Pekerja – Pekerja Itu Berasal dari Dunia Pendidikan

Oleh Rayhana Arfa A.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya dalam artikel berjudul “Apakah Ada Manusia di dalam Sistem Pendidikan Saat Ini”, pendidikan saat ini cenderung menunjukkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja. Hal ini rupanya tidak hanya disetujui oleh Ben saja, tetapi juga masyarakat pada umumnya.

Pendidikan juga menjadi bahan perbincangan yang hangat belakangan ini, wabil khusus soal tujuan pendidikan . Dalam memperingati hari Pendidikan, Gamapi X MAP Corner Senin lalu (3/5/21) menyelenggarakan diskusi terbuka dengan judul, “Apakah Pendidikan Hanya untuk Mencetak Tenaga Kerja?”. Diskusi itu mengundang dua pembicara, yaitu Muhtar Habibi dan Joko Susilo

Habibi menyampaikan hasil survei di Amerika yang mengatakan saat ini banyak responden setuju bahwa tujuan pendidikan hanya untuk mencetak tenaga kerja. Mengapa hal ini bisa terjadi padahal tujuan pendidikan secara tertulis masih multidimensional. 

Undang-undang no.20 tahun 2003 bab 2 pasal 3 tertulis fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lalu mengapa saat ini masyarakat cenderung merasakan bahwa tujuan pendidikan adalah hanya sekedar untuk mencetak tenaga kerja? Habibi menyampaikan beberapa faktor penyebab hal ini terjadi.

Kondisi pekerja di Indonesia menjadi salah satu faktor mengapa tujuan pendidikan bergeser sebab tingginya pengangguran terselubung. Pengangguran terselubung ini berbeda dengan pengangguran terbuka (orang yang benar-benar menganggur). Mereka adalah orang yang bekerja di bawah jam kerja normal, yaitu di bawah 35 jam perminggu.

Data yang disampaikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada Agustus 2020 lalu, mengatakan bahwa pengangguran terselubung berjumlah sekitar 46,4 juta atau sekitar 33% dari total angkatan kerja di Indonesia dan pengangguran terbuka sekitar 7,07%. Jika keduanya dijumlahkan maka 40% dari keseluruhan angkatan kerja di Indonesia adalah pengangguran.

Selain tingginya tingkat pengangguran, banyak juga pekerja yang bekerja di sektor informal. “Jadi sekitar 50% lebih sedikit itu, pekerja kita itu adalah pekerja informal,” jelas Habibi dalam diskusi terbuka (3/5/21). Pekerja informal adalah mereka yang tidak memiliki kontrak kerja sehingga tidak mempunyai payung hukum, tidak mendapatkan jaminan sosial, tidak dilindungi negara, dan tidak berhak memperoleh upah minimum karena tidak diatur undang-undang ketenagakerjaan. Contoh dari pekerja informal sendiri seperti buruh-buruh petani, kuli bangunan, dan pekerjaan lain yang tidak diregulasi oleh negara.

Banyaknya jumlah pekerja informal ini membuat orang berlomba-lomba untuk pindah ke sektor formal bahkan, banyak orang rela mengantri dan membayar untuk bekerja di sektor formal. Namun pada kenyataannya bekerja di sektor formal juga tidak terlalu baik karena memiliki ancaman untuk di-PHK (Putus Hubungan Kerja) sewaktu-waktu.

Ancaman ini sangat familiar terutama bagi pekerja kerah biru, yang mengandalkan tenaga manual dan biasanya hanya lulusan SMA. Selain itu, kondisi menjadi semakin buruk karena menurut data BPS pada Agustus 2020, terdapat 48% pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum yang sudah ditentukan pemerintah.

Kondisi pekerjaan yang seperti ini membuat orang semakin berlomba-lomba mencari dan mendapatkan pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi serta lingkungan yang memadai. Sebelum itu mereka akan bersekolah untuk mendapatkan predikat dan pengakuan bahwa sudah layak untuk dapat bekerja di suatu sektor.

Faktor lain dilihat dari bagaimana cara pemerintah merespon masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Hal pertama yang bisa dilihat adalah dari bidang pertanian. Sejak tahun 80-an, pemerintah mengurangi subsidi bantuan untuk petani karena tidak adanya sumber daya. Berkurangnya subsidi mengakibatkan petani menjadi semakin malas untuk bertani dan memilih pindah ke sektor bangunan di pedesaan atau pergi ke kota. Hal ini juga terjadi mereka digusur untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Namun kenyataannya ketika tiba di kota, pekerjaan yang ada tidak mampu menampung semua orang yang terlempar dari sektor pertanian. Mereka pun berakhir dengan bekerja dimana-dimana dalam sektor jasa, seperti tukang potong rambut, tambal ban, dan lain sebagainya.

Selain itu, saat ini pemerintah membutuhkan tenaga kerja yang murah tetapi juga yang mumpuni, kompeten, dan punya keahlian yang lebih dalam untuk mensuplai kebutuhan industri.

“Itulah logika link and match sekolah dan industri itu mendapatkan logikanya disitu, jadi investor harus dilayani demi tadi ya,” ujar Habibi.

Mahalnya Biaya Pendidikan Tinggi dan Minim Dukungan

Namun saat ini keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sarjana menjadi semakin sulit karena beberapa hal dan hal yang paling umum dipermasalahkan adalah tingginya biaya pendidikan. Hal ini berhubungan dengan pengurangan materi pada sektor pendidikan yang kemudian berimplikasi pada kenaikan biaya pendidikan yang sangat signifikan. Jumlah orang yang dapat masuk ke kampus menjadi berkurang dan 62% dari populasi mahasiswa saat ini adalah dari kuartil terkaya. Sedangkan kuartil termiskin dari keseluruhan hanya 2%.

Implikasi lainnya adalah adanya reformasi ulang struktur akademik di kampus yang mengakibatkan kenaikan UKT, pembatasan studi, serta menjadikan mekanisme semacam pemagangan menjadi produk untuk mendapat tenaga kerja murah.

Annisa dalam artikelnya berpendapat bahwa selama ini pemerintah terlalu membebankan anak muda di Indonesia untuk mencari cara sendiri bertahan hidup di tengah dukungan negara yang minim. Sebab, jikalau pemerintah memang menginginkan banyak anak muda sukses terutama dalam start-up, seharusnya pemilik usaha muda mendapat dukungan sepenuhnya karena saat pandemi ini, 68% anak mudah berwirausaha belum menerima bantuan pemerintah dan 80% akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan pada keluarga dan teman.

Ketika hal ini terus berlanjut maka pemerintah sudah membiarkan anak muda untuk hidup dalam ‘politik bertahan hidup’ yang menganggap ketidakpastian hidup, pekerjaan, dan masa depan adalah hal yang biasa. Selain itu, politik bertahan hidup juga membenarkan krisis-krisis yang menimpa kehidupan anak muda Indonesia. Politik ini menguatkan bahwa anak muda harus selalu mencari solusinya sendiri tanpa mengharapkan bantuan atau kebijakan pemerintah. Hal terburuknya adalah anak muda yang memutuskan untuk bersuara dan turun ke jalan supaya didengar pemerintah justru dianggap tidak pantas.

Sedangkan seharusnya pemerintah sendiri dapat menanggapi dengan serius masalah-masalah yang terjadi di kalangan anak muda, beberapa di antaranya dengan memberi tempat untuk berpikir, berpartisipasi, dan mengambil keputusan dalam kehidupan bernegara. Selain itu, perbaikan akses dan kualitas pendidikan tinggi juga harus menjadi sorotan penting untuk diperbaiki.


Penyunting: Citra Mediant

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *