Mitos dan Digital : Narasi Bahasa dan Seni Kompleks dalam Berbincang#3 JABFEST 2025
Oleh: Vina Purnama Sari & Pingkan Riza Sefianna
Pada tahun ini, Jogja Art+Book Festival (JABFest) 2025 mengangkat tema “Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari: 82 Tahun Kuntowijoyo”. JABFest berlangsung selama kurang lebih dua minggu, dimulai pada tanggal 19 Mei – 2 Juni 2025 bertempat di The Ratan, Bantul. Dalam rangkaiannya, JABFest terdiri dari beberapa agenda utama, seperti berbincang, ngobrolin buku, bazar buku, panggung literasi, kuliah (ora) umum, pidato kebudayaan, seni + literasi, seniman berbicara, serta book & beverage. Pada tanggal 30 Mei 2025, berbincang #3 mengangkat tema Mitos di Era Digital dengan narasumber Nezar Patria, St. Sunardi, dan Ramayda Akmal. Dalam pembahasannya narasumber membahas tentang beberapa tema terkait mitos di era digital.
Mitos Reaksioner dan Gaya Bahasa
Mitos menurut narasumber, St. Sunardi, mitos merujuk pada keyakinan atau narasi yang cenderung mempertahankan atau mengembalikan masyarakat pada kondisi masa lalu, atau status quo ante. Dalam konteks ini, mitos berfungsi sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan nilai-nilai lama yang dianggap ideal, meski sering kali tidak lagi relevan dengan tantangan zaman sekarang. Gaya bahasa yang digunakan dalam membangun mitos ini pun sering bersifat retoris, penuh simbol, dan kadang tanpa perlu penjelasan rasional, mirip dengan seni, khususnya puisi, yang mampu menyampaikan makna tanpa kata-kata langsung.
“Mitos yang dipahami sekarang tidak selalu buruk dan jelek. Bagi saya, sebagai cara untuk ngomong hal-hal yang belum ada bahasanya. Meminjam bahasa lain untuk dibicarakan.” ujar St. Sunardi.
Seni berbicara dengan gaya mitos menjadi kekuatan tersendiri dalam membentuk persepsi masyarakat. Dalam sastra, misalnya, puisi dan karya seni lain mampu menghadirkan realitas baru melalui simbol dan metafora, sehingga mitos bukan hanya sekedar cerita lama, melainkan juga cara berkomunikasi yang mempengaruhi kesadaran kolektif.
Humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial tidak hanya bertujuan memahami masyarakat, tetapi juga mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam penjabarannya, Ramayda Akmal “Humanisasi itu upaya memanusiakan manusia, selain itu ideologi juga membuat kita lebih less human. Liberasi membebaskan manusia dari belenggu pengetahuan, sosial, ekonomi, dan politik, termasuk membebaskan dari hegemoni mitos yang membutakan rasionalitas. Transendensi mengarahkan manusia pada nilai-nilai ketuhanan dan makna hidup yang melampaui kepentingan duniawi semata.”
Dalam kondisi masyarakat yang terdigitalisasi saat ini, mitos justru semakin mudah tersebar dan berkembang. Media sosial memungkinkan siapa saja menjadi “pencipta mitos” baru—contohnya para influencer yang membangun narasi dan pengaruh di kalangan anak muda. Setiap individu kini dapat membentuk dan menyebarkan mitos sesuai dengan gaya dan kebutuhan generasinya.
Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan mitos-mitos baru bisa saja membelenggu kebebasan berpikir, bahkan menggantikan mitos lama dengan mitos digital yang tidak selalu berbasis fakta atau kebenaran.
Kedekatan Mitos dengan Masyarakat
Pada era digital, mitos sangat dekat dengan masyarakat. Mitos itu sendiri tidak selamanya termanipulasi dan tidak selalu merugikan, peluang mitos yang awalnya didominasikan oleh fracture sekarang dapat menjadi mitologis.
Secara modern, mitos lebih bersifat subjektif, namun cara penyebarannya tetap sama seperti dulu yaitu bersifat kolektif. Contohnya adalah ketika ada sesuatu yang menjadi trending topic di media sosial pada saat itu, masyarakat secara otomatis akan mencari tahu, mengikuti, memberikan komentar dan mengunggah ulang postingan tersebut.
Dalam media sosial, meme yang tersebar di masyarakat merupakan bentuk dari mitos itu sendiri. Meme merupakan sebuah media informasi budaya, ide, perilaku atau gaya yang menyebar dari satu orang ke lainnya. Meme menjadi mitos disebabkan karena masyarakat pendukungnya paham bagaimana cara memandang meme tersebut. Cara penyebaran meme itu sendiri juga bersifat kolektif, dimulai dari pembuat meme tersebut, pengikutnya, dan akhirnya tersebar kepada masyarakat luas.
Setelah sesi berbincang berakhir, kami sempat mewawancarai Bapak St. Sunardi untuk meminta penjelasan lebih lanjut terkait kaitannya dengan anak muda sekarang ini. Menurutnya, mitos pada anak muda dapat dijadikan sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu hal yang baru atau hal-hal yang belum ada. Dalam menciptakan mitos, kita harus meyakini untuk mengungkapkan apa yang menurut kita benar, walaupun jumlah pengikut kita sedikit daripada kita yang mengikuti orang lain dikarenakan rena zaman sekarang ini, banyaknya pengikut itu hanya untuk sensasi yang belum pasti kebenarannya.
“Saya berharap supaya anak-anak muda itu lebih percaya dengan imajinasinya, jadi kreatif, punya cita-cita dan keinginan meskipun belum ada namanya. Karena nantinya, itu bisa diungkapkan lewat sastra dan sebagainya. Dengan kata lain, kita harus mengartikan mitos dengan hal-hal positif,” ungkapnya.
Penyunting : Alia Al Hasna
Grafis : Indah Damayanti