FaceApp, Kerikil Kecil dalam Keamanan Informasi Pribadi

Belakangan ini ramai diperbincangkan soal aplikasi Faceapp yang katanya mengambil data pribadi kita, yaitu foto yang kita gunakan di aplikasi tersebut. Sebelumnya aplikasi ini booming karena banyak selebriti yang juga ikut menggunakannya dan membagikannya ke media sosial. Apa sih sebenarnya yang terjadi dengan data kita dalam Faceapp?

Tak lama setelah aplikasi Faceapp booming, orang-orang mempertanyakan tentang keamanan data pribadi yang dibagikan ke aplikasi tersebut. Seorang Security Researcher kebangsaan Prancis, Baptise Robert, atau yang dikenal sebagai @fs0c131y di Twitter menjelaskan duduk permasalahannya. Menurut Baptise sendiri, apa yang dilakukan oleh Faceapp adalah aplikasi ini meminta pengguna untuk meng-upload foto yang akan diubah ke server mereka dan foto tersebut akan diproses di sana. Selebihnya tidak ada lagi hal yang mencurigakan yang diambil aplikasi Faceapp terhadap ponsel pengguna. Masalah yang muncul kemudian adalah kegelisahan terkait  pemanfaatan data foto yang terkumpul dalam server Faceapp tersebut.

Bagi penulis, hal yang patut diperhatikan adalah bagaimana pengguna memahami betul konsekuensi dalam penggunaan aplikasi gratis. Sebenarnya sebelum menggunakan aplikasi kita diminta persetujuan terhadap apa yang akan dilakukan aplikasi dalam Terms & Conditions dan Privacy Policy. Jika kita setuju maka apa yang tertulis dalam Terms & Conditions dan Privacy Policy adalah kesepakatan kita. Dalam kasus Faceapp ini sendiri tertulis dalam Privacy Policy-nya bahwa Faceapp tidak akan menyewakan atau menjual informasi pengguna kepada pihak ketiga di luar Faceapp tapi juga disebutkan bahwa Faceapp akan membagikan informasi pengguna kepada pihak ketiga partner iklan untuk kepentingan periklanan. Dapat dilihat bahwa apa yang disebutkan Faceapp dalam Privacy Policy-nya adalah kontradiksi dan membingungkan pengguna.

Apa yang ingin saya sampaikan di tulisan ini adalah bagaimana kita menghargai data pribadi kita sendiri. Menghargai di sini dalam artian bagaimana kita paham betul tentang kepada siapa kita membagikannya. Apakah yang dilakukan Faceapp salah? Tidak sepenuhnya. Pengguna yang secara sadar menyetujui apa yang dilakukan aplikasi tersebut menurut saya pribadi bukanlah korban. Kesepakatan dan persetujuan di situlah yang menjadi dasar saya menyebutnya tidak sepenuhnya salah. Apakah kita sudah paham betul dengan apa yang kita lakukan? Di sini masalahnya.

Ada sebuah kalimat – saya lupa siapa yang mengatakannya – bahwa “Jika kita menggunakan sebuah aplikasi secara gratis berarti kita membayarnya dengan cara yang lain”. Ini yang harus kita pahami betul apa bentuk pembayaran yang kita lakukan, apakah itu mengorbankan informasi pribadi kita atau tidak. Kasus Faceapp adalah sebagian kecil dari permasalahan keamanan informasi yang harusnya kita pahami.

Jika kita lebih aware media sosial dan mesin pencari yang kita gunakan sehari-hari sudah melakukan hal yang jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan Faceapp. Sebut saja Facebook, Instagram, Snapchat, Google, Twitter bahkan aplikasi-aplikasi belanja online yang sering kita gunakan secara gratis sudah mengumpulkan informasi tentang kita.

Pernahkah kalian merasa pada suatu saat kalian membicarakan tentang suatu barang, sedikit melakukan pencarian di google dan beberapa saat setelah itu atau mungkin besoknya kalian mulai banyak melihat iklan-iklan tentang barang yang kalian bicarakan, entah itu di media sosial atau saran dari mesin pencari. Atau dalam kasus lain, pernahkah kalian melihat-lihat foto di Facebook teman kalian dan ada salah satu foto yang ada kalian di dalamnya lalu Facebook secara otomatis langsung memberikan saran “Tandai foto anda”. Bagaimana Google bisa tau apa yang kita bicarakan dan bagaimana Facebook bisa tau wajah kita? Bukankah ini jauh lebih menyeramkan dari apa yang dilakukan Faceapp.

Satu contoh yang cukup menarik lagi adalah tentang bagaimana Information Filter Bubble bekerja. IFB sendiri adalah pengisolasian informasi terhadap pengguna berdasarkan preferensi yang ada pada pengguna sendiri, seperti lokasi, gender, pandangan politik dan sebagainya. Informasi yang ditampilkan hanya apa yang terkait dengan pengguna. Sangat sulit untuk melihat suatu hal yang ada di luar  preferensi. Menarik lagi melihat fenomena ini terjadi disaat Pilpres; tentang bagaimana setiap kubu terjebak dalam echo chamber, kebenaran masing-masing yang dipegang kuat satu sama lain, membuat keduanya semakin kolot.

Ada sebuah ungkapan lain, bahwa kita sebagai pengguna adalah produk sebenarnya dari sebuah servis/aplikasi. Informasi pengguna dieksploitasi sedemikian rupa dan hal itulah yang dimonetisasi. Dengan begini, apakah sudah paham bagaimana sebuah servis/aplikasi gratis bisa menjadi perusahaan yang sangat besar.

Saya sendiri di sini tidak mengajak untuk melepas dan berhenti menggunakan semua aplikasi yang kita gunakan sehari-hari, sebab saya percaya hal itu tidak mungkin. Dalam industri teknologi sekarang yang dibentuk diawal adalah kebiasaan pengguna yang berakibat terhadap keterikatan terhadap suatu servis. Contohnya sejak kapan manusia mempunyai kebiasaan untuk swafoto? Sejak adanya media sosial. Memang, tidak banyak alternatif untuk keluar dari kebiasaan dan keterikatan terhadap aplikasi-aplikasi ini, tapi pasti ada sedikit cara. Misalnya dengan mengurangi penggunaan google sebagai mesin pencari dan menggantinya dengan duckduckgo yang tidak mengeksploitasi preferensi kita. Untuk media sosial lebih sedikit lagi pilihannya yaitu cuma dengan mengurangi penggunannya.

Pada akhirnya kita juga sulit terlepas dengan fenomena ini. Namun yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita peduli dan menghargai keamanan informasi pribadi kita, mengerti kemana akhirnya informasi kita diolah dan mengerti bahwa setiap aplikasi gratis, kita membayarnya dengan cara yang lain. Jika sudah sepakat dan kita merelakan hal tersebut ya silahkan saja gunakan servisnya sepuasnya.

Dengan kita sadar tentang apa yang terjadi terhadap data pribadi kita, kita menjadi semakin was-was untuk membagikannya dan itulah harapan saya agar semua orang bisa mengerti tentang hal itu. Kasus Faceapp ini adalah kerikil kecil yang membuat kita tersandung dan sadar bahwa selama ini ada batu besar yang menempel di punggung.

 

Penulis: Hilman Maulana (Mahasiswa Teknik Informatika UII Angkatan 2015)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *