Larangan Busana Ketat Perlu Dipertegas

Tahun 2011, dilakukanlah social experiment. Sebabnya, sekian banyak mahasiswi UII masih saja dipersilakan memasukki gedung-gedung fakultas dengan mengenakan pakaian ketat dan belum sepenuhnya menghijabi diri. Padahal, aturan kedisiplinan busana mahasiswa/i sudah sah, bahwa tidak boleh berpakaian ketat dan harus memenuhi batasan syariat. Hal itulah, yang membuat narasumber yang saya temui pada tahun 2018 ini dahulunya melakukan eksperimen : bagaimana halnya jika ia menggunakan pakaian compang-camping, bercelana pendek dan berbajukan kaos, serta atribut busana lain yang juga sama status pelanggarannya seperti busana ketat bagi mahasiswi itu; apakah ia tetap diperbolehkan masuk kawasan kampus?

Narasumber yang waktu itu masih se-usia tahun semester pertama ini pun dihadang oleh aparat penegak hukum. “Tidak boleh masuk!”. Narasumber ini tetap nekat. Ia tetap melangkah masuk ke dalam fakultasnya. Masih saja dihadang, “kamu ini harus berpakaian yang sopan, baru boleh masuk kampus!”. Ia tetap maju, sedemikian juga ia tetap dihadang. Hingga sampai titik social experiment tersebut menjadi masalah, barulah narasumber ini berkata, “kalau saya saja yang berpakaian compang-camping ini dihadang tidak boleh masuk kampus, lalu mengapa kalian tidak  pernah menghadang mahasiswi yang berpakaian ketat untuk memasuki kampus? Bukankah mereka juga melanggar aturan kedisiplinan berbusana di kampus?”

Telah banyak yang berkomentar tentang penggunaan busana ketat di UII; yang dinilai kurang sesuai dengan syariat Islam. Hanya saja, komentar tersebut kurang mendapat tanggapan-realisir yang nyata. Buktinya, hingga kini pengguna busana ketat di UII masih ‘agak’ mudah ditemui di trotoar dan lorong fakultas-fakultas UII.

Kiranya pun komentar-komentar itu dapat merubah busana muslimah di UII, acapkali realisasi dari komentar tersebut sebatas tersampai melalui tindak amar-ma’ruf di sepergaulan sesama sivitas saja : jika ada yang menggunakan celana ketat, maka muslimah lainnya akan menegur. Bila teguran itu diabaikan, maka tidak akan terjadi apa-apa. Si pengguna celana ketat tersebut tetap bebas menggunakan pakaiannya, tanpa sanksi atau hukuman pembuat jera apapun.

Tentu penegakkan syariat Islam di kampus tidak bisa terlaksana hanya dengan amar ma’ruf bermodelkan itu saja. Model tegur-teguran itu tidak kuat, tidak dapat menuntaskan persoalan busana ketat secara utuh. Ketidak-efektifan tegur-teguran yang kurang mendapat “dukungan aparat hukum” itu akan memakan waktu lama; malah, hingga sang mahasiswi lulus pun mungkin ia tetap menggunakan celana ketatnya selama berkuliah. Belum lagi pun dengan berdatangannya mahasiswi baru tiap tahunnya, yang adakalanya membawa pengaruh busana ketat kepada sivitas lainnya. Benarlah saja, sekadar tegur-menegur takkan menuntaskan problema dengan tuntas.

Sebenarnya, UII telah mengeluarkan aturan tentang larangan busana ketat di area kampus. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Universitas Nomor : 460/SK-Rek/Rek/X/2001 tentang Disiplin Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), yang menyatakan bahwa mahasiswi selama berlangsungnya proses belajar mengajar dilarang menggunakan busana ketat, busana yang memperlihatkan aurat, dan/atau busana yang transparan. Apabila yang bersangkutan melanggar aturan tersebut, maka ia akan dikenai sanksi disiplin ringan. Sanksi yang dimaksud berupa teguran lisan/tertulis, tidak diperkenankannya masuk lingkungan kampus UII, dan/atau tidak diperkenankannya mengikuti kuliah, ujian, bimbingan, atau menggunakan fasilitas UII.

Dalam aturan tersebut, teguran lisan/tertulis baranglah kali telah terlaksana (sebagaimana yang dijelaskan di atas), entah oleh pihak UII sendiri ataupun dari sivitas di dalamnya. Namun, jika melihat fakta betapa masih adanya pengguna busana ketat di UII, artinya sanksi ringan yang dimaksudkan belum sepenuhnya efektif. Atau, tepatnya : sangksi ringan tersebut belum sepenuhnya digunakan.

Sanksi tidak diperkenankannya pengguna busana ketat untuk memasukki lingkungan kampus, atau seminimalnya pelarangan ikutnya pengguna busana tersebut selama giat belajar-mengajar itulah yang nampak belum direalisir. Masih saja ditemukan sivitas UII pengguna busana ketat di dalam kelas perkuliahan, yang mengindikasikan belum ada ketegasan yang lebih selama penegakkan sanksi ringan itu.

Hal demikian seakan menunjukkan bahwa pihak aparat penegak larangan busana ketat tersebut kurang memiliki andil (atau penindakan) dengan sanksi itu. Mungkin, berikut ini ialah penyebabnya : pihak aparat belum mengetahui cara-teknis untuk mengatasi problem penggunaan busana ketat, yang dapat dipahami karena betapa besar pekerjaan aparat tersebut bila harus mengurus ratusan (atau ribuan) mahasiswi di UII ‘hanya’ untuk perkara busana. Sedangkan penyebab lainnya –yang saya benci untuk menuliskannya : mungkin standar “busana ketat” yang dipahami pihak aparat berbeda dengan definisi para ‘ulama.

Apabila kita hendak merujuk pada kitab ‘ulama, standar busana bagi muslimah haruslah tidak ketat. Sebaimana tercantum dalam kitab Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah fil Kitab was Sunnah : “Tujuan pakaian muslimah adalah agar tidak menggoda. Tujuan ini bisa tercapai hanya dengan wanita berbusana longgar. Adapun berbusana ketat, walau itu menutupi warna kulit, namun masih menampakkan bentuk lekuk tubuh seluruhnya atau sebagiannya; sehingga hal ini pun menggoda pandangan para pria. Dan sangat jelas hal ini menimbulkan kerusakan, tanpa diragukan lagi. Yang tepat, pakaian muslimah haruslah longgar (tidak ketat).”

Apabila kiranya pihak aparat ‘kewalahan’ menanggung ribuan mahasiswi pengguna busana ketat, dapatlah semisal pihak aparat meminta pada para dosen untuk membuat aturan “Siapa yang berbusana ketat, maka tidak boleh masuk kelas saya.” Atau, jika ingin lebih diperhalus, dapat juga pihak aparat membuat pengumuman (mungkin via online?) berbunyi “Mulai tanggal sekian-sekian-sekian mendatang, UII mewajibkan muslimah di lingkup kampus untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan syariat Islam. Apabila didapati tidak demikian, maka kampus akan menindak lanjuti.” Tentu, dengan pengumuman demikian, perhatian para muslimah UII akan didapati secara massal : tiap dari mereka akan berpikir, “Benar tidak ya pengumuman tersebut? Wah harus siap-siap, nih.”

Lagipula, berdasarkan opini yang saya dapat : mahasiswi baru di UII pada awalnya pun telah mengira bahwa kampus ini mewajibkan banyak perkara syariat Islam di dalamnya. Ada yang mengira bahwa saat kuliah nanti (kendati saat itu mereka belum kuliah di UII), mereka harus memperkenankan diri memakai pakaian gamis dan jilbab lebar. Jika opini tersebut sudah ada sejak semula kuliah (atau bahkan sebelumnya), tentulah saja makin mudah bagi aparat untuk menegakkan larangan busana ketat itu; yakni dengan memanfaatkan opini tersebut, lalu menciptakan penegakkan aturan di atasnya.

Solusi atas penegakkan larangan busana ketat harus segera dirumuskan dan tidak boleh disepelekan. Kiranya contoh solutif yang tercantum dalam tulisan ini kurang berkenan, amat diperbolehkan bagi pihak aparat dan pihak lainnya untuk merumuskan cara solutif lainnya. Bagaimana pun nantinya, cara yang dimaksudkan itu dapat mengatasi penggunaan busana ketat di sivitas UII; agar muslimah di lingkup kampus beralih menuju penggunaan busana yang sesuai dengan syariat Islam dan sesuai pula dengan peraturan kedisiplinan yang ada di UII.

Bila perkara ini ditanggapi serius dan diselesaikan secara tuntas, tentu saja akan didapat keuntungan bagi UII beserta sivitasnya. Bukan hanya terkikisnya opini “UII kurang islami”, namun juga didapatnya pandangan positif dari masyarakat terhadap UII; terkarena luhurnya kampus ini atas segala keprinsipan Islam-nya. Dari sini, UII akan disoroti kaum muslimin sebagai universitas yang agung dan benar-benar penerap Islam. Tak hanya itu, calon mahasiswa-mahasiswi baru yang hendak masuk UII pun akan tersprektum lebih baik lagi : makin banyak yang yakin bahwa ketaatan mereka dapat terjaga di UII, yang terspekulasi juga betapa makin banyak pula (calon) sivitas yang kian taat agama di UII pada masa mendatang.

Dari sisi keberkahan pun, dapat dikira : Allah akan semakin ridho kepada UII, terkarena UII telah menjaga aurat dan busana muslimah sesuai syariat-Nya, insyaAllah. Selain daripada itu, adab interaksi antar lawan jenis tentang penundukkan pandangan dan penjagaan aurat-kehormatan pun kian terjaga. Keterjagaan adab tersebut membawa untung pula pada dunia akademis, seperti makin baiknya daya belajar para mahasiswa, karena : makin selamatnya mata mahasiswa, maka barangkali makin baik pula daya otak mereka (silakan cari rujukan tentang ini, jika ingin tahu alasannya; baik secara agama maupun saintifik).

Akan tetapi, jika perkara busana ketat ini diabaikan dan diremehkan, tentu nama UII akan tetap seperti sediakalanya : dianggap masih membolehkan busana ketat, dan kurang menindakinya. Atau, kritik serta komentar serupa akan terus dilangsungkan dari generasi ke generasi, yang kian pula menambah rekam negatif pada nama UII.

Belumlah lagi, dari sisi ke-ridho-an Allah, akan semakin berisiko jika penggunaan busana ketat terus dibiarkan. Hal yang dikhawatirkan ialah berkurangnya berkah yang diturunkan Allah kepada UII, atau munculnya perkara-perkara buruk di masa mendatang. Sebagaimana tercantum dalam kitab ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, “Tidaklah pelaku maksiat melakukan suatu urusan, melainkan dia akan menemui berbagai kesulitan dan jalan buntu dalam menyelesaikannya. Demikianlah faktanya. Sekiranya orang itu bertakwa kepada Allah, niscaya urusannya dimudahkan oleh-Nya. Begitu pula sebaliknya, siapa yang mengabaikan takwa, niscaya urusannya akan dipersulit oleh-Nya.”

Jika diperbandingkan untung-ruginya, nalar normal akan mengatakan bahwa penegasan larangan busana ketat akan membawa lebih banyak keuntungan. Dalam penindakan perkara ini pun, insyaAllah, tidak akan sedemikian rumit. Pun, larangan tersebut telah mendapat legalisasi oleh pihak UII sendiri. Maka, menjadi jelas : untuk apa lagi menunda-nunda penindakan busana ketat yang selama ini ada? [ ]

 

(Oleh : Rumi Azhari, staff Humas Media al-Mustanir FTSP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *