Evakuasi Satwa pra-Bencana

Oleh Citra Mediant

“Manusia emang penting diselamatkan, tapi satwa juga penting diselamatkan saat sebelum dan saat bencana itu terjadi” Ramadhani, Animal Rescue.

Pagi itu (20/12) cerah cahaya matahari menjilat bumi begitu pula awan yang bergerak serempak tak terlalu ramai yang membuat merapi terlihat gahar menantang setiap mata yang menatapnya. Pukul delapan kami bersama empat relawan Animal Rescue bergerak menuju utara Kaliurang dari posko Centre of Orangutan Protection (COP) menuju ke utara.  Kami menumpangi mobil bak terbuka berisi tiga orang yaitu Ramadhani dan Relawan Animal Rescue, tak lupa dua orang lagi mengiringi dengan motor.

Di Yogyakarta, utara merupakan daerah menuju gunung merapi yang kini berstatus siaga tiga sejak awal bulan November. Sejak itu pula Dinas Peternakan mulai mensosialisasikan evakuasi dini untuk satwa ternak ke peternak sapi perah dan sapi potong di daerah radius 5 Kilometer (5 KM) puncak merapi ke tempat yang lebih aman salah satunya Dusun Kalitengah Lor yang kurang lebih hanya berjarak 3 KM dari puncak merapi.

Sepanjang perjalanan kami dan teman-teman Animal Rescue sibuk bercerita tentang apa saja, mulai dari pengalaman mereka menjadi relawan sampai soal pertama kali mereka membantu evakuasi hewan saat erupsi gunung kelud. Tak lupa sembari tertawa dan menyesap rokok kretek artisan.

Ramadhani yang sudah sepuluh tahun bergabung dengan COP sangat antusias meladeni perbincangan selama perjalanan, ia merupakan koordinator tim Animal Rescue yang bekerja sebagai lapis kedua dinas peternakan dalam evakuasi pra-bencana satwa ternak.

“Tiap hari kita gini mas, nanti di atas kita mindahin rumput yang diarit peternak ke Shelter “ ujar Dani sembari memegang erat stir mobil.

Mereka memainkan peran sebagai perpanjangan tangan peternak untuk memindahkan hasil aritanya ke Shelter (Tempat Pengungsian Satwa Ternak) guna meringankan beban peternak yang harus memfungsikan ternak mereka. Menurut Dani, sudah hampir setengah dari total seluruh petani mengungsikan ternak-ternak kesayangan mereka.

Shelter  satwa ternak terbagi di dua titik berbeda  yaitu Singlar dan Lapangan Banjarsari. Satwa ternak diungsikan sesuai klasifikasinya, sapi perah diungsikan ke Shelter Singlar sedangkan sapi potong diungsikan ke Shelter Banjarsari. Namun tak menutup kemungkinan adanya peternak yang mengungsikan ternak mereka ke rumah sanak saudara yang lokasinya tidak jauh dari dua shelter tersebut.

Shelter Singlar/ kognisia.co/ Redaksi

Hal tersebut dilakukan karena alasan mendasar yaitu perawatan ternak, sapi perah yang membutuhkan perawatan lebih intensif haruslah ditempatkan di kandang yang beralaskan semen agar aliran air MCK mereka tidak tergenang sedangkan sapi ternak hanya butuh teduh dan makan rerumputan dua kali sehari.

Belum sampai ke titik jemput pakan kami bertemu salah satu pegawai dinas peternakan yang sedang dalam perjalanan mengangkut pakan ternak ke Shelter. Saat itu juga Dani dan tiga orang relawan lain mengaktifkan Handy Talkie (HT) mereka guna memudahkan komunikasi juga menangkap sebaran sinyal aktifitas Merapi yang dipancarkan BPPTKG DIY.

Sejak awal terlibat dalam evakuasi satwa ternak, setiap hari mereka menuju ke utara dari pukul delapan hingga selesai. Tugas utama mereka adalah memindahkan pakan ternak, baik itu berupa rumput yang sudah diarit peternak, mineral juga konsentrat. Dalam satu hari biasanya mereka bisa dua kali menjemput pakan ternak bisa juga lebih tergantung kebutuhan.

Di sisi lain Dani juga menceritakan pengalaman mereka di sepekan pertama mengevakuasi satwa ternak. Mereka melakukan apa saja yang bisa lakukan, mulai dari membantu memasang listrik di shelter, mencari terpal untuk shelter banjarsari .

“Wah sepekan pertama kita bisa sampai sore keliling mas, soalnyakan evakuasi ini kaya nikahan. Masa iya manten yang nyari terpal dan lain-lain jadinya ya kita bantu apa yang bisa kita bantu.” ujar Dani ditutup dengan tawa.

Tak terasa, setelah tiga puluh menit berkendara kami tiba di titik penjemputan pertama yaitu Dusun Kalitengah Kidul. Peternak hafal dengan mereka sehingga membuat suasana semakin hangat setibanya kami di titik pertama. Peternak dan relawan mulai memindahkan rumput hasil aritan ke atas bak mobil. Sekitar tiga gunungan rumput dinaikkan di titik pertama.

Peternak/ kognisa.co/ Redaksi

Selang beberapa menit setelah semua pakan naik kami pindah ke titik kedua yang tak berapa jauh. Titik kedua berada di Joglo dusun Kalitengah Lor. Saat kami tiba sekitar enam orang peternak sudah menanti kedatangan relawan, sedikit basa-basi menanyakan kemana tujuan pakan itu lantas peternak dan relawan kompak memindahkan pakan ke atas bak mobil, sekitar lima gulungan rumput yang sudah diarit naik ke atas bak mobil. Tanpa berlama-lama kami bergerak ke titik berikutnya yaitu kawasan Bukit Klangon, di sana naik lagi tiga gulungan rumput yang membuat bak mobil bak gunung yang bisa berpindah.

Tak lama kami bergerak meniti turunan ke arah selatan, sampai ke shelter pertama yaitu Singlar. Setibanya di sana, kami bertemu seorang peternak yang sedang riuh dengan ternak-ternaknya. Sejenak kami bercakap soal ternaknya yang sedikit banyak ia lebih memilih ternaknya berada di rumah namun karena status merapi yang terus meningkat mau tidak mau ia harus mengevakuasi ternaknya. Tak hanya itu, ia juga mengeluhkan saluran Air yang  sering tidak mengalir dan harus meluangkan waktu lebih banyak untuk datang ke shelter dua kali dalam sehari.

Widya sebelumnya berpapasan dengan kami di jalan berada di tempat yang sama. Saat itu ia sedang asyik berbaring dan menyambut kami dengan candaan hangat, saat itu pula kami berbincang dengan Widya terkait evakuasi satwa ternak. Menurut hematnya, program evakuasi pra-bencana ini baru mendapat pengakuan pada tahun ini karena pembahasannya baru di mulai pada tahun 2012.

“Wah aku baru dua tahun di Dinas Peternakan mas, ya sejak 1986 lah” ujarnya sembari tersenyum lebar.

Widya yang sehari-hari bertugas di daerah sekitar shelter sudah sangat familiar dengan peternak, saat pertama kali status merapi diumumkan lewat SK Bupati, ia dan pihak terkait langsung mensosialisasikan evakuasi ternak. Saat itu terdapat beberapa hal yang berseberangan dengan peternak mulanya namun ia dan pihaknya berinisiasi untuk mengevakuasi ternak namun pakan-pakan untuk ternak tersebut tetap diambil sendiri oleh pemilik ternak juga terkait akomodasi pemindahan ternak yang akhirnya pihak dinas peternakan dan peternak menyepakati bahwa dinas menyediakan bahan bakar minyak dan peternak menyediakan alat transportasinya.

Sejak saat itu hingga 16 Desember 2020 sebanyak 39 satwa ternak jenis sapi pernah sudah mengungsi ke Shelter Singlar dan 13 Sapi Potong sudah mengungsi ke Shelter Banjarsari juga 5 (Lima) sapi perah mengungsi di kandang sanak-saudara peternak.

Wid mengamini apa yang disampaikan peternak bahwa shelter Singlar terkendala aliran air, yang mana aliran tersebut berasal dari mata air di daerah Klangon. Namun Pihaknya bersama Animal Rescue menyiasati dengan membeli air dari pemasok.

“Sejak awal memang di sini susah airnya dan sudah menjadi masalah” ujar Widya. 

Setelah berbincang dengan wid, peternak juga relawan di Shelter Singlar kami memutuskan untuk balik ke posko COP sekitar pukul 13:00. Perjalanan pulang yang memakan waktu kurang lebih 30 menit itu penuh dengan guyonan, kami juga menyempatkan singgah di Shelter Banjarsari dan berbincang sejenak dengan beberapa peternak.

Shelter Banjarsari/ kognisia.co/ Redaksi

Menurut hemat Dani, peternak silih berganti menjaga ternak mereka pada malam hari dan konsumsi mereka dipasok dari dapur umum pengungsian manusia yang berada di seberangnya . Secara tidak langsung peternak yang berjaga sembari mengurus ternak kelompoknya tidak perlu memusingkan pasokan konsumsi mereka.

Sesampainya di posko COP, Dani menyempatkan waktu untuk berbincang kembali dengan kami terkait evakuasi pra-bencana untuk Satwa. Beberapa relawan yang mengikuti kegiatan hari itu langsung mengambil posisi nyaman untuk merebahkan badan.

Dokumentasi/ kognisia.co/ Redaksi

Ia membuka pembicaraan dengan menceritakan pengalamannya saat membantu evakuasi satwa ternak saat erupsi gunung kelud, jawa timur. Saat itu ia sangat menyayangkan lambatnya evakuasi dan minimnya pendampingan peternak di sekitaran gunung kelud wabil karena tidak banyak satwa yang bisa diselamatkan namun relawan tetap mencari satwa yang masih bisa diselamatkan.

“Banyak satwa yang terpanggang, kami relawan selamatkan mana yang bisa diselamatkan terus buatkan kandang sementara dari terpal” ujar dani sembari mengingat peristiwa tersebut.

Dari dua minggu pertama kami terus keliling mendata satwa ternak sampai mendata beberapa dusun yang memiliki banyak satwa domestik; anjing, kucing. Namun menurutnya, selama satu bulan mengungsikan ternak sangat berpengaruh pada psikis peternak, ihwal tersebut terlihat dari beberapa peternak sudah memindahkan kembali ternaknya ke rumah.

“Secara aturan belum ada di Indonesia tim yang khusus menangani satwa” ujar Dani

Ketika ternak yang terpanggang itu tidak cepat ditangani kan jadi persoalan baru, bau dan bisa jadi penyakit. Ketika bencana terjadi kita menyelesaikan masalah yang akan datang, yang bisa diselamatkan kita rawat yang tidak bisa kita musnahkan.  Di sisi lain, ketika ternak-ternak tidak diselamatkan lebih dini, peternak semakin kehilangan harapan karena jika tidak ada harta benda mereka hilang, tinggal ternak yang menjadi harapan mereka.

Sejak peristiwa erupsi Merapi 2010 yang hampir 3000 satwa meregang nyawa banyak pihak yang, lantas peristiwa kelud hingga sinabung yang mana petani jeruk selama diungsikan tetap bersikeras untuk memberi makan anjing mereka yang sengaja ditinggalkan di lahan jeruk mereka. Sejak saat itu menurut hemat Dani, membagi koordinasi dengan teman-teman animal rescue untuk mengevakuasi satwa. 

**

Pnyunting: Zakiyyah Ainun

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *