Laut Bercerita: Potret Pelanggaran HAM di Era Reformasi

Oleh: Muhammad Fathurrahman P. S

Laut merupakan tempat yang luas, dalam, gelap dan penuh misteri. Persis seperti negeri ini. Indonesia, nusantara yang luas nan penuh misteri. Itulah yang coba dijelaskan oleh Leila S. Chudori dalam bukunya “Laut Bercerita”. Leila merupakan mantan jurnalis Tempo, salah satu majalah yang diberedel oleh rezim Orde Baru. Pengalamannya bersama Tempo-lah yang melatarbelakangi penulisan novel historical fiction ini. Laut Bercerita terbit tahun 2017 dengan tebal 379 halaman, mengangkat tema persahabatan, percintaan, kekeluargaan, dan rasa kehilangan.  Berlatar di tahun 1998–2000, Laut Bercerita mengisahkan kebengisan serta kekejaman yang dilakukan negara di Era Reformasi. 

Biru Laut Wibisana merupakan mahasiswa UGM jurusan Sastra Inggris. Ia merupakan pribadi yang cinta terhadap karya sastra, baik itu berbahasa Indonesia maupun Inggris. Ia gemar membaca karangan Pramoedya yang terlarang saat itu. Ketika itu, pemerintah melarang pengedaran buku-buku Pram karena dianggap memiliki paham kiri yang bertentangan dengan pemerintah. Alhasil, Laut harus mencari serta memfotokopi buku-buku tersebut di salah satu fotokopi dekat kampus. Di sanalah ia bertemu dengan Kinan, seorang aktivis mahasiswa yang memperkenalkan Laut dengan organisasi Winatra dan Wirasena, Organisasi Pers Mahasiswa yang terus menyuarakan kebenaran. Dalam organisasi tersebutlah Laut berdiskusi mengenai buku-buku terlarang itu.

Aksi Diskusi Berujung Dieksekusi

Buku-buku yang ia baca ternyata mempengaruhi pola pikirnya. Semula hanya berdiskusi, berakhir hingga aksi konkret. Ia bersama kawan-kawan Winatra dan Wirasena melakukan beberapa aksi yang bertujuan membantu rakyat serta petani. Salah satunya aksi di Blanggunan. Rupanya tanah milik petani di sana diambil alih oleh negara yang digunakan untuk tempat latihan tentara. Para petani yang kehilangan tanahnya bingung harus bagaimana. Akhirnya Winatra dan Wirasena berencana membantu petani dengan melakukan aksi Tanam Jagung secara diam-diam. Aksi tersebut gagal, berakhir dengan penangkapan beberapa anggota Winatra dan Wirasena, termasuk Laut. Mereka ditangkap oleh aparat dan disiksa serta diinterogasi siapa dalang di balik aksi mereka, dari mana pendanaan aksi berasal, hingga siapa pimpinannya. Dua hari mereka disekap dan akhirnya dibebaskan. 

Setelah membaca novel ini, pembaca akan mendapatkan pandangan baru mengenai tragedi kelam yang pernah terjadi di negeri ini. Leila tampak berusaha menceritakan sejarah yang tak dijumpai di buku sejarah sekolah. Novel ini dapat menjadi pemicu untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia pada Era Reformasi. Apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1996, mengapa negara begitu kejam, serta sudah adakah kabar di tahun 2024 mengenai aktivis yang hilang? Mereka terus mencari, bertanya, dan berharap. Tahun demi tahun berlalu dengan tanya dan harap yang masih melayang. Bahkan setelah runtuhnya rezim Soeharto, pemerintah tetap saja tak bersuara. Selama 17 tahun, para keluarga korban setiap hari Kamis mengadakan aksi protes di depan Istana Negara. Aksi tersebut dikenal sebagai Aksi Kamisan.

Novel ini memiliki banyak kesamaan dengan kehidupan nyata kala itu. Mulai dengan karakter tokoh yang dibawakan hingga beberapa peristiwa yang hampir mirip dengan apa yang terjadi kala itu. Setelah ditelaah, maka terlihat beberapa hal yang familiar dari novel tersebut. Seperti karakter Mas Gala atau yang disebut Sang Penyair. Dalam tokoh Mas Gala kita melihat sosok Wiji Thukul, seorang penyair yang juga aktivis Hak Asasi Manusia yang juga dinyatakan hilang di tahun 1998. Juga karakter Mas Bram, pimpinan Wirasena yang memiliki keinginan membuat partai baru. Hal tersebut sangatlah menentang pemerintah yang mana kala itu hanya ada tiga partai yang diperbolehkan. Mas Bram sangatlah mirip dengan Budiman Sudjatmiko yang mendirikan Partai Rakyat Demokratik. Budiman Sudjatmiko dituduh dalang dalam peristiwa 1996 hingga ia dipenjara. Hal tersebut persis dengan apa yang dialami karakter Mas Bram dalam novel tersebut.

Krisis Moneter Hingga Matinya Demokrasi

Novel Laut Bercerita ini merupakan novel yang sangat tidak biasa. Novel ini memiliki keunggulan yang berbeda dengan novel lainnya. Visualisasi karakter dan suasana tampak begitu jelas hingga pembaca dapat memvisualkan dengan mudah. Namun, dengan alur campuran dapat menjadikan pembaca bingung dengan cerita yang sedang ia baca. Selain itu, pembagian dua sudut pandang juga membuat pembaca bertanya-tanya dan kebingungan dengan apa yang terjadi dengan sudut pandang Laut serta sudut pandang Asmara. 

Selayaknya laut yang dalam, novel ini juga memiliki hikmah yang begitu dalam. Jika kembali membaca novel tersebut, rasanya cerita yang disajikan belumlah usai. Pertanyaan apa yang terjadi dengan Biru Laut dan 12 aktivis lainnya belum terjawab. Begitu pula dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan negeri ini. Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan dan kawan-kawannya sampai sekarang masih belum diketahui keberadaannya.

Mereka hilang karena memperjuangkan demokrasi. Mereka ingin generasi yang hidup setelahnya tidak merasakan krisis moneter hingga matinya demokrasi. 

“Matilah engkau mati

  Kau akan lahir berkali-kali”

  -Sang Penyair


Penyunting: Yasmeen Mumtaz dan Paramitha Maharani

Grafis: Dhiya Shofia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *