RUU TNI DISAHKAN: Menilik Sikap Penolakan Civitas Akademika UII Melalui Serangkaian Orasi Kemarin
Oleh: Nabila Natasha E.P & Najwa Ayu Difani
Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) pada Rabu (19/03) menggelar pernyataan sikap atas penolakan revisi Undang-Undang TNI yang dikhawatirkan berpotensi mengembalikan sejarah kelam dwifungsi ABRI saat masa Orde Baru. Dalam aksi yang digelar di kampus terpadu UII, perwakilan mahasiswa, dosen, dan masyarakat hadir menyerukan lantang untuk mengingatkan pentingnya daya tahan publik dalam memperjuangkan demokrasi.
“Kita punya sejarah kelam, sebelum reformasi, kita menjadi saksi. Ada banyak hal yang harus kita sesali, kita tidak ingin itu terulang kembali. Mulai dari terancamnya demokrasi, melemahnya supremasi sipil, potensi pelanggaran HAM, dan represi yang dilakukan militer.” Ujar Rektor UII, Fathul Wahid, Rabu (19/03).
Fathul Wahid juga menambahkan kampus sebagai rumah intelektual seharusnya menjaga moral publik. Pernyataan sikap ini diharapkan dapat disambut oleh kampus-kampus dan masyarakat sipil lainnya untuk menyuarakan pembatalan RUU TNI.
Aksi ini digelar sebagai respon penolakan terhadap revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang dinilai dilakukan secara tertutup dan eksklusif, sehingga mengabaikan prinsip partisipasi publik. Para orator aksi berulang kali menyoroti potensi adanya penyalahgunaan kekuasaan militer terhadap rakyat, terutama terkait pengisian kursi pada jabatan sipil, serta adanya ancaman terhadap supremasi sipil dan kembalinya terjadi kejadian reformasi 1998.
“Ini kepentingan siapa? Ini kepentingan sekelompok jenderal, sekelompok elit politik mengingatkan kita tentang apa yang terjadi di tahun 1965 ketika ada konflik politik”. Ujar Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, Masduki, Rabu (19/03). Di dalam orasinya, beliau turut menyoroti revisi yang tidak berprinsip demokrasi dikarenakan minimnya partisipasi publik dalam pembuatan regulasi, tidak adanya proses dialog antar eksekutif, dan penyelenggaraan revisi secara kilat di dalam hotel berbintang.
Pembacaan puisi berjudul “Kami Malu, Pak Dirman” karya Fathul Wahid oleh salah satu mahasiswa, puisi tersebut sukses menggambarkan ketakutan akan situasi yang dikhawatirkan terjadi. Ditambah dengan penggunaan pita hitam yang digunakan oleh seluruh partisipan mengisyaratkan hal darurat, Indonesia gelap. Demokrasi sudah mati.
Di penghujung acara, Eko Riyadi selaku direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Masduki direktur Pusat Studi dan Demokrasi UII, Dian Kus Pratiwi direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Fakultas Hukum UII membuat statement penutup. Penutupan diakhiri dengan suara nyaring kentongan yang menyerukan peringatan darurat.
“Pertama, kami menolak seluruh tahapan pembentukan revisi undang-undang yang abai terhadap partisipasi masyarakat yang memadai dan meminta tahapan dibuka kembali dari awal dimulai perumusan naskah yang memenuhi standar minimal. Kedua, menolak seluruh jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit militer aktif terutama jabatan sipil dalam hal penegakan hukum. Ketiga, menolak dengan keras intervensi militer aktif dalam penegakan hukum baik dari aspek kelembagaan maupun kewenangan.” Rabu (19/03).
Adapun lainnya, kami mewawancarai seorang mahasiswa HI yang memaparkan keresahan pribadinya atas “gebrakan” yang tengah terjadi di Indonesia. Hasil dari pernyataan sikap UII, menurutnya, dinilai telah memiliki pendirian yang jelas bahwa akademika dan mahasiswa menolak kebijakan yang merugikan masyarakat. Ia pun berharap partisipasi publik akan tetap bisa berjalan kedepannya dan suara masyarakat didengar.
Sebagai mahasiswa yang melihat semua penyelewengan ini terjadi, sudah bukan saatnya untuk duduk diam dan mengutuk dalam hati. Ini adalah momen yang penting untuk kita bergerak dan bersuara. Jangan sampai sejarah kelam kembali terulang! Demokrasi adalah hak kita!
Grafis : Indah Damayanti