan fisik, ada pula kekerasan struktural dan kekerasan budaya. Dua yang terakhir ini lebih jarang disebut daripada yang pertama dan oleh karenanya, prakteknya kurang kita sadari.

Pandemi COVID-19 membuat pekerjaan dan pembelajaran akademik dilakukan secara daring. Namun, struktur sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat yang belum disiapkan negara, menyebabkan ketimpangan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pendapatan dengan merata. Demi ketersediaan koneksi internet saja sudah menyangkut persoalan hidup mati seseorang (Bacaan Lanjut 1), apalagi ditambah jaringan listrik, telepon genggam, dan komputer untuk melaksanakan sekolah dan bekerja secara daring (Bacaan Lanjut 2).

Johan Galtung, dalam esainya Cultural Violence, menyebutnya sebagai kekerasan struktural, yaitu kekerasan karena adanya struktur atau sistem yang menghambat pihak tertentu mendapatkan haknya. Lebih lanjut, Herlambang Wijaya dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965 menyebut bahwa kekerasan struktural bukanlah kekerasan yang membunuh dengan pisau ataupun bom, melainkan adalah kemiskinan, korupsi, dan tidak meratanya akses pendidikan karena struktur ekonomi-politik. Selain yang sudah disebut, struktur yang dimaksud bisa juga merujuk pada struktur sosial, gender, maupun budaya.

Belum selesai dengan kekerasan struktural, ada pula kekerasan budaya. Kekerasan jenis ini merujuk pada legitimasi atau pembenaran atas kekerasan (fisik maupun struktural) yang terjadi. Untuk kekerasan jenis ini, agak lebih sulit untuk mendeteksi maupun mengukurnya.

Dalam ironi keseharian, kebanyakan dari kita tidak melihatnya sebagai kekerasan, melainkan menjadi sesuatu yang natural dan bisa diterima. Hal itu mengubah warna moral suatu kekerasan menjadi hal yang dapat ditolerir.

Kekerasan budaya dapat mengerdilkan, misalnya kasus kematian anak yang tenggelam di lubang bekas tambang sebagai “nasib” (Bacaan Lanjut 3). Melihat kematian karena takdir tentu saja lebih mudah ketimbang melihatnya sebagai kelalaian perusahaan tambang dan menuntut pertanggungjawabannya.

Menggunungnya problem bermedia kita, bisa jadi adalah karena kurangnya kesadaran kita akan kekerasan budaya dan wujudnya dalam kehidupan, terkhusus dalam aktivitas bermedia. Pembudayaan perilaku tertentu dibangun atas beberapa hal. Masih menurut Galtung, ia menuturkan bahwa kekerasan budaya dilegitimasi dan dikuatkan dengan bantuan produk-produk budaya, seperti agama dan ideologi, seni dan bahasa, logika dan pengetahuan formal. Dalam hal pengetahuan, media dan kekuatannya punya peranan yang cukup signifikan. Perilaku seksis sebagian anggota masyarakat, misalnya, seharusnya bisa dilihat sebagai buah dari pemakluman berupa publikasi, tayangan, maupun pemberitaan atas isu kekerasan seksual yang bermasalah, sehingga ia membudaya (Bacaan Lanjut 4).

Berkembangnya pembicaraan akan isu kekerasan seksual bisa jadi sinyal bagus dalam mewujudkan visi masyarakat yang ramah gender, namun ke arah mana pembicaraan berlangsung sedikit banyak masih dipengaruhi oleh bagaimana media menyajikan liputannya. Pemberitaan yang seksis dan tidak berperspektif pada korban dapat membawa pembicaraan pada kebiasaan menyalahkan korban hingga sinisme terhadap pihak-pihak yang pro-korban, bahkan terhadap korban itu sendiri.

Isu kekerasan seksual “hanyalah” beberapa di antara setumpuk kekerasan budaya yang sedang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Menengok ke isu agraria, kita masih punya masalah dalam pemberitaan penolakan masyarakat lokal atas proyek pariwisata dan pabrik-pabrik industri besar. Belum lagi suara penolakan Omnibus Law yang di dalamnya terdapat beberapa pasal bermasalah yang tak kunjung digubris oleh pemerintah.

Tulisan ini berusaha memberikan perspektif baru dalam mengamati problem media di Indonesia demi terbukanya opsi-opsi baru dalam penyelesaiannya.

Minimnya Narasi Penyeimbang

Media yang menggunakan public domain harus diatur dan diregulasi secara ketat karena ia diberi kekuasaan atas frekuensi dalam kurun waktu tertentu (Rianto, et al., 2012). Kehadirannya yang tak dapat dielakkan dalam setiap sendi kehidupan menjadi kekuatan sekaligus rawannya penyelewengan. Penggunaan frekuensi milik publik oleh media penyiaran seharusnya berbuah pada pemberitaan yang berkomitmen pada publik. Isi penyiaran yang mendukung dominasi kepentingan elit semata serta abai pada kepentingan khalayak adalah wujud kekerasan budaya. Jangkauannya yang begitu luas menjadikan mereka sebagai corong untuk memasukkan ide dan narasi tertentu. Sayangnya, di Indonesia setidaknya, mereka yang bisa dengan bebas memakai corong tersebut adalah kelompok yang dominan secara ekonomi dan politik, terbukti dengan terpusatnya kepemilikan media pada segelintir orang kaya, dan yang lebih parahnya lagi, beberapa di antaranya adalah petinggi partai politik (Bacaan Lanjut 5). Kebebasan berpendapat memang sempat berhasil direbut dari kuasa Orde Baru, namun dalam spektrum ekonomi, Indonesia babak belur dalam melawan arus kepentingan kapital.

Liputan terkait Omnibus Law juga didominasi oleh narasi bernada positif seputar keuntungan dan potensi investasi yang besar. Namun, di sisi lain, minimnya perspektif buruh dan rakyat menjadikan seolah-olah kebijakan ini tidak memiliki kecacatan. Selain itu, masuknya Omnibus Law ke dalam kategori ‘Ekonomi’ pada sebagian besar pemberitaan juga mengalihkan pandangan pada problem yang sebenarnya (Bacaan Lanjut 6).

Paparan atas narasi-narasi yang bermasalah tersebut kerap kali justru mendominasi percakapan publik, sehingga normalisasi dan pemakluman atas kekerasan terjadi tanpa adanya narasi penyeimbang.

Kekerasan budaya perlu dilawan dengan menggalakkan perdamaian budaya, yaitu segala usaha untuk melegitimasi perdamaian fisik dan struktural. Seperti kata Muthien dan Combrinck melalui catatan Herlambang Wijaya;

Jika seseorang mengeliminasi kekerasan fisik (termasuk kekerasan gender), maka ia akan mendapatkan perdamaian langsung. Jika seseorang mengeliminasi kekerasan struktural (termasuk seksisme dan rasisme) dan mentransformasikan institusi-institusi yang terkait secara benar, maka ia akan mendapatkan perdamaian struktural. Jika seseorang mengeliminasi kekerasan budaya (termasuk cara berpikir dan hidup), maka ia mendapatkan perdamaian budaya.

Mewujudkan perdamaian budaya memanglah sangat sulit bahkan teredengar utopis mengingat problem media di Indonesia. Solusi atas beberapa hal sudah bermunculan mulai dari kehadiran media-media alternatif hingga usulan mengganti oligarki media dengan koperasi media, sebagaimana tulisan Emerald Magma Audha di Remotivi. Namun di sisi lain, kita masih harus berhadapan dengan peretasan situs berita dan akun sosial media para aktivis, pemutusan koneksi internet, dan juga kriminalisasi wartawan yang masih kerap terjadi. Kecenderungan praktik pembungkaman memang tak berkesudahan, namun usaha memperebutkan atensi publik patut diperjuangkan.

*Referensi:

Herlambang Wijaya. (2019). Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangerang: Marjin Kiri.

Puji Rianto, dkk. (2012). Dominasi TV Swasta: Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan. Yogyakarta: PR2Media. Diakses melalui link berikut.


Gagasan ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi Kognisia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *