Seri Diskusi Film II “Tanah Ibu Kami: Keterancaman Hak Perempuan dan Lingkungan”

Oleh Wahyu W. Syifa

“Rezim investasi yang sekarang ini sedang digalakkan oleh pemerintahan kita itu sebenarnya sedang membawa kita semuanya ke jurang kehancuran” Ujar Nur Hidayati 

Sebuah film  berjudul “Tanah Ibu Kami” yang digarap oleh The Gecko Project dan Mongabay menjadi topik pembahasan menarik di dalam seri diskusi film yang diselenggarakan oleh The Gecko Project, Mongabay Indonesia, WALHI, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jumat (29/01) Dibersamai oleh tiga perempuan yang mumpuni untuk mengupas mengenai keterancaman Hak Perempuan dan Lingkungan di Rezim Investasi, yaitu; Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Nur Hidayati sebagai Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Amalia selaku Ketua Pembina LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, dan seorang Jurnalis yang terjun langsung di dalam proses pembuatan film ini yaitu Febriana Firdaus. 

Secara singkat film ini menyajikan perjalanan Febriana Firdaus yang menyuguhkan pandangan mengenai konflik masyarakat dengan korporasi yang terjadi di penjuru Indonesia untuk menguasai sumber daya, berbagai upaya dilakukan oleh para wanita yang bangkit untuk menghadapi berbagai gerakan sosial pun menuai konsekuensi yang harus mereka hadapi. Seperti kekerasan, hukuman penjara, dan penghakiman dari masyarakat konservatif pada saat proses memperjuangkan hak-hak yang mereka miliki.

**

Sesi diskusi dimulai dengan moderator yang mempersilahkan Nur Hidayati sebagai pembicara pertama untuk menanggapi kondisi Indonesia saat ini. Berawal dari keresahan yang dirasakan Nur Hidayati atau yang akrab disapa Yaya dalam menghadapi realita mengenai investasi yang sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintahan saat ini. Tujuan dari dilakukannya investasi dinilai membawa malapetaka bagi rakyat Indonesia terutama para perempuan dan anak-anak yang berada dalam kelompok marginal. Namun hal tersebut justru berbanding terbalik dengan para penguasa elit yang justru sangat diuntungkan dengan banyaknya investasi yang sedang digalakkan. 

“Tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengembalikkan lagi, memperbaiki, atau membawa pemerintahan yang selama ini diberikan mandat oleh rakyat itu untuk kembali memberikan jaminan perlindungan sesuai dengan konstitusi”. tutur Yaya (29/01)

Ungkapan Yaya tersebut sebagai sebuah himbauan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia untuk ikut andil di dalam mewujudkan pemerintahan yang mampu untuk memberikan hak-hak rakyat berupa perlindungan sesuai dengan konstitusi, karena faktanya saat ini banyak para aparat negara yang juga merangkap menjadi seorang pebisnis yang berkecimpung di dalam berbagai sektor bisnis.

Yaya juga memberikan contoh mengenai hal tersebut, bahwa hampir separuh anggota DPR RI saat ini adalah pebisnis dan terafiliasi dengan seribu lebih perusahaan. Penjelasan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Defbry Margiansyah selaku peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner di dalam tulisan bertajuk Penelitian: 55 Persen Anggota DPR Pengusaha, Potensi Konflik Kepentingan Besar. Dituliskan oleh Athika Rahma melalui liputan6.com pada 09/10/20 bahwa total pebisnis meningkat menjadi 318 orang, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota DPR adalah pebisnis,sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik perusahaan dan 25 persen menduduki jabatan sebagai direktur atau wakil direktur. Kemudian 36 persen lainnya masih aktif di dalam melakukan kegiatan berusaha.

Dalam data yang dikumpulkan Defbry, secara sektoral, jumlah terbanyak berkecimpungnya para pebisnis berada di dalam sektor energi dan migas sebesar (15 persen) serta teknologi, industri, manufaktur, dan ritel sebesar (15 persen). Sisanya, tersebar di beberapa sektor lainnya seperti developer dan kontraktor (12 persen) sektor perkebunan, perikanan, dan peternakan sebesar (11 persen), keuangan dan perbankan sebesar (6 persen). Defbry melanjutkan bahwa 8 komisi dari 11 komisi DPR memiliki anggota dengan jumlah non-pebisnisnya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menduduki persentase pebisnis terbanyak yaitu sebesar 23 persen, lalu disusul oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar dengan jumlah persentase yang sama yaitu sebesar 16 persen. 

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Defbry, maka tidak heran jika pemerintahan saat ini disebut sebagai rezim investasi, karena banyaknya pebisnis dari berbagai latar belakang partai dan sektor yang menduduki posisi di dalam pemerintahan. 

**

Realitanya, rezim investasi tersebut dinilai merugikan para perempuan adat karena meminggirkan hak-hak ekonomi mereka “Peminggiran terhadap hak-hak ekonomi perempuan dan menciptakan perempuan menjadi tergantung kepada pihak yang lainnya dan hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan secara ekonomi.” Ujar Nur Amalia selaku Ketua Pembina LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta. 

Nur Amalia juga menjelaskan bahwa kekerasan ekonomi tersebut dipicu karena tingginya persentase investasi di bidang energi, minyak, dan gas yang berujung pada eksploitasi lahan-lahan adat, sehingga menyebabkan krisis lingkungan dan menjadikan perempuan-perempuan adat terpaksa untuk menggantungkan kondisi perekonomian mereka pada lahan-lahan yang sudah dialihkan kepada pihak lain, dengan begitu dapat meminggirkan hak-hak ekonomi bagi perempuan. 

Rukka Sihombing menanggapi dengan memberikan saran kepada anak muda untuk meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis, menanamkan budaya membaca, membiasakan diri untuk mempertanyakan statement mengenai hal-hal yang ada di sosial media, mengikuti forum diskusi, menonton dan membaca dari sumber-sumber yang kredibel, dan menumbuhkan rasa solidaritas. Sikap solidaritas dapat menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk berusaha mengesahkan RUU PKS, RUU Masyarakat adat.

**

Penyunting: Rayhana A. Amalia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *