Omnibus Law: Problematika Tak Berujung

Oleh Marhamah Ika Putri

Siang itu (20/10) hawa di sekitar bundaran UGM terasa sangat terik menyengat. Para demonstran yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) terlihat memadati kawasan sekitar. Meskipun hampir setiap sudut bundaran padat oleh para demonstran, suasana masih terasa cukup lengang karena beberapa kendaraan bermotor masih bisa berlalu lalang tanpa adanya hambatan. Keadaan sekitar pun terlihat cukup tenang dan tidak ada terlihat gesekan-gesekan terjadi antara para pengunjuk rasa dan para aparat, tidak seperti yang terjadi saat demo beberapa waktu lalu sebelumnya.

 Unjuk rasa kali ini merupakan aksi lanjutan dari aksi yang dilakukan pada (8/10) dengan tema besarnya, yaitu penolakan terhadap pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja beberapa waktu silam.

“Harus ada upaya demokrasi di mana setiap individu yang ada di Indonesia untuk didengarkan suaranya. Penolakan terhadap Omnibus Law hanya salah satu hal saja, penindasan telah terjadi di bangsa kita, dari Sabang hingga Merauke,” ujar Revo Lusi, selaku narahubung dari Aliansi Rakyat Bergerak.

 Sebuah panggung yang dilatarbelakangi spanduk dengan tulisan “Sidang Dewan Rakyat” berikut dengan tagar #MosiTidakPercaya didirikan menghadap ke arah Selatan. Panggung ini digunakan oleh pihak ARB untuk mengorasikan apa yang mereka inginkan terkait isu-isu yang sedang berkecamuk.

 Bertepatan dengan satu tahun periode Jokowi-Amin, terdapat beberapa isu yang diangkat pada unjuk rasa kali ini, seperti isu lingkungan dan konflik agrarian yang diwakilkan oleh petani, isu buruh perempuan/PRT, isu mengenai kesetaraan gender, Kawan Papua, dan isu pendidikan.

“Ini bukan hanya permasalahan tentang Jokowi-Amin. Ini lebih ke persoalan sistematis,” ungkap Revo Lusi.

 Tagar #MosiTidakPercaya yang digunakan mengandung makna sudah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada para petinggi yang ada di negeri ini. Seluruh sistem yang ada terbukti hanya memberikan keuntungan hanya kepada beberapa pihak elit yang memiliki dampak buruk terhadap masyarakat.

“Demokrasi di negeri ini hanya omong kosong. Demokrasi di negeri ini hanya sebagai upaya memperkaya orang-orang kaya saja,” imbuh Revo Lusi.

Semakin sore, suasana semakin meriah dan menggelora ketika beberapa perwakilan kalangan masyarakat melakukan orasi di atas panggung. Tak terkecuali, teman-teman STM (Sekolah Teknik Menengah) yang selama ini selalu dituduh menjadi biang kerok penyebab kerusuhan di setiap unjuk rasa pun mendapat kesempatan untuk berorasi.

“Kami para pelajar tidak mau dianggap yang menjadi penyebab kerusuhan, kami melakukan unjuk rasa juga tau apa tujuan dan keinginan yang ingin kami sampaikan,” sahut seorang perwakilan teman-teman STM saat sedang melakukan orasi.

Berbagai persoalan yang semakin diperparah oleh situasi pandemi menggerakkan teman-teman ARB untuk menyuarakan suaranya dan melakukan kritik terhadap pemerintah. Bahkan, persatuan ARB memiliki beberapa konsep yang ditawarkan untuk menindaklanjuti sekian banyak problematika yang terjadi di dalam negeri ini.

“Dewan Rakyat merupakan bentuk upaya solidaritas horizontal terhadap semua yang berdiri di sini. Dewan Rakyat merupakan sebuah konsep yang kami tawarkan sebagai upaya menjawab berbagai tantangan yang ada, ini merupakan bukan sesuatu yang final karena kami membutuhkan solidaritas secara bersama-sama,.” sambung Revo Lusi.

Beberapa konsep yang ditawarkan oleh pihak ARB seperti partisipasi langsung untuk mencapai konsensus, otonomi individu, horizontalisme, interelasi, dan inklusi. Terdapat beberapa tawaran program transisi menuju Dewan Rakyat seperti penghapusan utang luar negeri, redistribusi kekayaan, reforma agraria, nasionalisasi aset asing,  swasta untuk kesejahteraan rakyat juga hak menentukan nasib sendiri untuk rakyat West Papua. 


Reporter: Marhamah Ika Putri, Citra Mediant

Penyunting: Rayhana Arfa Amalia 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *