Surat Cinta untuk Menwa

Ketakutan adalah kunci untuk menaklukkan manusia agar tunduk pada sebuah ideologi yang diinginkan penindasnya. Ketakutan adalah jawaban bila menginginkan manusia menaati sistem yang pelan-pelan menjajahnya. Tindakan-tindakan yang hanya berdasar setengah —atau mungkin tak sampai—dari apa yang sesungguhnya terjadi, mengaitkannya pada teori yang tak tuntas dibaca dan kemudian menghakimi orang lain yang tidak berjalan dengan interpretasi yang sama. Tidak peduli apakah orang lain tersebut yang benar, karena kebenaran itu sendiri sampai detik ini masih diciptakan atas dasar kepentingan sang penguasa.

Tinggal menghitung jam, sebelum pada akhirnya kalian—yang datang ingin menyaksikan panggung drama terbesar masa orba—akan diselimuti ketakutan tentang sebuah pengkhianatan yang sampai saat ini masih tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Masih ditutup-tutupi siapa dalang di balik tragedi penuh tumpah darah. Takut bukan kata sifat yang sendiri, dia akan disusul  keinginan menutup diri, kemudian ada jarak yang mengikuti, yaitu menjauh dari pengetahuan yang lebih luas mengenai drama yang ditonton layaknya sirkus sebelum kemudian kembali pada rutinitas yang sama. Kuliah, rapat, nugas. Atau Kuliah, rapat, dugem, atau Kuliah, pulang. Hingga kuliah-dugem-tidak pernah pulang. Ah, itu soal pilihan karena yang terpenting ketakutan atas PKI dan Komunisme adalah tradisi yang harus dan selalu lestari di Indonesia. Seperti keinginan Wakil Komandan Resimen Mahasiswa yang disampaikan kepada salah satu reporter LPM Kognisia 29 September 2017 kemarin (lihat kognisia.co).

Seandainya Komandan Resimen Mahasiswa mengetahui bahwa sesungguhnya tidak ada negara bahkan manusia di muka bumi ini yang mampu mengimplementasikan Komunisme. Seandainya Wakil Komandan tahu Komunisme itu hal yang too perfect and no one is perfect. Ditambah juga bagaimana Kids jaman now sudah pasti berat untuk meletakkan gadgetnya hanya untuk menelaah buku Das Kapitali atau Manifesto Komunis—meskipun pdf nya tersebar di mana-mana—tetap saja tidaklah berguna bagi mahasiswa.  Seperti halnya engkau, Wakil Komandan Resimen Mahasiswa kami tercinta yang mengatakan bahwa paham tanpa kelas dan menolak penindasan tersebut adalah ancaman kami semua. Jadi, janganlah takut. Atau menebar ketakutan.

Tidak ada waktu untuk bersusah payah menjadi Komunis, ujung-ujungnya menjadi ‘kiri’ hanya akan dikucilkan, itupun sudah beruntung. Jika tidak, mereka mati diasingkan. Tan Malaka yang tewas dibunuh karena menjadi pejuang ‘kiri’ paling depan, dan karena ketakutan adalah senjata ampuh untuk membuat kita lupa bahwa orang tersebut adalah orang yang sama dengan pencetus pertama kali Negara Republik ini. Wahai Wakil Komandan, maafkan Bapak Republik negeri ini sebagai orang yang mengidamkan Komunisme. Orang yang ingin segera kamu basmi mimpi-mimpinya tentang Indonesia yang membenci imperialisme dan kolonialisme, kini bergeser dalam balutan Kapitalisme yang sangat membuat kita mabuk kepayang. Kids jaman now tidak memiliki waktu untuk menjadi komunis karena kids jaman now ingin hidup enak, nyaman, dan tentram. Jadi, janganlah takut atau menebar ketakutan.

Wahai, Wakil Komandan Resimen Mahasiswa, sayang sekali, kebencianmu terhadap Komunisme pun untuk semata-semata melindungi Pancasila adalah hal yang paling konyol kedua setelah Setya Novanto dinyatakan hakim tidak sah menjadi tersangka. Karena argumen yang engkau berikan mengenai Komunis yang mengancam Pancasila masih kurang masuk akal. Bagaimana bisa, bila penggagas Pancasila adalah orang yang paling mencintai dan dekat dengan mereka yang kamu sebut kiri? Bagaimana bisa, bila dirinya sendiri yang mengatakan bahwa Pancasila adalah Kiri? Bagaimana bisa, ide-ide pancasila yang banyak berasal dari Marxisme-Leninisme sendiri adalah sebuah paham yang condong dengan kiri? Wakil Komandan,  maafkan Tan Malaka, maafkan Pancasila dan maafkan Bapak Ir Soekarno. Begitu juga maafkan Resimen Mahasiswa, sebagai wadah Nation and Character Building yang dipertahankan oleh seseorang yang dekat dengan Kiri semasa hidupnya. Selamat Menyaksikan.

(RSN)

*Penulis merupakan penulis lepas mahasiswa UII

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *