Toleransi Sejak dalam Grup Whatsapp Keluarga

“Sekarang, musuh terbesar kita adalah grup Whatsapp keluarga,” ucap Ugo, serius. “WA group itu yang meneguhkan nilai-nilai tertentu dan jadi corong propaganda politik. Kalau tidak ada WA group keluarga, apa akan ada gerakan seperti aksi 212?”

Salah satu ucapan Ugoran Prosad, vokalis Melancolic Bitch yang dimuat di jurnalruang.com dalam wawancara album terbaru yang baru diluncurkannya, NKKBS Bagian Pertama atau Norma keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

Lagu-lagu dalam album tersebut lahir dari pengalaman para personil Melancholic Bitch yang sudah berkeluarga serta kesadaran mengenai “keluarga ideal” bikinan Orde Baru yang masih menghantui keluarga-keluarga di Indonesia. Keluarga merupakan unit politik terkecil, agen sejarah, dan menjadi penyebar sekaligus penegas propaganda negara. Ada politik emosi dan moralitas yang dimainkan dalam ruang keluarga, begitu kata Ugo.

Arman Dhani, jurnalis dan penulis di tirto.id dan mojok.co juga pernah bercerita tentang perdebatan dengan ibu dan keluarganya di grup Whatsapp keluarga. Saat mengisi materi mediatalk di BEM KMFT UGM ada peserta yang bertanya tentang bagaimana menangkal hoax di media sosial.

Lalu Dhani bercerita sejak ibunya menggunakan aplikasi Whatsapp, sering mendapat broadcast message copy paste dan salah satunya tentang “jutaan anggota PKI dari Cina yang akan dikirim oleh Jokowi”. Dhani membalas bahwa satu tiket pesawat dari Cina ke Indonesia saja sudah mahal apalagi membiayai jutaan orang serta menjelaskan bahwa informasi tersebut merupakan hoax.

“Loh tapi Ibu dapat informasi ini dari ustad di grup pengajian, masa ustad bohong?’ Dhani menirukan apa yang ibunya jawab. Sampai akhirnya Dhani membisukan percakapan grup Whatsapp keluarga selama satu tahun. Karena tidak pernah muncul di percakapan keluarga, Dhani malah mendapat pesan pribadi dari pamannya “kamu kok gak pernah muncul di grup WA, sudah merasa pintar kah?” Dhani menirukan pamannya.

Tak hanya Ugo dan Dhani, saya pernah setidaknya berdebat dengan paman di grup WA keluarga. Paman seringkali membagikan tautan informasi dari portal eramuslim.com atau portal-islam.id yang menurut saya media yang tak memenuhi elemen jurnalistik dan hanya mengejar click bait. Saya lalu membagikan infografis dari tirto.id tentang bagaimana kriteria orang yang mendapat hoax. Paman membalas dengan mengirim 3 video seorang “ustad” menjelaskan hoax dari media yang sama. Saya tak ingin melanjutkan.

 

Hoax dan sumber intoleransi

Persebaran informasi yang bermuatan dan mengarah ke arah intoleransi berkembang pesat melalui media sosial. Penelitian yang dilakukan International NGO Forum On Indonesia Development (INFID) yang bekerja sama dengan GUSDURian menemukan pada tahun 2016 ditemukan kurang lebih dari 90 ribu akun yang memuat pesan radikal dan ekstremisme dalam sebulan. Persebarannya melalui Twitter, Facebook, Instagram, telegram, Youtube.

Pada saat yang sama komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2016 tercatat 97 kasus intoleransi atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jumlah ini menigkat dari tahun 2014 sebanyak 76 kasus dan tahun 2015 sebanyak 87 kasus.

Akun-akun dan kasus-kasus intoleransi ini mungkin akan semakin meningkat di tahun-tahun politik mendatang. Kita sudah cukup tahu banyak politikus oportunis yang ingin mendulang suaranya melalui isu agama. Di lain pihak penggunaan isu agama menjadi komoditas untuk meraih keuntungan seperti kasus Saracen yang baru-baru ini tertangkap.

Pemilihan sumber informasi menentukan sikap seseorang dalam berargumen maupun menanggapi kondisi sosial. Kita cukup bisa mengetahui sikap seseorang dari informasi atau link yang dibagikan melalui laman media sosialnya. sikap tersebut terejawantahkah dalam perilaku sehari-hari, entah itu toleran ataupun tidak toleran.

 

Keluarga Adalah Pendidikan Pertama Seorang Anak

Sudah banyak penelitian yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat, akademisi, maupun pemerintah sampai mengadakan penyuluhan, pelatihan, atau

seminar untuk menangkal persebaran informasi yang mengandung ujaran kebencian maupun pencegahan sikap intoleransi. Namun, masih sedikit yang membicarakan bagaimana mengajari sikap toleran tersebut sejak dalam ruang keluarga.

Kita belum bisa bicara toleransi dalam skala negara apalagi hubungannya dengan sosial, ekonomi, dan politik jika belum mampu menerapkan sikap tersebut dalam pikiran dan mengaplikasikannya dalam ruang sosial pertama seorang manusia, yaitu keluarga. Kita belum siap mengatasi perbedaan antar tetangga jika perbedaan dalam ruang keluarga saja belum terselesaikan.

Dari keluarga kita mendapat ilmu pertama tentang agama, politik, sejarah, ekonomi dan pendidikan karakter. Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq, ibu adalah sekolah utama/pertama (bagi anaknya), bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik, begitu kata pepatah.

Orang tua, bapak dan terlebih ibu harus bisa menciptakan ruang demokrasi dan dialog terhadap anak-anaknya sebagai contoh penerapan sikap toleransi. Pemberian teladan merupakan sarana efektif dalam mendidik dan menanamkan karakter toleran terhadap anak.

Dengan adanya dialog, seorang anak dengan ibunya, istri dengan suaminya, atau anak dengan pamannya dapat menyaring setiap informasi yang didapat, mencari kebenarannya, lalu bersama-sama menciptakan keharmonisan dalam bersikap.

Sebagai contoh, Teuku Akbar Maulana (17 tahun), remaja yang sedang belajar di Turki tidak jadi bergabung dengan ISIS karena teringat dengan ibunya yang di rumah. Akbar sebelumnya diajak dan terinspirasi oleh Yazid, temannya satu asrama yang lebih dulu bergabung dengan ISIS. Akbar mengadu ke gurunya sambil menangis, lalu pulang ke Aceh menemui keluarganya. Adanya dialog akbar dengan ustadnya lalu ibunya membatalkan niat Akbar untuk bergabung dengan ISIS. Kisah nyata ini terekam dalam film dokumenter Jihad Selfie karya Noor Huda Ismail.

Tidak adanya dialog dalam ruang keluarga menyebabkan setiap individu saling menjauhi satu sama lain. Apalagi terdapat emosi dan moralitas dalam sebuah keluarga. Meskipun tujuannya baik, jika dalam pelaksanaannya terkesan memaksakan, yang dituju tidak akan mendapat apa-apa.

Sekarang, ruang keluarga tidak hanya terjadi di ruang tamu atau beranda rumah, melainkan di grup-grup media sosial, salah satunya grup Whatsapp Keluarga. Percakapan dalam grup biasanya memanas jika membahas isu-isu sensitif seperti agama dan politik, apalagi jika terdapat dua pihak yang berbeda. Pada titik inilah kita perlu dialog, kedewasaan, mendengarkan maupun memahami satu sama lain. Sehingga Whatsapp keluarga menjadi benar-benar keluarga dalam kehidupan nyata dan sarana paling pertama untuk menanamkan sikap toleransi. (Nurcholis Ma’arif)

 

 

*Penulis merupakan mahasiswa Kimia 2014 Universitas Islam Indonesia (UII), sedang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Himmah dan Komunitas Selasar Buku

 

Sumber:

https://jurnalruang.com/read/1508942178-trauma-irama-ugoran-prasad https://tirto.id/survei-pesan-intoleransi-bertebaran-di-media-sosial-cfeY https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2017/01/16/276/pada-2016-intoleransi-meningkat.html

 

Sumber gambar: http://bantentribun.id

One thought on “Toleransi Sejak dalam Grup Whatsapp Keluarga

  • Maret 8, 2018 pada 10:20 am
    Permalink

    Oke… dari pada kemeninfo memblokir Tumblr, lebih baik grup whatsapp keluarga saja yang diblokir.
    Karena sumber2 hoax salah satunya berawal dari grup whatsapp keluarga. Setuju nggak?

    Grup WA ini lebih banyak unfaedahnya daripada manfaatnya. Terlebih lagi bagi anak muda yang ‘terpaksa’ harus ikut masuk ke dalam grup. Mau ikut menimpali mesti sangat berhati-hati. Karena orangtua di sana cenderung baper. Mau ngomong atau komen apapun harus bener2 dijaga kalimatnya. Akibatnya, banyak yang silent rider. Nggak asyik! Beda kalau grup temen kantor atau temen2 akrab.

    Rasanya pingin muntah kalau ada salah satu anggota keluarga yang menyebarkan berita hoax atau lelucon jayus. Mau keluar dari grup pun sungkan. Sungguh dilema.

    Saya sendiri pernah punya kasus dengan salah satu anggota grup WA keluarga saya yang membuat geger anggota keluarga lainnya.

    Cukup sudah grup whatsapp keluarga BESAR dibuat, untuk apa? Nyambung silaturahmi? Yakin??

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *