Gadis Niqab yang Baru Masuki Kampus

Gadis Muda itu menoleh ke belakang. Nampak ada kakak tingkat menggunakan almamater biru, membengiskan wajah untuk mengatur maba-miba supaya tertib barisnya. Gadis Muda itu tahu, ia sudah melanggar aturan. Seharusnya ia berbaris sebagaimana yang lainnya, yaitu berdempet-dempet dengan lelaki non-mahram, menghadap ke depan, memerhatikan panggung. Namun, yang ia lakukan justru sebaliknya, ia kabur dari barisan, menunduk pandang, dan menutup telinga.

“Kenapa? Kamu sakit? Perlu di bawa ke ruang kesehatan?” tanya lelaki ber-‘sorban’ merah di lengannya, menandakan bahwa ia adalah panitia penertib lapangan.

Gadis Muda itu hanya menggeleng, tak mengeluarkan suara. Panitia itu bingung.

“Kalau tidak kuat, adeknya tidak apa keluar dari barisan.”

Akhirnya Gadis Muda itu keluar dari barisan. Ia tak tahan. Tanpa menyebut alasan mengapa ia sedari dahulu menunduk dan menutup telinga, Gadis Muda itu melangkah-langkah, erat berpegang pada kerudungnya sendiri.

Bila aktif menjadi mahasiswa di per-giatan kampus, seorang pria dan seorang perempuan yang hendak menjaga kesucian batasnya terpaksa haruslah melebur; menghilangkan sekat di diri, bercampur dengan lawan jenis dan bebas beserta-pandang. Ya, melepas pandang. Setidaknya itulah yang dipikir Gadis Muda itu, ketika niqabnya harus ia tahan agar tak tersingkap oleh angin.

Ketika ia melangkah di reramaian teman-teman mahasiswanya yang baru, ia tak tahan betapa bisa lelaki dan perempuan bercampur aduk, berdempet, dan gawatnya: mereka saling bercanda! Hal yang tak mungkin, malah mustahil ia temu di pesantrennya dahulu. Setahun lalu, ia dapat kabar ketika ada teman pesantrennya berpacaran, tiba-tiba temannya itu menghilang saja dari pesantren tersebut, yang baru disadari kehilangannya beberapa saat kemudian setelah tersebar kabar bahwa temannya itu dikeluarkan dari pesantren akibat hubungan pacarannya itu. Hubungan lelaki dan perempuan saja dibatasi, tak terkecuali hanya pun berdempetan; tidak mungkin!

“Ya, dek? Ada sakit apa? Dari jamaah berapa?”

Gadis Muda itu hanya menunjuk angka melalui jari-jemarinya. Ia malu mengeluarkan suaranya pada panitia kesehatan, yang kebetulan penyambut dirinya itu adalah seorang lelaki (lagi). Namun, tatkala ditanya tentang sakit apa dirinya, Gadis Muda pun bingung. Mana bisa penyakit ditunjukkan melalui jari-jemari. Maka, dengan lirih ia berucap, “Hanya lelah, kak.”

Setelah ditanya-tanya lagi kesehatannya, ternyata si Gadis Muda tidak sakit. Lalu, mengapa ia ke ruang kesehatan? Apakah si gadis ini berbohong? Bukankah dia mengenakan niqab, yang artinya tidak mungkin ia berdusta? O, jangan sampai diopinikan: ternyata perempuan niqabis hanya pendusta yang tak mau ikut kegiatan! Gadis Muda itu pun tak tahu ide, yang jelas, dalam benaknya: ia ingin pergi dari kumpulan lelaki-dan-perempuan yang berdempet itu saja, meski ia harus menahan sabarnya berdiam diri di ruang kesehatan.

“Dek, baiknya ikut kembali ke jamaah. Ini jarang-jarang adeknya bisa ikut kegiatan seperti ini. Hanya sekali seumur hidup, lo. Nanti nyesel kalau engga ikutan.”

Panitia itu tidak mengerti!

Gadis Muda itu berujar kesal di hatinya, bercampur sedih; bagaimana nasibnya nanti jika ia terus berkumpul dengan lelaki-lelaki non-mahram itu? Mereka bercanda-ria dengan perempuan yang tak dikenal oleh mereka, yang bukan juga adik mereka, bukan juga ibu mereka, bukan juga istri-istri mereka. Lalu, betapa beraninya mereka seperti itu? Gadis Muda terus berkutat dalam pikiran horornya, yang membuat imaji seluruh acara mencekam dan penuh ketakutan.

Tiba-tiba dari panggung terdengar suara mic, “Ya, sayang sekali ya MC kita satu ini masih jomblo! Nih, MC cari aja dedek-dedek gemes di bawah panggung ini, nanti kita cari bareng-bareng!”

Astaghfirullah! Naudzubillahi min dzalik! Bagaimana bisa orang berbicara seperti itu!

Dalam hatinya yang terus beristighfar, Gadis Muda itu melantunkan ayat al-Qur’an untuk menguatkan imannya. Ia paham, jika ia terus berada dalam kondisi sekitar seperti itu, ia akan terbawa oleh lingkungan, menjadikan ia ikut berdempet juga dengan para lelaki.

“Hei, dedek-dedek gemes, ada gak yang mau jadi gebetan aku?” sahut MC dengan suara lantang.

Subhanallahi wa bi hamdih! Gadis Muda itu terus tertekan, ia menangis dalam hati. Ia memohon bantu dari Tuhan, berharap ia tidak menganggap kesemua itu sebagai hal wajar yang menjadikan dirinya jatuh dari keimanan dan kemuliaan.

Ikhtilath, atau yang disebut sebagai campur-baur lelaki dan perempuan bersamaan tanpa sekat sama sekali, merupakan hal haram. Itu tidak boleh. Tidak halal. Haram. Haram! Apalah lagi tentang mencari gebetan seperti itu? Malah-malah, dia tidak begitu paham apa itu ‘gebetan’, sebab selama di pesantren ia tidak pernah mendengar istilah itu. Namun yang jelas, kata ‘gebetan’ sepertinya bermakna negatif, demikianlah pikir sang gadis. Gadis Muda itu mengencangkan niqabnya ke atas, mempersempit ruang pandangnya dari melihat sekitar, bila-bila ia membuka mata jika selama ini ia memejam.

Tawa riuh berjumpa di se-antero kampus, menandakan canda MC yang memang menurut kebanyakan sedemikian lucu. Gadis Muda sudah lelah. Ia lelah berperang dalam batinnya. Ia tak tahu harus bagaimana. Yang jelas, yang ia tahu, ia harus keluar. Ya, keluar. Keluar dari acara itu, dan tak perlu kembali! Orangtuanya hanya menyekolahkannya di perkuliahan, bukan di acara-acara yang bercampur aduk seperti itu. Ia bertekad pada dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan mau banyak bergaul dengan orang-orang sekitar, yang bisa jadi menjerumuskannya pada apa yang ia lihat pada hari itu. Ia bertekad, ia harus berteman dengan sahabat shalihah saja!

Acara pun berjalan sebagaimana mestinya, panitia berbahagia hingga pada titik evaluasi pun hanya beberapa perihal yang harus dibenahkan. Panitia saling berdiskusi bahwa koordinasi selama acara terbilang buruk. Antara divisi acara dan divisi keamanan kurang sinkron. Lalu, didapati ada anggota jamaah yang makanannya dimasukki ulat. O, betapa perlunya evaluasi! Kesehatan syukurnya aman. Penata tertib lapangan juga aman. Overall, meski ada insiden ulat dan sebagainya, rangkaian acara hari itu aman!

Tatkala usai pulang dari acara, Gadis Muda berniqab hitam harus menerima realita bahwa kini ia telah hampir berdempet dengan lelaki-lelaki yang bahkan ia tidak kenal asal-usulnya. Ia yakin mereka semua bukanlah mahramnya. Bukan yang sedarah. Apa yang ia hendak katakan bila ditanya tentang kehormatannya nanti? Bagaimana jika kemuliaannya turun akibat acara yang ia ikuti tadi? Apakah kini ia sudah tidak suci? Apa niqab yang ia gunakan kini sudah usang, tak mampu membatasi dirinya dari sekumpulan orang yang tidak sama sekali menjaga batas? O, tidak. Ia harus bertaubat. Ia harus berhenti dari mengikuti acara itu.

Malam harinya, ia sudah lelah dan tepar, tak kuasa menahan jenuh kantuk. Seharian memang berat. Bakda isya’, dia mengunci kamarnya, menata bantal, dan mengatur alarmnya. Ia ingin tahajjud. Ia ingin meminta bantuan dari Tuhan supaya diberi kekuatan agar tidak melemah imannya. Ia pun terlelap.

Jam tiga pagi ia bangun, dan segera ia ambil wudhu. Ia menahan kantuknya, seraya mengucap takbir pengawal shalat. Ia laksanakan enam rakaat, sebelum adzan subuh berkumandang. Ia rayakan malam itu dengan dengungan doa, memohon ampun dan perlindungan. Memohon supaya dirinya tidak dijatuhkan kehormatannya. Ia berucap, bahwa ia tidak ingin lagi ikut acara itu. Ia bertaubat.

Paginya, dengan tekad yang sudah bulat, ia menyapu halaman kamarnya usai dzikir di awal hari. Ia membereskan pakaiannya yang belum ia rapikan setelah ia tepar kemaren, setelah itu ia membuka gorden. Tampak cahaya mentari menyambut wajahnya yang pagi itu tidak tertutupi oleh niqab hitamnya.

Ia yakin hari itu akan baik-baik saja meski ia tak melanjutkan acara seperti kemaren.

Ia yakin bahwa ancaman panitia yang jika ia tidak hadir acara seperti kemaren, pasti tidaklah akan membawa petaka apapun, selama ia bertawakal kepada Tuhan.

Ia yakin, bahwa Tuhan mendengar keluhan dan tangis hatinya.

Setelah itu Gadis Muda tersebut keluar kamar, mengunci pintu. Dalam pakaian serba rapi dan sesuai syar’i, ia berjalan menuruni kosnya, lalu menyapa teman-temannya yang juga keluar bersamaan. Teman-temannya itu hendak menuju acara yang kemaren.

Melihat teman-temannya, ia berpikir kembali tentang tekadnya untuk tidak mengikuti acara itu. Teman-temannya berjalan bersama dalam tawa dan riang, membicarakan keasyikan hari kemaren; yang membuat hatinya terheran mengapa mereka bisa sesenang itu, sedangkan dirinya tidaklah demikian.

“Mungkin aku saja yang berlebihan, bisa jadi lelaki dan perempuan yang kemaren bisa seperti itu karena tidak paham ilmu agama saja. Lagipula tidak apalah, toh hanya berdekatan saja. Yang penting tidak dempet,” gumam Gadis Muda dalam hati, walau di lubuknya terdapat rasa bersalah telah berpikiran seperti itu.

Demikian, meski sudah bertaubat, syaithon membuatnya lupa atas perkataannya yang lalu tentang rasa sesalnya, dan membuat si Gadis Muda ragu atas tekadnya yang baru saja ia ucap belakangan itu.

“Bukankah acara ini hanya terjadi sekali saja dalam hidupku?”

Gadis Muda menyimpul raut bimbang di balik niqabnya.

“Setidaknya harus ada yang bisa kuceritakan kepada teman-temanku ketika awal aku masuk kuliah sekarang ini.”

Udara dingin menyapa halus si Gadis Muda.

“Aku juga menginginkan kesenangan di masa mudaku. Bukankah aku menjadi kesepian jika mengurung diri begini terus?”

Ya, dia tidak boleh mengurung diri. Islam tidaklah mengajarkan umat pengikutnya untuk mengurung diri, melainkan Islam mengajarkan diri harus pandai bergaul pada siapa saja.

Gadis Muda pun menapak langkah menuju acara itu kembali. Dengan pikiran, bahwa bisa jadi dia saja yang berlebihan dalam beragama, tidak bisa bergaul, dan tidak dapat menerima kenyataan bahwa kini ia sedang tidak di pesantren lagi.

Seperti itulah, realita sebagian pemuda-pemudi yang mengawali hari di kampus; mengalah atas kondisi, mengorban diri demi masukki lingkungannya kini.

Dengan langkah sedikit ragu, si Gadis Muda merubah setel pakaiannya, menjadi batik dengan rok hitam menjulur ke bawah mata kaki, dan jilbab maroon yang menutupi sekujur diri hingga ke lutut. Ia merangsek peniti demi menali kain-kain, sembari membenarkan niqab bandana yang ia kenakan baru saja tadi.

Ya, dia akan ikut acara itu kembali.

Dan tentang agama? O, Islam tidaklah mengajarkan untuk menutup diri. [ ]

Penulis: Rumi Azhari (Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia angkatan 2016)

Ilustrasi: Rumi Azhari

**Tulisan merupakan tanggung jawab kontributor, sesuai ketentuan redaksi kami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *