Gagas Opini

Revolusi Digital: Peluang atau Ancaman?

Oleh: Elang Moh Abimanyu

Revolusi digital telah mengubah wajah kehidupan manusia secara drastis. Dari masa ketika informasi disebarkan secara terbatas melalui obor penerangan hingga era di mana data mengalir bebas melalui teknologi big data. Perubahan ini menjanjikan kemajuan dan kemudahan di banyak aspek kehidupan.

Di balik gemerlap kemajuan teknologi ini, muncul permasalahan serius yang mengancam masa depan pemuda Indonesia, judi online dan pinjaman online ilegal. Kedua fenomena ini menjadi ancaman nyata, khususnya di kalangan anak muda, dan sayangnya pemerintah acuh tak acuh dalam mengendalikan dampak negatifnya.

Menurut Pak Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D. selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi, kebocoran data, judi online, dan pinjaman online adalah beberapa contoh masalah yang erat kaitannya dengan komunikasi dan literasi digital.

“Permasalahan manusia di era digital menjadi perhatian kami di Komunikasi karena banyak kasus teknologi digital yang belum terpecahkan, seperti kebocoran data, judi online, dan pinjaman online. Komunikasi berperan dalam literasi digital untuk mengatasi isu-isu ini.” ujar Iwan Awaluddin Yusuf S.IP., M.Si., Ph.D. (3/7).

Judi online telah menjelma menjadi wabah digital yang merusak. Banyaknya pemuda yang seharusnya menjadi harapan bangsa, justru terjerumus dalam lingkaran kecanduan judi yang semakin sulit diatasi. Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ivan Yustiavandana, sebanyak 191.380 anak di rentang usia 17–19 tahun terlibat dalam judi online dengan 2,1 juta transaksi mencapai Rp282 miliar. 

Cukup dengan meng-klik di gawai mereka, pemuda dapat mengakses situs-situs judi yang menawarkan janji kekayaan instan. Realitanya, mereka justru kehilangan tabungan, terlilit dalam hutang, dan merusak relasi sosial serta keluarga. 

Anehnya, Pemerintah sudah seringkali mengeluarkan imbauan dan memblokir beberapa situs, tampaknya tidak mampu sepenuhnya menekan pertumbuhan industri gelap ini. Judi online terus muncul dengan wajah baru, dan ketiadaan regulasi yang kuat serta tindakan tegas membuat masalah ini semakin sulit diberantas.

Tak sampai di situ, pinjaman online ilegal juga menjadi bagian dari lingkaran setan yang membelit pemuda Indonesia, seiring dengan semakin maraknya judi online. Bak gali lubang tutup lubang, jika sudah terjerumus dalam judi beralih ke pinjaman online ilegal untuk menutupi kekalahan mereka atau memenuhi kebutuhan mendesak. Tawaran pinjaman cepat dan mudah tanpa syarat ketat menjadi jebakan yang menarik. Padahal, dibalik itu tersembunyi bunga yang sangat tinggi dan perlakuan intimidasi dari penagih hutang. 

Ironisnya, pemerintah masih bersikap reaktif—hanya bertindak setelah banyak korban berjatuhan, bukannya mengambil langkah preventif yang tegas. 

Tentunya, menjadi bukti ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi masalah judi online dan pinjaman online ilegal yang semakin merusak kehidupan masyarakat. Meskipun sudah banyak laporan mengenai dampak buruk kedua fenomena ini, langkah-langkah yang diambil terasa setengah hati dan reaktif, bukan proaktif. Alih-alih memberlakukan regulasi yang ketat dan menegakkan hukum secara tegas, pemerintah cenderung hanya merespons setelah masalah menjadi besar, seperti ketika banyak korban berjatuhan atau ketika isu tersebut viral di media. 

Ketidakjelasan regulasi dan lemahnya penegakan hukum telah menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh operator ilegal untuk terus beroperasi. Dengan demikian, pemerintah tidak hanya gagal melindungi rakyatnya dari ancaman ini, tetapi juga berkontribusi memperburuk krisis sosial dan ekonomi yang dihadapi banyak keluarga

Penyalahgunaan AI di Kalangan Mahasiswa di Era Revolusi Digital

Revolusi digital juga telah membawa perubahan terhadap cara kita berinteraksi dengan teknologi. Di tengah kemajuan ini, kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai alat yang menawarkan potensi besar untuk inovasi dan efisiensi. Namun, di kalangan mahasiswa, penyalahgunaan AI mulai mencuat sebagai masalah serius yang perlu diperhatikan. Dengan akses mudah ke berbagai aplikasi dan alat berbasis AI, banyak mahasiswa terjerumus ke dalam praktik curang, seperti plagiarisme dan penggunaan bot untuk menyelesaikan tugas akademis.

Menurut Prof. Dr. Heru Nugroho selaku Sosiolog Universitas Gadjah Mada. Dalam era digital, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ekosistem digital, termasuk AI, telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan kita, mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja, bahkan berinteraksi sosial. 

“Perkembangan teknologi mempermudah hidup dan mengubah interaksi sosial. Teknologi digital mengatasi tantangan jarak dan waktu, namun ada perdebatan apakah teknologi ini mempermudah atau memperbudak manusia. Dahulu, masalah jarak diatasi dengan sandi morse dan obor; kini, radio tabung, radio transistor, dan microchip memudahkan komunikasi.” ujar Prof. Dr. Heru Nugroho (3/7).

Penyalahgunaan AI di kalangan mahasiswa menciptakan kekhawatiran serius yang perlu diatasi dengan segera. Ketika mahasiswa menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas, menulis esai, atau bahkan menjawab ujian, mereka bukan hanya merusak integritas akademik, tetapi juga mengorbankan kesempatan untuk belajar dan berkembang. Praktik ini menciptakan budaya ketergantungan pada teknologi, di mana hasil instan lebih dihargai daripada proses berpikir kritis dan kreativitas.

Revolusi digital memang membawa banyak manfaat bagi kehidupan manusia, tetapi tanpa pengelolaan yang tepat, ia juga menciptakan celah yang dapat merusak generasi muda. Pemerintah, yang seharusnya melindungi rakyatnya dari dampak buruk teknologi, tampaknya abai dalam menjalankan tanggung jawab tersebut. Judi online dan pinjaman online ilegal adalah bukti nyata bahwa revolusi digital tanpa regulasi dan pengawasan yang memadai justru dapat menghancurkan kehidupan pemuda Indonesia. 

Lebih lanjut, munculnya AI dalam revolusi digital dengan dalih memudahkan manusia justru disalahgunakan kalangan akademisi seperti mahasiswa untuk menyelesaikan tugasnya secara instan. Tentunya, hal ini akan merusak integritas akademik dan cara berfikir mahasiswa untuk belajar dan berkembang. Sehingga praktik ini menciptakan budaya ketergantungan pada teknologi.


Penyunting: Paramitha Maharani

Grafis: Dhiya Najah Fitria