Pers Mahasiswa: Antara Resistensi Politik dan Krisis Eksistensial

 

Oleh: K.A. Sulkhan

Kisah-kisah gerakan mahasiswa dengan berbagai dinamika historisnya selalu dinarasikan dengan romantis dan mendayu-dayu, layaknya sebuah roman. Perjuangan berdarah-darah menentang kelaliman penguasa atas nama rakyat, pertarungan wacana politik nasional, dan upaya melawan setiap penindasan struktural pemerintah, merupakan serangkaian cerita heroik yang terus-menerus digaungkan. Narasi yang seolah tak pernah lekang dari telinga siapapun yang menyandang status anak kuliahan, terutama mereka-mereka yang berkecimpung di dunia gerakan. Tak heran bila kisah-kisah kebesaran mahasiswa yang terus dinarasikan ini secara sadar atau tidak kemudian membentuk suatu mitologisasi gerakan mahasiswa: sekelompok intelektual muda yang idealis dan tanpa kepentingan kecuali demi rakyat.

Di antara deretan kisah romantis perjuangan mahasiswa dan berbagai mitosnya itu, sosok pers mahasiswa, di mata penulis, memiliki narasi tersendiri yang menarik sekaligus membuat bergidik. Mengutip penuturan Eko Prasetyo, penulis trilogi Orang Miskin Dilarang Sakit, pers mahasiswa dulu selalu punya ambisi yang gila; membongkar seluruh persoalan dengan tujuan heboh. Memberantas segala ketimpangan dan ketidakadilan. Layaknya misi dalam kitab suci: menciptakan sebuah dunia tanpa kejahatan sama sekali. Suatu kemustahilan yang justru menjadi terasa nikmat untuk diperjuangkan. Pers mahasiswa sadar, mereka tak punya kekuatan materil dan personil sebesar pers umum. Namun, mereka tetap menghadirkan wacana mereka dalam karya-karya tulis di medianya, tak banyak dan tak sering tetapi konsisten.

Tapi kini, selain menghadapi masifnya pemberitaan pers umum, pers mahasiswa juga mengalami berbagai permasalahan dilematis terkait keberadaannya sendiri. Keterbatasan dana untuk penerbitan, tuntutan perkuliahan yang makin ketat, masih belum bisa memanfaatkan media daring dengan maksimal, diabaikan oleh komunitas civitas acadimca-nya, dan resistensi politik yang kadangkala masih abu-abu.

Wisnu Prasetyo Utomo, dalam buku Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan (2010), mengatakan kegamangan pers mahasiswa ini bermula usai lengsernya Soeharto pada tahun 1998 yang menjadi momentum bangkitnya era demokratisasi di Indonesia. Era yang justru kemudian membawa pers mahasiswa tiba pada postcriptum yang menggelisahkan. Bagaimana tidak? Saat kran kebebasan dibuka selebar-lebarnya, pers umum yang ketika di era pemerintahan soeharto dibungkam secara militeristik perlahan mulai menampakkan wajah mereka. Bagaikan hujan sehari yang menghapus musim kemarau panjang, setelah puluhan tahun lamanya hidup dalam bayang-bayang pembredelan dan penindasan, pers umum akhirnya kembali mendapat keberaniannya untuk menyiarkan berita-berita yang sensitif secara masif. Akibatnya, pers mahasiswa yang semasa orde baru mendapat tempat sebagai media alternatif di masyarakat perlahan mulai teralienasi dari panggung sosial.

Situasi tersebut membuat organisasi nasional pers mahasiswa seluruh Indonesia, PPMI, sampai mengalami kegalauan identitas yang berujung perpecahan. Pada akhirnya, pers mahasiswa menerima gagasan “back to campus” yang mengakibatkan pergeseran orientasi pemberitaan dari state centric menjadi campus centric. Konsekuensinya, pemberitaan-pemberitaan seputar kerusakan toilet, naiknya akreditasi prodi baru, terbengkalainya komputer mahasiswa, sampai pada keresahan lahan parkir dan berita-berita mengenai kampus lainnya mulai mendominasi konten pers mahasiswa. Isu-isu nasional atau bahkan isu kekerasan struktural yang selama orde lama dan orde baru terus dilawan oleh pers mahasiswa pun lama kelamaan menjadi isu yang sifatnya diskusi sampingan jika tidak bisa dikatakan tidak dikaji sama sekali.

Padahal, menurut Amir Effendi Siregar, dalam buku Pers Mahasiswa Patah Tumbuh Hilang Berganti   (1983), kondisi di negera ini berbeda dengan kondisi di negara maju. Jika di sana pers mahasiswa secara pure menjadi community paper yang tidak perlu mengurusi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Maka lain halnya dengan mahasiswa di Indonesia, yang sebagai kaum intelegensia, sejak masih menuntut ilmu sudah dituntut sumbangan pikiran, kepandaian, pengetahuan dan pertimbangannya. Sumbangsih pemikiran tersebut lantas dimanifestasikan dalam tulisan-tulisan yang diedarkan tidak hanya kepada komunitas civitas academica tetapi juga masyarakat secara umum.

Dengan kata lain, sebagai insan pers mahasiswa Indonesia, memang seharusnya kita tidak melulu mengulik berita-berita kampus saja. Meski hal itu memang penting, namun isu-isu yang menyangkut rakyat dan negara juga perlu mendapat tempat perhatian. Pada titik ini, pers mahasiswa harus menunjukkan resistensi politiknya dengan jelas sebagai langkah ideologis dalam menentukan sikap agar tidak terjadi krisis eksisntensial pada dirinya. Untuk itu, menurut penulis, siapapun yang menyandang status sebagai anggota pers mahasiswa harus menyadari dan memahami bahwa mereka merupakan bagian dari estafet sejarah yang dinarasikan secara romantis dan, kadangkala, menggebu-gebu.

WARISAN SEJARAH PERLAWANAN

Satrio Arismunandar (2012) , anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam makalahnya mengenai Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa, mengemukakan cikal bakal eksistensi pers mahasiswa yang dimulai pada tahun 1924. Ketika itu Perhimpoenan Indonesia di Nederland menerbitkan majalah Indonesia Merdeka yang sebenarnya merupakan nama baru dari Hindia Poetra, majalah terbitan Indische Vereeniging (nama organisasi perhimpoenan Indonesia yang pertama), atau perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang melakukan studi di Belanda. Waktu itu organisasi yang dimotori oleh Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Nazir Datoek Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo dan sejumlah tokoh pemuda lainnya ini menunjukkan sikapnya dengan jelas. Yakni menuntut Indonesia merdeka dari tangan kolonial.

Semangat perlawanan semacam ini juga tampak pada masa orde lama, ketika Sukarno di era demokrasi terpimpinnya mulai mengultimatum semua pers di Indonesia agar tidak bersikap netral. Semua perusahaan pers harus berafiliasi dengan Sukarno karena bila tidak, perusahaan pers tersebut akan dituduh sebagai pendukung kekuatan-kekuatan konservatif yang antikomunis dan Sukarno. Demi mendapat legitimasi atas perlakuannya itu, Sukarno mengeluarkan Pedoman Penguasa Perang Tertinggi untuk Pers Indonesia pada tahun 1960 yang isinya mewajibkan semua pers Indonesia untuk mendukung, membela, dan menyebarkan Manifesto Politik Sukarno, pers mahasiswa tidak terkecuali. Tentu saja, kebijakan Soekarno ini mendapat perlawanan dari pers mahasiswa Indonesia yang bernaung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

Singkat cerita, IPMI kemudian menerbitkan surat kabar mahasiswa bernama Harian KAMI yang kemudian bersamaan dengan itu, lahirlah media-media pers mahasiswa lainnya yang menyatakan diri sebagai anggota IPMI. Media-media pers mahasiswa tersebut diantaranya ialah Mahasiswa Indonesia (Jakarta, Bandung, Yogyakarta), Mimbar Demokrasi (Bandung), serta Muhibbah (Yogyakarta) dan masih banyak yang lainnya.

Semua media mahasiswa ini kompak menyerang dan hendak menjatuhkan pemerintahan Sukarno yang menurut mereka semakin otoriter. Bahkan kemudian beberapa media, seperti Harian KAMI, mahasiswa Indonesia, dan Mimbar Dakwah berkolaborasi dengan para aktor orde baru. Seperti dicatat oleh Francois Raillon (1985), dalam buku Politik dan Ideologi Mahasiswanya, mereka (Para pers mahasiswa) percaya jika modernisasi, reformasi, dan keberhasilan pelaksanaannya hanya mungkin dilaksanakan dalam rezim Orde Baru. Karenanya, pers mahasiswa kemudian mengambil peran penting dalam mendukung ide-ide modernisasi yang dibawa oleh rezim baru tersebut. Railon, masih dalam tulisannya, mengatakan ada tiga tingkat peran Mahasiswa Indonesia dalam konsolidasi pembentukan Orde Baru yaitu politik, ideologi dan kritik. Dengan cara itu, pers mahasiswa mula-mula berusaha menjadikan orde lama sebagai raison d’ etre Orde Baru. Hal ini berlangsung hingga sang proklamator turun dari tahtanya.

Alih-alih menjemput kebebasan berekspresi pasca turunnya Sukarno, Pers mahasiswa  justru malah memasuki atmosfir represif penguasa yang tak kalah menindasnya. Hubungan romantisme historis antara pers mahasiswa dengan orde baru segera berubah menjadi cinta dan benci tatakala rezim yang digenggam Soeharto ini melakukan berbagai upaya demi menumpas kekuatan-kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Pembredelan terhadap media-media pers mahasiswa yang berani mengkritik internal orde baru menjadi salah satu agenda vital demi tegaknya rezim berdarah itu.

Bagi orde baru, pers mahasiswa adalah bahaya laten. Sebab orde baru melihat presentase pemberitaan politik dari pers mahasiswa yang cukup besar ketika masih berkongsi menjatuhkan orde lama. Dikatakan dalam tulisan Wisnu, bahwa  Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, dan Mimbar Demokrasi memiliki porsi berita politk lebih dari 60%. Karenanya mereka harus ditumpulkan dengan beragam cara. Di samping itu, sejumlah pers mahasiswa juga sudah mulai berani melayangkan kritik terhadap internal orde baru. Ketika gagasan “Back To Campus” dihadirkan oleh pemerintah, pers mahasiswa pun di desak untuk kembali menjadi pemuda-pemudi yang menulis di balik sekat-sekat perkuliahan. Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai melakukan upaya-upaya korporatis dengan membentuk Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia (BKSPMI) pada tahun 1969 yang membawahi penerbitan-penerbitan kampus di bawah struktur Dewan Mahasiswa.  Terbentuknya badan ini dinilai mengerdilkan IPMI yang sejak awal merupakan representasi suara pers mahasiswa. Tak kuasa melawan pengerdilan yang terus-menerus dilakukan orde baru serta memikirkan kembali posisi dilematisnya sebagai mahasiswa, maka pada kongres tahun 1971 , IPMI menginstruksikan kepada seluruh Pers Mahasiswa untuk back to campus. Tidak menyentuh berita-berita politik nasional sama sekali.

Barulah pada tahun 1985 pers mahasiswa akhirnya menunjukkan kebangkitannya kembali. Bersama dengan lahirnya sejumlah media pers mahasiswa baru seperti Akademika (UNUD Bali), Balairung (UGM Yogyakarta), Sketsa (Unsoed Purwokerto) dan lain sebagainya. Pada periode ini, pers mahasiswa tidak lagi menggunakan tulisan-tulisan yang kritis-emosional akan tetapi lebih beraroma kritis-konseptual yang kaya akan nuansa intelektualitas. Wacana-wacana akademis dihadirkan dalam tulisannya sebagai strategi untuk melakukan konfrontasi langsung terhadap penguasa. Pada periode ini pula, seperti dalam tulisan Wisnu, pers mahasiswa menunjukkan keprogresifannya dengan menginisiasi konsolidasi-konsolidasi tingkat nasional. Dilahirkannya semangat IPMI dalam wujud Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menjadi salah satunya.

Perlawanan demi perlawanan melalui pertarungan wacana politik terus dihadirkan oleh pers mahasiswa, sikapnya jelas; melawan kediktatoran rezim Soeharto. Karena itu ada tiga peran pers mahasiswa dalam gerakan menentang Soeharto ini yang dicatat oleh Satrio Arismunandar   (2005). Pertama, peran pemberi informasi, sosialiasi, dan edukator. Dalam kondisi ini hubungan pers mahasiswa dengan gerakan mahasiswa relaitf setara meski kurang akrab. Kedua, peran inspirator, motivator, provokator, dan korektor. Di sini pers mahasiswa memiliki pengaruh besar terhadap gerakan mahasiswa, bahkan lebih besar dari pers umum. Ketiga, peran mediator, wahana debat, diskusi dan integrasi. Hubungan saling pengaruh pada titik ini jauh lebih akrab dan informal.

Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dari tampuk kekusaannya. Pers mahasiswa boleh dibilang telah menunaikan tugasnya dengan baik. Bahkan, menurut Wisnu Prasetyo Utomo, mingguan Time menyebut pers mahasiswa sebagai “pendukung yang tidak terduga” bagi gerakan-gerakan prodemokrasi.  Pers mahasiswa dianggap salah satu aktor, behind the scene, dibalik turunnya penguasa yang telah melakukan genosida sepanjang pemerintahannya itu.

Apa yang dapat kita pelajari dari pers mahasiswa pada kisah-kisah romantisme historisnya ini ialah, bahwa mereka, dalam setiap konteks jamannya, selalu menunjukkan resistensi politik yang tegas. Sikap mereka jelas, keberpihakan mereka tak abu-abu: Melawan siapapun yang mereka anggap sebagai Aktor Ketidakadilan.

DI AMBANG KRISIS EKSISTENSIAL

Babak baru pers mahasiswa dimulai pasca reformasi 1998. Ketika kebebasan pers akhirnya terbuka lebar, libido jurnalistik pers umum yang sempat terkekang di masa orde baru pun merembus keluar, tak tertahankan. Pers mahasiswa yang di masa orde lama hingga orde baru memiliki peran besar sebagai media alternatif masyarakat akhirnya dilingkupi mendung yang kelabu. Susahnya menerbitkan media, ditinggalkan oleh pembacanya, tidak lagi dilirik oleh komunitas civitas academica-nya, serta tak mampu lagi bersaing dengan profesionalitas pers umum dalam memberitakan isu politik nasional, menggiring pers mahasiswa pada kegalauan identitas dan bahkan , seperti kata Eka Suryana Saputra (2009), kehilangan kesadaran eksistensial yang selama ini menjadi landasan bergeraknya.  Dengan kata lain terjadi disorientasi dalam tubuh pers mahasiswa. Ditambah pada waktu itu, PPMI yang semula menjadi wadah penghubung antar aktivis pers mahasiswa pun mengalami polarisasi yang berujung perpecahan. Dalam kondisi  yang demikian, gagasan back to campus menjadi conditio sine qua non-Meminjam kalimat Wisnu.

Akan tetapi, walaupun tak mampu bersaing secara oplah ataupun profesionalitas dengan pers umum, sebenarnya pers mahasiswa masih memiliki celah untuk kembali menjadi media alternatif masyarakat. Caranya, seperti dikatakan oleh Didik Supriyanto (2000), yaitu dengan memanfaatkan media baru (internet). Dengan menggunakan media internet, pers mahasiswa akan mampu menerbitkan karya-karya jurnalistiknya tanpa harus dibatasi halaman karena masalah dana. Selain itu, berita-berita atau opini yang ditulis oleh setiap anggota pers mahasiswa juga bisa lebih masif dibaca masyarakat karena sifat media internet yang tak mengenal ruang dan waktu.

Jika pers mahasiswa benar-benar bisa memanfaatkan internet dengan serius, maka mereka boleh jadi akan memiliki peran penting untuk melawan apa yang disebut Ashadi Siregar (2001) sebagai kooptasi dan komodifikasi informasi yang dilakukan pers umum. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa sekarang media-media pers umum dimonopoli oleh para pemilik modal dan kepentingan ekonominya, sementara media publik gaungnya sama sekali tak kentara. Di saat seperti inilah, pers mahasiswa harus menentukan orientasinya dengan jelas.

Sekarang ini pers mahasiswa mesti berpikir “Untuk apa aku ada?” Jika hanya fokus memberitakan seputar toilet, parkiran, kenaikan akreditas prodi, dan event-event borjuasi mahasiswa. Juga untuk pers mahasiswa yang hanya memberitakan hal-hal ceremonial, mengabaikan nalar kritis dan usaha investigatif, apa bedanya dengan media Humas kampus? Bukankah pers mahasiswa sebagai bagian dari gerakan mahasiswa yang ideologis mesti menunjukkan semangat aktivismenya sebagai konsekuensi logis dari status Indonesia yang masih menjadi under-developed countries, seperti diungkapkan Nugroho Notosusanto?

Tentu saja pers mahasiswa bebas menentukan orientasi sikap mereka. Apakah mereka hendak menjadi kepanjangan tangan Humas kampus dan menjadi media pamflet? Atau kembali menyelami romantisme historis perlawanan sebagaimana para pendahulunya? Menghidupkan nalar kritis sembari memperkuat wacana dan memunculkan tulisan-tulisan kritis-konseptual yang kaya akan nuansa intelektualitas.

Memang secara konteks, suasana sekarang tidaklah sama dengan suasana di era Sukarno dan Soeharto. Namun, justru disitulah pers mahasiswa mesti merenungkan kembali pertanyaan-pertanyaan eksistensial agar tak kehilangan marwahnya. “Siapa Kita?”  “Untuk apa kita ada?”

Tanpa bermaksud mengkerdilkan pers-pers mahasiswa yang masih tetap konsisten untuk menjadi progressif, tulisan ini ialah sebuah perenungan ketika mendudukan pers mahasiswa di antara kejelasan resistensi politik dan krisis eksistensial. Bagaimanapun, krisis eksistensial merupakan salah satu bahaya laten pers mahasiswa ketika kita tidak menentukan resistensi politik yang jelas dan tegas. Bila kita sampai memasuki krisis eksistensial, maka besar kemungkinan kita pun akan mengalami disorientasi yang berujung “ada dalam ketiadaan.”

 

 

Yogyakarta, 2017

Sumber Gambar: gaulfresh.com

 

Sumber Pustaka

Arismunandar, Satrio. Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Pengumbangan Rezim Soeharto. Jakarta: Genta Press, 2005

Arismunandar, Satrio. Sejarah dan Fenomena Pers Mahasiswa. http://www.academia.edu/4979961/Sejarah_dan_Fenomena_Pers_Mahasiswa. Diakses 15 Maret 2017

Raillon, Francois. Politik dan Ideologi  Mahasiswa: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES, 1985

Saputra, Eka Suryana. 2009. Menyambangi Tanah Tak Bertuan dalam Jurnal Balairung Edisi 43/XXIV

Siregar, Amir Effendi. Pers Mahasiswa Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: Karya Unipress , 1983

Siregar, Ashadi. Mosaik Pers Indonesia: Dari Kepingan Kooptasi dan Komodifikasi dalam Sularto (ed). Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Kompas, 2001

Supriyanto, Didik. 2000. Reorientasi Pers Mahasiswa dalam Majalah Balairung Edisi 29/Tahun XIV

Utomo, Wisnu Prasetya. Pers Mahasiswa Melawan Komersialisasi Pendidikan. Indie Book Corner: Yogyakarta, 2013

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *