Little Women : Perempuan Juga Punya Ambisi

Oleh: Annisa Ramadhani

Sutradara: Greta Gerwig
Produser: Amy Pascal, Denise Di Novi, Robin Swicord
Naskah: Greta Gerwig
Pemain: Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Timothée Chalamet,  Laura Dern dan Meryl Streep.
Studio: Sony Pictures Entertainment
Durasi: 135 menit
Rilis: 7 Desember 2019

Suasana abad 19 di Concord, Massachusetts yang kental menjadi latar suasana film Little Women yang diadopsi dari novel klasik Amerika Serikat tahun 1869 karya Louisa May Alcott dengan judul yang sama, Little Women. Ditulis kembali oleh sutradara Greta Gerwig di bawah naungan Sony Pictures Entertainment. Film yang rilis di penghujung tahun 2019 ini menuai banyak pujian juga kritik dari pemerhati.

Film mengisahkan kehidupan empat bersaudari yaitu March dengan mimpi dan pandanganya, Meg (Emma Watson) si sulung yang penyayang dan bijaksana dengan hobi bermain teaternya lalu ada Jo (Saoirse Ronan) si penulis yang memiliki jiwa paling revolusioner di antara kakak dan adik perempuannya. Amy (Florence Pugh) yang selalu berusaha menampilkan sosok wanita anggun dan terhormat, serta Beth (Eliza Scanlen) si bungsu pemalu yang menjadi pianis kesayangan keluarga.

Dengan sentuhan alur maju-mundur, tokoh Jo akan menuntun penonton untuk mengikuti kilas balik kehidupannya di masa lampau sekaligus menyuguhkan kejadian nyata di masa kini. Melalui Jo penonton akan menyaksikan bagaimana March bersaudari bersama sang ibu menjalani hari dengan kesederhanaan karena sang ayah turut serta dalam perang sipil. Bagaimana rutinitas mereka mengisi waktu dengan bermain lakon, menghadiri pesta dansa, dan membantu tetangga berubah secara perlahan ketika satu per satu dari mereka mulai dewasa dan tiba waktunya untuk mengejar impian atau berkeluarga.

Little Women versi Greta ini berhasil menampilkan perbedaan pandangan yang dimiliki oleh perempuan di abad 19 dimana perempuan tidak memiliki banyak ruang gerak selain melalui pernikahan. Umum dan normal sifatnya bagi perempuan untuk menikah, terutama perempuan dari keluarga miskin akan berjuang untuk menikahi laki-laki kaya guna meningkatkan hidupnya dan keluarganya. Perbedaan pandangan dalam film ini ditampilkan Greta secara sentral melalui tokoh Meg, Jo, dan Amy.

Meg March ditampilkan sebagai sosok yang menyimpang di masyarakat. Ia menikahi John Brooke, seorang tutor bahasa, dan membangun keluarga dengan ekonomi yang terbatas. Keputusan Meg untuk menikah berdasarkan cinta dan mengesampingkan faktor harta menjadi kontras apabila dibandingkan dengan Meg muda yang selalu mendambakan kemewahan dan kekayaan. Kontras tersebut juga ditampilkan di awal oleh Greta, dengan scene pembuka di mana Meg meratapi ketidakmampuan untuk menikmati barang yang diinginkannya karena ekonomi yang menghimpit.

Berbeda dengan Meg, Jo March sebagai tokoh utama dapat dikatakan sebagai sosok feminis pada abad 19. Jo ditampilkan sebagai sosok keras kepala yang memiliki jiwa pemberontak dan semangat emansipasi wanita. Jo tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dan berkeluarga. Hal ini diutarakannya ketika ia menolak suntingan Laurie (Timothée Chalamet) yang berasal dari keluarga kaya raya. Ia justru memutuskan untuk merantau ke New York dan mengejar mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Baginya, mimpi dan ambisi seorang perempuan lebih penting daripada ikatan pernikahan. Konflik batin yang dihadapi Jo pun menunjukkan keinginannya untuk merasakan dicintai, namun ia juga tetap bersikukuh bahwa perempuan memiliki kapasitasnya untuk mencapai sesuatu yang lebih dari sekadar menyerahkan hatinya untuk laki-laki.

Tidak lupa pula dengan Amy March yang paling mendekati pandangan ‘normal’ perempuan pada saat itu. Bagi Amy, menikahi laki-laki kaya adalah satu-satunya jalan untuk membawa keluarganya keluar dari kemiskinan. Tindakannya didasari oleh pilihan rasional yang dimilikinya. Melalui karakter Amy, Greta kerap menyisipkan gagasan feminisme dan kritik atas ketimpangan hukum terhadap perempuan. Lihat saja dialog Amy kepada Laurie,
“Aku hanyalah wanita dan sebagai wanita aku tidak akan dapat menghasilkan uang sendiri, tidak akan cukup untuk menghidupiku dan keluargaku. Bahkan ketika aku menikah, hartaku akan menjadi milik suamiku. Dan apabila kami mempunyai anak, mereka bukanlah anakku melainkan milik suamiku. Jadi jangan katakan bahwa pernikahan bukanlah perihal dalil ekonomi, karena bagiku demikianlah adanya.”

Little Women versi Greta ini menjadi angin segar terhadap deretan adaptasi novel karya Alcott tersebut. Kemampuannya menginterpretasikan cerita ke dalam bentuk baru menjadikan Little Women semakin menarik untuk disaksikan. Alur maju-mundur yang digunakan menghadirkan kombinasi antara kondisi saat ini dengan kenangan masa lalu. Pengambilan gambar pun dilakukan secara bervariasi dengan perbedaan tone warna sesuai dengan alur yang digunakan. Variasi ini dapat menghindarkan penonton dari rasa bosan sepanjang jalannya cerita. Selain itu, kemampuan para aktor dalam menghidupkan karakternya turut berperan besar dalam kesuksesan Little Women. Tidak heran jika Little Women meraih 6 nominasi Oscar termasuk Skenario Adaptasi Terbaik dan Film Terbaik.

Menikmati Little Women karya Greta juga menyuguhkan dialog yang berisikan pesan-pesan emansipasi. Film ini juga mengingatkan bahwa baik pria maupun wanita memiliki hak yang sama dalam menentukan bagaimana ia menjalani hidupnya. Tak ayal 135 menit adalah waktu yang sepadan untuk ditukar dengan visualisasi karya Alcott mengenai emansipasi wanita dalam film ini.

“Wanita, mereka tidak hanya memiliki hati saja. Wanita memiliki jiwa dan pemikirannya sendiri. Wanita tidak hanya menampilkan kecantikan semata. Mereka juga memiliki ketrampilan dan ambisinya. Aku sangat muak terhadap orang yang mengatakan bahwa cinta merupakan satu-satunya tempat bagi wanita.” – Jo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *