Refleksi dalam Diri

Oleh: Dimas Aufaris Arkandi

Yunisa adalah wanita biasa dengan kehidupan yang terlihat stabil. Dua tahun lalu, ia lulus dari jurusan Psikologi dengan kebanggaan tertanam dalam hatinya. Kini, ia bekerja di PT Simon Jaya Jambikarta, perusahaan rekrutmen yang sibuk di ibu kota. Setelah memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya di Kulon Progo, Yunisa pindah ke Jakarta dengan harapan mengadu nasib di kota besar. Namun, di balik keseharian yang teratur itu, Yunisa menyimpan rasa gelisah yang tak pernah ia ungkapkan. Ada sebuah perasaan kosong yang terus-menerus menghantuinya.

Ketika Yunisa pertama kali pindah ke rumah barunya di pinggiran Jakarta, ia berharap lingkungan baru itu akan membantunya menemukan keseimbangan. Sebagai seseorang yang terbiasa menganalisis perilaku dan motivasi orang lain, ia terkadang kesulitan memahami motivasi diri sendiri. Namun, seperti kata orang, kita sering kali adalah konselor terburuk bagi diri kita sendiri.

Di Jakarta, Yunisa tidak sendirian. Ada Mujen, teman kuliahnya yang juga sama-sama merantau ke ibu kota. Mereka sering bertemu, terutama saat sama-sama merasa rindu kampung halaman. Mujen, yang berasal dari Banyumas, juga bekerja di Jakarta di bidang yang berbeda—di sebuah perusahaan teknologi yang sedang berkembang pesat. Setiap kali mereka bertemu, mereka berbagi cerita tentang kehidupan di kota besar, tentang mimpi-mimpi yang mereka kejar, dan ketidakpastian yang mereka rasakan.

“Kamu kadang merasa nggak sih, apa yang kita kejar ini beneran apa yang kita mau?” tanya Mujen pada suatu malam ketika mereka bertemu di sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan. Yunisa tersenyum tipis, seperti sudah menduga pembicaraan itu akan muncul.

 “Setiap hari,” jawab Yunisa sambil mengaduk kopinya yang sudah mulai dingin. “Tapi kadang aku nggak yakin jawabannya apa. Apakah ini benar-benar yang aku inginkan, atau cuma sesuatu yang harus kulakukan karena tuntutan hidup?”

Mujen tertawa kecil, “Itu juga yang aku rasain. Seperti ada beban yang nggak kelihatan. Orang tua di rumah berharap besar, tapi di sini… di sini semuanya nggak sejelas itu.”

Keduanya terdiam sejenak, membiarkan suasana kota Jakarta yang ramai menjadi latar belakang. Mereka tahu, meskipun mereka berjuang keras, ada sesuatu yang tetap terasa hilang—seperti rasa kesendirian yang tak bisa dihindari, bahkan di tengah keramaian kota.

Setiap kali Yunisa pulang dari pertemuan dengan Mujen, ia kembali merasa ada sesuatu yang aneh di rumahnya. Cermin besar di ruang tamu, yang pada awalnya hanya dianggap sebagai bagian dari dekorasi, kini menjadi pusat dari perhatiannya. Setiap kali ia melewatinya, ia merasa bayangannya tidak sekadar memantulkan dirinya, tapi seperti ada “diri” lain yang hidup di balik cermin itu.

Malam itu, saat ia pulang setelah perbincangan panjang dengan Mujen, rasa penasarannya mencapai puncak. Yunisa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan tatapan yang lebih dalam. Selama bertahun-tahun belajar tentang kepribadian dan alam bawah sadar, ia tahu bahwa cermin sering kali menjadi simbol dari refleksi diri yang lebih dalam—sesuatu yang memperlihatkan bukan hanya fisik, tapi juga apa yang tersembunyi di balik wajah yang terlihat. 

Di sinilah keanehan dimulai. Bayangan itu tidak mengikuti gerakannya. Yunisa tersentak mundur, menutup matanya, mencoba merasionalisasi apa yang baru saja dilihatnya.

“Ini hanya efek kelelahan,” bisiknya, seperti mantra yang diulang-ulang. Namun, ketika ia membuka matanya kembali, bayangan itu tetap berdiri di sana, menatapnya… tersenyum.

Sebagai seseorang yang terbiasa menganalisis perilaku, Yunisa tahu bahwa senyum itu bukanlah miliknya. Itu adalah senyum yang penuh ironi, seolah bayangan itu mengejek semua keputusan yang pernah ia buat.

“Aku adalah kau,” suara itu bergema di kepalanya, meskipun bibirnya sendiri tidak bergerak. “Tapi aku adalah kau yang sebenarnya.”

Yunisa menggeleng, berusaha memproses apa yang terjadi. Ia tahu betapa kuatnya sugesti mental. Mungkin ini hanya manifestasi dari konflik batin yang ia pendam, hasil dari stres pekerjaan dan ketidakpuasan hidup. “Kau hanyalah bayanganku,” katanya, mencoba meyakinkan diri.

Namun, bayangan itu tertawa. “Aku adalah dirimu yang kau sembunyikan selama ini. Aku adalah dirimu yang tak takut mengambil risiko, dirimu yang berani menghadapi kenyataan.”

Keesokan harinya, Yunisa menceritakan kejadian itu kepada Mujen. Namun, alih-alih meremehkan, Mujen malah tampak serius.

“Bisa jadi, Yun, itu bukan hanya cerminan fisik. Mungkin ada sesuatu yang kamu tolak selama ini, dan itu mulai muncul ke permukaan,” kata Mujen dengan nada analitis. Ia juga belajar Psikologi Dasar selama kuliah dan pembicaraan seperti ini terasa alami bagi mereka berdua.

“Aku tahu. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di belakang. Di Jakarta, aku seolah mengejar sesuatu yang… aku nggak yakin benar-benar aku inginkan,” kata Yunisa.

Percakapan dengan Mujen itu membuat Yunisa merenung. Apa yang sebenarnya ia cari di kota besar ini? Apakah semua pilihan yang ia buat sejak lulus kuliah benar-benar didasari oleh apa yang ia inginkan, atau hanya sekadar mengikuti arus? Bayangan di cermin itu seolah menjadi simbol dari kebimbangan dan ketidakpuasan yang selama ini ia tekan jauh di dalam dirinya.

Semakin Yunisa merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, semakin sering bayangan di cermin muncul dengan ekspresi yang berbeda. Kadang tersenyum, kadang marah, kadang bahkan terlihat seolah menangis. Yunisa mulai merasa terganggu, tapi juga merasa seolah ia tidak bisa berhenti memikirkan cermin itu.

Pada suatu malam, setelah pertemuan yang panjang dengan Mujen, Yunisa berdiri di depan cermin, siap untuk menghadapi bayangannya. Kali ini, ia tidak akan lari.

“Aku tahu apa yang kau inginkan,” katanya, menatap bayangannya dengan penuh keberanian. “Kau adalah diriku yang sebenarnya. Kau adalah semua keinginan dan impianku yang aku abaikan. Tapi sekarang, aku siap untuk mendengarkanmu.”

Bayangan itu tersenyum lagi, tapi kali ini bukan dengan ejekan. Senyumnya tampak tenang, seolah puas karena akhirnya Yunisa menyadari kebenaran di balik semua kebimbangannya.

Semakin Yunisa merenungkan pertanyaan-pertanyaan itu, semakin sering bayangan di cermin muncul dengan ekspresi yang berbeda. Kadang tersenyum, kadang marah, kadang bahkan terlihat seolah menangis. Yunisa mulai merasa terganggu, tapi juga merasa seolah ia tidak bisa berhenti memikirkan cermin itu.

Pada suatu malam, setelah pertemuan yang panjang dengan Mujen, Yunisa berdiri di depan cermin, siap untuk menghadapi bayangannya. Kali ini, ia tidak akan lari.

“Aku tahu apa yang kau inginkan,” katanya, menatap bayangannya dengan penuh keberanian. “Kau adalah diriku yang sebenarnya. Kau adalah semua keinginan dan impianku yang aku abaikan. Tapi sekarang, aku siap untuk mendengarkanmu.”

Namun, bukannya mereda, bayangan itu justru mulai berubah. Wajahnya yang sebelumnya tersenyum tipis kini berubah menjadi lebih menyeramkan—senyuman lebar yang semakin lama semakin mengerikan, seolah mengejek Yunisa. Mata bayangan itu menyala dengan intensitas yang membuat bulu kuduk Yunisa berdiri.

Kemudian, tanpa peringatan, bayangan itu bergerak. Tangannya menggapai, menyentuh permukaan cermin, dan… menembusnya. Bayangan itu benar-benar keluar dari cermin, dengan satu tangan yang dingin dan pucat meraih ke arah Yunisa.

 Yunisa terperangah, langkahnya mundur tanpa sadar. Napasnya tercekat, dan matanya melebar tak percaya. Ia ingin berteriak, tapi suara itu tertahan di tenggorokannya.

“Apa yang kau lakukan?!” Yunisa bergumam putus asa, namun bayangan itu terus mendekat, senyum jahat tak pernah pudar dari wajahnya. “Aku adalah dirimu yang kau buang,” bisik bayangan itu dengan suara yang bergema di kepala Yunisa. “Dan sekarang, aku akan mengambil alih.”

Yunisa tersentak, mencoba menepis tangan bayangan itu yang hampir menyentuhnya. Tapi semakin ia melawan, semakin kuat cengkeraman bayangan itu. Dingin merambat dari ujung jarinya, merasuki kulitnya, hingga akhirnya ia merasa beku. Kakinya tak mampu bergerak dan dunia sekitarnya mulai memudar, hanya menyisakan cermin dan sosok dirinya yang mengerikan. 

“Aku bukan kau!” Yunisa akhirnya berteriak, putus asa. “Aku bukan dirimu!”

Namun bayangan itu hanya tertawa, tawa yang terdengar seperti gema dari kedalaman yang tak terbayangkan. “Kau adalah aku. Dan aku akan selalu ada di sini, menunggu untuk menggantikanmu. Kau tak bisa lari dariku.”

Yunisa memejamkan mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Tapi ketika ia membuka matanya, bayangan itu sudah lenyap. Cermin di depannya tampak biasa lagi, tak ada tanda-tanda kehadiran sosok menyeramkan itu. Namun, Yunisa tahu, ini belum berakhir. Setiap kali ia menatap cermin, setiap kali ia merasa ragu, bayangan itu akan kembali… menunggu saat yang tepat untuk menguasainya.

Malam itu, Yunisa terjaga sepanjang malam, duduk di sudut kamarnya, tidak berani menatap cermin lagi. Sesuatu telah berubah, dan ia tahu, apa pun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama.


Tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak menjadi tanggung jawab redaksi Kognisia.

Penyunting: Paramitha Maharani

Grafis: Dhiya Shofia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *