Kekerasan Seksual: Masalah Bersama yang Tak Kunjung Selesai.

Lembaga Pers Mahasiswa, Kognisia 01/Agustus/2020 (Marhamah Ika Putri)

“Ketika kekuasaan budaya patriarki semakin melembaga, sistem komunikasi dan pertukaran gagasan semakin jauh dari pemeriksaan oleh orang awam dan menjadi urusan spesialis serta pakar. Itulah salah satu penyebab kesengsaraan manusia masa kini.” – Luce Irigaray.

Kekerasan seksual bukanlah masalah baru. Sudah dari waktu ke waktu hingga tahun silih berganti masalah ini seperti tidak berujung. Di Indonesia sendiri, kasus kekerasan seksual bukannya menurun namun malah semakin meningkat dengan angka yang cukup fantastis. Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) selama lima tahun terakhir menjadi bukti nyata betapa gawatnya masalah kekerasan seksual di Indonesia. Pada tahun 2015, Komnas Perempuan mencatat ada sekitar 321,752 kasus KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan), di tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 259,150 kasus, tahun 2017 kenaikan signifikan 348,446 kasus, lalu pada tahun 2018 mengalami kenaikan sebanyak 14% dari tahun sebelumnya, kemudian pada tahun 2019 terdapat total 431,471 kasus.

Dalam tulisan VOA Indonesia yang bertajuk “…dan Korban Kekerasan Seksual Terus Bertambah” pada (10/07/2020) sebanyak 110 kasus kekerasan seksual terjadi selama pembahasan tak berkesudahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). Lebih mengenaskannya lagi, selama pandemi corona berlangsung di Indonesia, terdapat ratusan kasus kekerasan seksual dialami oleh para perempuan dan anak-anak. 

Mariah Ulfa Anshor, seorang Komisioner Komnas Perempuan menuturkan selama pandemi corona, ada sebanyak 319 pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban mencapai 321 orang, sebanyak 340 kasus kekerasan terhadap anak-anak dengan jumlah korban sebanyak 378 orang dan korban didominasi dengan anak perempuan (274 korban) kemudian anak laki-laki (104 korban). Menurut Mariah, hal ini semakin menjadi sulit karena terbatasnya pelayanan ‘Rumah Aman’ yang ditujukan kepada para korban yang dibarengi dengan persyaratan yang rumit dikarenakan pandemi corona. Kendatipun, Rumah Aman tidak serta merta bisa dianggap sebagai tempat paling ‘aman’ dikarenakan akhir-akhir ini baru saja terungkap kasus bejat yang dilakukan oleh seorang relawan di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur yang dengan tega memperkosa kembali seorang anak berumur 13 tahun yang seharusnya dijaga dan menjadi sebuah amanat.

Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, Marwan Dasopang yang menyebutkan bahwa RUU PKS terlalu sulit. Ia menganggap, RUU PKS tidak akan sempat diselesaikan hingga Oktober 2020, jadi lebih baik tak usah dibahas sama sekali. Pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Marwan mencerminkan seakan-akan DPR tidak memiliki usaha untuk mewujudkan RUU-PKS menjadi Undang-Undang P-KS. 

Tentang Kekerasan Seksual dan Pelecehan Seksual.

Seiring dengan banyaknya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual, menyebabkan banyak istilah seperti “kekerasan seksual” dan “pelecehan seksual” sering digunakan. Hal ini sedikit menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan dari dua istilah tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini disertakan beberapa definisi dari kekerasan seksual dan pelecehan seksual yang telah dikemukakan oleh orang yang ahli di bidangnya.

Mengutip definisi kekerasan seksual pada Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, tanpa persetujuan karena ketimpangan kekuasaan, gender, atau sebab lainnya yang mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, dan lainnya. 

Sedangkan menurut, Kathleen C. Basile, dalam Sexual Violence Surveillance: Uniform Definition and Recommended Data Elements, versi kedua. Kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual yang dilakukan atau dicoba oleh orang lain tanpa secara bebas diberikan persetujuan dari korban atau terhadap seseorang yang tidak dapat menyetujui ataupun menolak. Ini termasuk penetrasi korban secara paksa menggunakan alkohol/obat-obatan; insiden yang dipaksakan atau alkohol/difasilitasi oleh narkoba dimana korban dibuat untuk menembus pelaku atau orang lain; penetrasi yang tidak diinginkan secara nonfisik; sentuhan seksual yang disengaja; atau tindakan non-kontak yang bersifat seksual. Kekerasan seksual juga dapat terjadi ketika pelaku melakukan pemaksaan terhadap korban untuk melakukan tindakan seksual dengan pihak ketiga. Kekerasan seksual melibatkan kurangnya persetujuan yang diberikan secara bebas serta situasi di mana korban tidak dapat menyetujui ataupun menolak. Kekerasan seksual berdampak pada setiap komunitas dan mempengaruhi orang dari semua jenis kelamin, orientasi seksual, dan usia — siapapun dapat mengalami atau melakukan kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual biasanya adalah seseorang yang dikenal oleh korban, seperti teman, mantan atau mantan pasangan intim, rekan kerja, tetangga, atau anggota keluarga.

Sedangkan menurut Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh KOMNAS Perempuan, pelecehan seksual, yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Dari The U.S. Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai tindakan ilegal untuk melecehkan seseorang (pelamar atau karyawan) karena jenis kelamin orang tersebut. Pelecehan dapat mencakup “pelecehan seksual” atau kenaikan seksual yang tidak diinginkan, permintaan bantuan seksual, dan pelecehan verbal atau fisik lainnya yang bersifat seksual. Namun, pelecehan tidak harus bersifat seksual, dan dapat mencakup komentar ofensif tentang jenis kelamin seseorang. Sebagai contoh, adalah ilegal untuk melecehkan seorang wanita dengan membuat komentar ofensif tentang wanita secara umum. Baik korban dan pelaku pelecehan dapat berupa perempuan atau laki-laki, dan korban dan pelaku pelecehan dapat berjenis kelamin sama. Pelecehan dapat berupa pengawas korban, pengawas di area lain, rekan kerja, atau seseorang yang bukan karyawan majikan, seperti klien atau pelanggan.

Terdapat 15 jenis bentuk kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan yang meliputi: perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Ke-15 bentuk kekerasan seksual ini bukanlah titik akhir dari jenis kekerasan seksual karena ada kemungkinan jenis kekerasan seksual yang lainnya namun terhambat oleh keterbatasan informasi.

Lalu, apa yang membedakan antara kekerasan seksual dan pelecehan seksual?

Mengutip dari KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan, sedangkan pelecehan seksual merupakan salah satu jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam berbagai konteks.

Lalu, mengapa kekerasan seksual penting untuk dibahas? mengutip pernyataan Riyanto, salah satu anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dari tulisan ekspresionline.com “Sex Education dan Polemiknya dengan Kekerasan Seksual”, kekerasan seksual menjadi sebuah kasus keadilan yang kompleks karena di dalamnya bukan hanya tentang pemerkosaan itu sendiri, akan tetapi dampak yang dirasakan oleh korban mengenai kondisi fisik dan psikis. Pada akhirnya, korban selalu menjadi pihak yang mengalami kerugian paling banyak, terlebih lagi saat ini di Indonesia belum ada instrumen hukum yang khusus sebagai pelindung dari pihak korban. Beberapa waktu lalu publik sempat dihebohkan dengan kasus Reynhard Sinaga, seorang pria kewarganegaraan Indonesia yang menjadi pelaku pemerkosaan terbesar dalam sejarah Inggris, yang semua korbannya merupakan laki-laki. Terkuaknya kasus Reynhard Sinaga membawa kita kembali ke dalam realita pahit jika kekerasan seksual tidak hanya bisa dialami oleh kaum hawa, namun kaum adam juga terancam sama besarnya. 

Indonesia dan Pendidikan Seksual

Di Indonesia sendiri, pembahasan mengenai hal yang berbau seksualitas masih dianggap tabu, apalagi oleh para orang tua yang mempunyai anak yang masih di bawah umur. Mereka beranggapan jika pengenalan mengenai pendidikan seks hanya berkaitan dengan informasi reproduksi dan hubungan seksual belum pantas diajarkan kepada anak-anak. Namun, pendidikan seksual bukan hanya sebatas itu. Banyak unsur yang mempengaruhi yang pada akhirnya memberikan edukasi kepada anak-anak untuk mampu memproteksi diri sendiri dan bertanggung jawab atas segala sesuatu hal yang berbau seksualitas. 

Menurut Ninawati & Handayani (2018) terdapat dua faktor yang menjadi alasan pentingnya pendidikan seks bagi anak, yaitu ketidakpahaman anak tentang pendidikan seks sehingga anak merasa tidak bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan reproduksinya dan peran lingkungan dan media yang menyajikan seks sebagai komoditi memicu terjadi hal-hal negatif seperti hubungan seks di luar nikah,penularan virus HIV, dan lain-lain.

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar & Mudzdaliffah (2012), perancangan dan pemrograman mengenai ‘pendidikan seks’ dapat meningkatkan kemampuan proteksi diri dari eksploitasi seksual pada anak usia dini. Pendidikan seks berguna untuk menjawab semua rasa penasaran dan pertanyaan yang muncul dari dalam diri anak-anak dengan pemberian informasi yang menyesuaikan dengan tingkat kematangan usia dari anak tersebut. Penelitian mereka juga mengatakan banyak anak-anak yang tidak menyadari bentuk perlakuan tidak senonoh yang mereka terima seperti meraba bagian pribadi merupakan hal yang tidak dibenarkan. Di usia tersebut, anak-anak tidak mengetahui jika perlakuan yang mereka terima adalah salah meskipun mereka merasa tidak nyaman ketika diperlakukan seperti itu. Selain itu, anak-anak merasa takut untuk melaporkan ke orang tua atau orang dewasa yang lainnya karena takut dianggap bohong atau diancam oleh pelaku yang bersangkutan. 

Pendidikan seksual kepada anak-anak bukan hanya mengajarkan cara berhubungan seks semata, melainkan lebih kepada upaya memberikan pemahaman anak sesuai dengan usianya, mengenai fungsi-fungsi alat seksual dan masalah naluri alamiah yang mulai timbul. Bimbingan mengenai penting menjaga dan melihat organ intim mereka, di samping juga memberikan pemahaman tentang perilaku pergaulan yang sehat serta resiko-resiko yang terjadi sangat penting bagi kaula muda dan anak-anak usia remaja (Ninawati & Handayani, 2018).

Maka dari itu, pendidikan kesehatan seksual merupakan hal yang penting untuk diberikan sedini mungkin kepada anak untuk membentuk karakter dan pola perilaku yang mampu menghindarkan mereka dari perilaku-perilaku yang beresiko terhadap kejadian kekerasan seksual maupun perilaku seksual menyimpang.

Setelah pemaparan dari temuan di lapangan dan realita menyedihkan mengenai permasalahan kekerasan seksual, lantas mengapa di Indonesia, permasalahan ini seperti tidak ada habisnya dan bahkan terkesan dianggap sepele? Padahal urgensinya sudah jelas terpampang secara nyata? 

Beberapa waktu silam, seorang penegak hukum melontarkan ucapan ‘seksis’ yang mempertanyakan perasaan seorang korban pemerkosaan ketika diperkosa menjadi cerminan nyata mengapa para korban enggan untuk bersuara tentang suatu pengalaman mengerikan yang dialami. Menyadur pernyataan dari Komnas Perempuan, selama 12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.

Sebuah tulisan yang diterbitkan oleh Kompas pada Sabtu (11/07/20) menjadi tamparan keras bagi kita semua. Kristi Poerwandari, dengan tulisannya bertajuk  “Kita Harus Merasa Malu” menyatakan kepedulian terhadap penanggulangan dan pencegahan kekerasan seksual masih sangat kecil, bahkan terkadang dijadikan sebuah lelucon dan meremehkan kejadian. Contoh segelintir anggapan remeh mengenai kasus kekerasan seksual bisa kita lihat dari pernyataan Kapolri yang sebelumnya telah disebutkan.

Apakah pantas ketika seseorang yang telah mengalami pengalaman traumatis yang akan membekas seumur hidup di dalam benaknya masih dipertanyakan, apakah ketika kejadian berlangsung korban merasa nyaman atau tidak? Jika merasa nyaman, berarti tidak termasuk dalam tindak pemerkosaan. Sesederhana itukah kasus kekerasan seksual dari kacamata negeri ini?

Di berbagai platform seperti Facebook ataupun Twitter, ketika kita menemukan sebuah postingan mengenai kekerasan seksual, sedikit banyak orang yang masih menyalahkan korban atas apa yang terjadi pada dirinya. ‘lo yang goda duluan kali?’, ‘yaelah gitu aja baperan, gak niat nyentuh paling’, ‘yakin itu dia menggoda? Mungkin emang gitu cara dia berteman’, ‘lha kalo ngerasa gak nyaman kenapa gak ngelawan?’. Pola pikir yang menyalahkan korban sangat berbahaya bagi kondisi psikis korban itu sendiri, dan sayangnya pola pikir yang tumbuh dari budaya seksis itu tumbuh, dan berkembang di masyarakat Indonesia.

Studi yang dilakukan oleh Dr. Anna Möller, seorang dokter OBGYN (obstetri dan ginekologi) di Rumah Sakit Umum Stockholm Selatan di Swedia menyebutkan jika ketika seseorang mengalami kekerasan seksual, merupakan hal yang umum bagi para korban untuk mengalami reaksi defensif bawaan yang membuat mereka lumpuh sementara. Dalam dunia psikologis ini disebut dengan “tonic immobility” atau jika kasusnya terjadi kepada hewan yang diserang oleh hewan lain, mereka akan melakukan trik “berpura-pura mati” untuk terhindar dan bertahan dari serangan predator lain, sebagaimana yang disampaikan Anna Möller dalam penelitiannya, namun ketika hal ini terjadi pada manusia, si ‘predator’ dalam hal ini orang yang melakukan kekerasan seksual, tidak akan berhenti meskipun korban tiba-tiba menjadi diam dan tidak memberikan respon apapun. 

Pada studi yang dilakukan di Klinik Darurat untuk Perempuan Perkosaan di Swedia antara Februari 2009 dan Desember 2011, para peneliti memberikan kuesioner ke 300 wanita yang berkunjung untuk mengetahui apakah para wanita mengalami tonic immobility pada saat mereka mengalami kekerasan seksual. Secara mengejutkan, 70 persen wanita mengaku mereka mengalami tonic immobility ketika mengalami kekerasan seksual dan 48 persen mengungkapkan mereka mengalami tonic immobility yang ekstrim.

Sedikit kilas balik,  beberapa waktu yang lalu rentan 2019 hingga awal 2020, terdapat beberapa kasus kekerasan seksual di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ternama di Indonesia terungkap setelah penyintas berani mengeluarkan suara mengenai pengalaman pahit yang mereka alami. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh terduga Ibrahim Malik (IM) yang merupakan seorang mahasiswa berprestasi dari Universitas Islam Indonesia. 

Terduga dikenal sebagai sosok religius dan menyandang gelar mahasiswa berprestasi pada zamannya, namun tidak disangka, ia memanfaatkan keistimewaan dan relasi kuasa yang ia miliki untuk mendekati dan menggaet perempuan-perempuan yang akan dijadikan target objektifikasi seksualnya. Dilalahnya masih banyak orang yang menyalahkan bahkan menganggap apa yang diadukan oleh penyintas tidak wajar. Dan sebab akibat perkembangan kasus, IM sampai sekarang masih menimbulkan banyak pertanyaan. IM yang saat ini sedang melanjutkan studi di salah satu Universitas ternama di negeri Kangguru masih leluasa berkeliaran ketika hampir 30 penyintas, dari terduga pelaku kekerasan seksual, IM mengalami pengalaman traumatis yang mengganggu kondisi psikis.

Pemaparan yang ada membawa kita pada sebuah konklusi, bahwa pelaku kekerasan seksual tidak semata-mata dilakukan oleh kelompok tertentu saja, akan tetapi seseorang dengan pencapaian prestasi yang luar biasa dan semua gelar yang terpatri di dirinya seperti terduga IM memiliki peluang untuk menjadi predator seksual. Normalisasi kekerasan seksual pada akhirnya membuat pelaku tidak pernah menerima ganjaran yang setimpal dibanding dengan apa yang akan dialami dan dijalani para korban dan penyintas.  

Lantas, seperti apa dampak yang ditimbulkan dari sebuah kasus kekerasan seksual?

Berbagai sumber menuliskan berbagai macam dampak yang timbul akibat kekerasan seksual. Mengutip dari tulisan Livescience sexual-harassment-health-effects” terdapat enam dampak berbahaya dari sekian banyak dampak buruk yang akan dialami oleh korban kekerasan seksual. Seseorang yang pernah mengalami pelecehan seksual rentan untuk mengalami depresi dalam jangka waktu yang lama, menurut Blackstone, dalam penelitiannya terhadap 1000 pemuda, dengan hasil orang-orang yang pernah mengalami pelecehan seksual rentan terhadap gejala depresi untuk para remaja dengan rentang umur 20-30 tahun. Depresi yang dialami bisa berubah menjadi sebuah rasa bersalah dan para korban mulai menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Selain itu, pelecehan seksual juga bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan stress pasca trauma (Post-traumatic stress disorder (PTSD)), menyebabkan tekanan darah tinggi, gangguan tidur, keinginan untuk bunuh diri, dan menyebabkan sakit nyeri dan fisik.

Penelitian yang dilakukan oleh Fu’ady (2011) menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi tidak sesederhana dampak psikologisnya. Korban (penyintas) akan diliputi perasaan dendam, marah, penuh kebencian yang tadinya ditujukan kepada orang yang melecehkannya dan kemudian menyebar kepada objek-objek atau orang-orang lain. Setelah mengalami kekerasan seksual berbagai macam penilaian terhadap masalah yang dialami subyek bermacam-macam muncul perasaan sedih, tidak nyaman, lelah, kesal dan bingung hingga rasa tidak berdaya muncul.

Secara umum, ada banyak jenis dampak kekerasan seksual yang terjadi kepada korban seperti dampak fisik, gangguan mental, emosi yang berubah-ubah, dan lain sebagainya. Untuk dampak fisik yang pada umumnya terjadi seperti, memar, pendarahan (vagina atau anal), kesulitan berjalan, rasa sakit, tulang patah atau terkilir, infeksi dan penyakit menular seksual dan kehamilan. Gangguan mental yang umum terjadi pada korban kekerasan seksual seperti, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) termasuk, kilas balik, mimpi buruk, kecemasan berat, pikiran yang tidak terkendali, depresi, termasuk kesedihan yang berkepanjangan, perasaan putus asa, lalu tangisan yang tidak dapat dijelaskan, penurunan atau penambahan berat badan, kehilangan energi atau minat dalam aktivitas yang sebelumnya dinikmati, pikiran atau upaya bunuh diri, disosiasi, termasuk tidak bisa fokus pada pekerjaan atau tugas sekolah, serta tidak merasa hadir dalam situasi sehari-hari. Kemudian, efek emosional yang timbul seperti mempunyai masalah kepercayaan, kemarahan dan menyalahkan, syok, mati rasa, kehilangan kendali, disorientasi, ketidakberdayaan, rasa kerentanan, takut, menyalahkan diri sendiri / bersalah karena ‘membiarkan’ kejahatan terjadi, dan merasa bahwa reaksi-reaksi ini adalah tanda kelemahan.

Pada akhirnya, kita sebagai orang bermoral dan berpendidikan harus merasa malu dengan apa yang telah terjadi, dan ini bukan hanya satu atau dua kasus, melainkan sudah mencapai angka ratusan bahkan jutaan kasus kekerasan seksual. Kekerasan seksual bukan hanya masalah per-individu ataupun kelompok dan golongan tertentu. Namun, kekerasan seksual merupakan masalah bersama dan bisa terjadi ke berbagai lapisan masyarakat, semua kalangan, berbagai rentang umur, perempuan atau laki-laki, tanpa terkecuali.

Adanya Rancangan Undang-Undang  Penghapusan – Kekerasan Seksual (RUU P-KS) seolah menjadi seberkas cahaya baru karena di dalamnya seluruh bentuk kekerasan seksual akan termasuk dalam bentuk kejahatan. Terlebih lagi, pada  Bab IV mengenai Pencegahan adanya wacana untuk menjadikan edukasi seks sebagai pembelajaran Pasal 6 ayat 1 dari poin a-c yang berbunyi: A. Memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. B. Menguatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik di pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi tentang materi penghapusan kekerasan seksual; dan. C. Menetapkan kebijakan penghapusan kekerasan seksual dalam lingkungan lembaga pendidikan.

Tetapi, apa mau dikata, pembahasan mengenai RUU P-KS telah dihentikan oleh pihak yang berwenang, predator seksual masih leluasa berkeliaran di luar sana. Entah sudah berapa banyak perempuan, anak-anak, laki-laki yang mengalami trauma, sakit fisik dan mental karena perlakuan tidak manusiawi yang mereka terima. Ketika beberapa negara seperti Prancis, Portugal, hingga Argentina menetapkan bersiul sebagai pelanggaran hukum, pemangku kebijakan kita malah sibuk sendiri dengan ihwal lain yang lebih menguntungkan untuk kepentingan pribadi mereka.

Ada baiknya saat ini kita mempertanyakan lagi rasa empati dan hati nurani kita masing-masing. Renungkan lagi, apa yang bisa diperbuat untuk setidaknya meminimalisir kasus ini, jangan sampai menunggu tiap hari headline berita yang muncul melulu mengenai kekerasan seksual. Jangan sampai hal itu terjadi. Adakan pendampingan khusus bagi para korban, adakan edukasi seks sejak dini kepada anak-anak kita. Karena, siapa lagi yang akan menjaga anak kita selain kita dan diri mereka sendiri? Terlebih ketika pandangan kita lepas dari anak-anak kita yang berkeliaran dengan leluasa sama seperti para predator kekerasan seksual. Kita tidak mau hal ini terjadi dan lebih banyak lagi korban.

“Lawan pandang-pandang yang merendahkan, bisikkan suara yang menjatuhkan, kita harus saling menguatkan” – Tashoora – Sintas.


Penyunting: Citra Mediant.


Daftar Rujukan

Adam, A. (2020, May 15) Dugaan Kasus Kekerasan Seksual di Balik Citra Baik, Ibrahim Malik.  https://tirto.id/dugaan-kasus-kekerasan-seksual-di-balik-citra-baik-ibrahim-malik-ftbQ. Indonesia. Diakses pada  27 Juli 2020,  pukul 20.20.

Adriansyah, A. (2020). Selama Pandemi Corona Perempuan dan Anak Paling Sering Mengalami Kekerasan Seksual. https://www.voaindonesia.com/a/selama-pandemi-corona-perempuan-dan-anak-paling-sering-mengalami-kekerasan-seksual/5432763.html. Indonesia. Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 05.00.

Alaidrus, F. (2019) Kekerasan Seksual adalah Problem Kita Semua. https://tirto.id/masalah-kekerasan-seksual-adalah-problem-kita-semua-dieG. Indonesia. Diakses pada 25 Juli, pukul 21.12.

Ainurrizki, A. N. (2019) Sex Education dan Polemiknya dengan Kekerasan Seksual. https://ekspresionline.com/2019/04/29/sex-education-dan-polemiknya-dengan-kekerasan-seksual/. Indonesia. Diakses pada 24 Juli 2020, pukul 20.45

Anna Möller, H. P. (2017). Tonic immobility during sexual assault – a common reaction predicting post-traumatic stress disorder and severe depression. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica, 932-938.

Banu, S. (2017, October 19). Ucapan Seksis Kapolri Bukti Kampanye #MeToo saja Belum Cukup buat  Indonesia. https://www.vice.com/id_id/article/ywbmj7/ucapan-seksis-kapolri-bukti-kampanye-metoo-saja-belum-cukup-buat-indonesia. Indonesia. Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 05.53.

Cempaka, M. (2020, Juli 8). Opini. Retrieved from VICE: https://www.vice.com/id_id/article/jgxj44/relawan-rumah-aman-lampung-perkosa-lagi-penyintas-pemerkosaan-bukti-urgensi-ruu-pks Diakses pada 28 Juli, pukul 7.30

Commision, U. E. (n.d.). Sexual Harassment. https://www.eeoc.gov/sexual-harassment. Amerika Serikat. Diakses pada 27 Juli 2020,  pukul 06.38.

Fu’ady, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. Indonesia. Jurnal Psikologi Islam (JPI), 191-208.

Foundation, J. H. (n.d.). Sexual Assault and Rape. http://www.joyfulheartfoundation.org/learn/sexual-assault-rape/effects-sexual-assault-and-rape. Spanyol. Diakses pada 26 Juli 2020, pukul 06.49.

Handayani, M. N. (2018) Pengaruh Pendidikan Seksual dalam Pembelajaran IPA Terhadap Perilaku Kekerasan Seksual. Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, 217-223.

Indonesia, B. (2017, October 19). Indonesia. Retrieved from BBC NEWS: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.05.

Indonesia, B. N. (2017, October 17). BBC News Indonesia. Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/indonesia/majalah-41635760 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.11.

Indonesia, C. (2018, November 26). Gaya Hidup. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20181126110630-284-349231/menguak-data-jumlah-kekerasan-perempuan-tahun-ke-tahun Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 21.56.

Kathleen C. Basile, S. G. (2014) Sexual Violence Surveillance: Uniform Definitions and Recommend Data Elements. Atlanta, Georgia: Centers for Disease Control and Prevention National Center for Injury Prevention and Control.

Komnas Perempuan. (2020, March 6). Catatan Tahunan. Retrieved from Komnas Perempuan: https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.55.

(2019, March 6). Catatan Tahunan. Retrieved from Komnas Perempuan: https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2019 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.55.

(2018, March 7). Catatan Tahunan. Retrieved from Komnas Perempuan: https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2018 DIakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.55.

(2017, March 7). Catatan Tahunan. Retrieved from Komnas Perempuan: https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2017 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.56.

(2016, March 7). Catatan Tahunan. Retrieved from Komnas Perempuan:https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-terhadap-perempuan-2016 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.56.

Miller, S. G. (2017, June 7). News. Retrieved from LIVESCIENCE: https://www.livescience.com/59388-sexual-assault-paralysis.html Diakses pada 26 Juli 2020, pukul 06.15.

Miller, S. G. (2016, October 13). News. Retrieved from LIVESCIENCE: https://www.livescience.com/56480-misconceptions-about-sexual-assault.html Diakses tanggal 26 Juli 2020, pukul 13.43.

Mudzdaliffah, Z. A. (2012). Program Pendidikan Seks Untuk Meningkatkan Proteksi Diri Dari Eksploitasi Seksual Pada Anak Usia Dini. Perspektif Ilmu Pendidikan.

Nathaniel, F. (2020, July 6). Politik. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/ruu-pks-bukan-perkara-sulit-tapi-dpr-tak-punya-kemauan-politik-fNwi Diakses tanggal 25 Juli 2020, pukul 22.39.

Pappas, S. (2011, February 18). News. Retrieved from LIVESCIENCE: https://www.livescience.com/12909-senator-scott-brown-male-sexual-abuse-stigma.html Diakses tanggal 27 Juli 2020, pukul 21.05.

Poerwandari, K. (2020, July 11). Opini. Retrieved from KOMPAS: https://kompas.id/baca/opini/2020/07/11/kita-harus-merasa-malu/ Diakses pada 27 Juli 2020,  pukul 19.50.

Rettner, R. (2011, November 9). News. Retrieved from LIVESCIENCE: https://www.livescience.com/16949-sexual-harassment-health-effects.html Diakses pada 26 Juli 2020, pukul 06.05.

Saraswati, P. W. (2016, November 24). Culture. Retrieved from VICE: https://www.vice.com/en_asia/article/vvgyxx/indonesia-needs-to-come-to-terms-with-its-rape-problem Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 06.03.

Susilo, E. N. (2020, Januari 11). BBC News Indonesia. Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51060249 Diakses pada 25 Juli 2020, pukul 22.59.

Tuasikal, R. (2020, July 10). Indonesia. Diambil kembali dari VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/dan-korban-kekerasan-seksual-terus-bertambah/5495785.html Diakses pada 22 Juli 2020, pukul 19.43.

 

3 thoughts on “Kekerasan Seksual: Masalah Bersama yang Tak Kunjung Selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *