Seni Berunggah-ungguh: Budaya yang Tetap Dipertahankan Keraton Yogyakarta

Oleh: Helin Trialia Febrianti

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak hanya dikenal oleh masyarakat lokal maupun nasional, tetapi keraton juga telah merambah ke dunia internasional. Selain menjadi keistimewaan yang dimiliki kota Yogyakarta, budaya dan tradisinya pun kian menambah keunikan yang khas bagi kota Yogyakarta dan semakin dikenal dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, yang tak pernah luput dari sorotan budaya jawa khususnya di Yogyakarta sendiri, yaitu perihal unggah-ungguh atau tata krama yang diterapkan baik di lingkungan keraton maupun masyarakat.

Secara umum, unggah-ungguh merupakan tata krama atau sopan santun dalam bahasa Jawa. Sedangkan dalam budaya Jawa, unggah-ungguh adalah tata cara dalam berperilaku dan berbahasa sebagai bentuk rasa menghormati dan menghargai orang lain sesuai derajat atau usia. Namun, melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dengan adanya perkembangan teknologi yang kian pesat, masuknya budaya baru yang berbeda, serta pengaruh interaksi bersosial media di kalangan anak muda menjadi salah satu faktor adanya pergeseran budaya dalam berunggah-ungguh di masyarakat.

Budaya dan Tradisi Turun Temurun

Budaya Jawa yang diterapkan di Yogyakarta mengandung nilai-nilai kehidupan seperti adat, kebiasaan, keyakinan, dan simbol-simbol yang terus hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Yogyakarta pun dikenal dengan sikap toleransi, kasih sayang, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, dan berterima kasih. Hal inilah yang selalu dipertahankan baik dalam lingkup Keraton Yogyakarta maupun masyarakat di sekitarnya. Kendati demikian, bagaimana sikap dan upaya yang dilakukan keraton dan masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan budaya berunggah-ungguh yang kian mendapat tantangan dengan adanya perkembangan zaman?

Pada Sabtu siang (29/7), kami menyambangi kediaman Bapak Prayogo, selaku abdi dalem Keraton Yogyakarta sejak 2009 di Kotagede. Dalam kunjungan tersebut, kami pun banyak berbincang mengenai budaya yang tetap dipertahankan keraton, salah satunya budaya berunggah-ungguh dan dinamikanya seiring perkembangan zaman. 

“Jadi kalau unggah-ungguh, tata krama, adat, dan sopan santun di dalam keraton itu tetap dipertahankan, karena apa, keraton itu tetap mempertahankan suatu tradisi budaya itu yang turun temurun dari nenek moyang hingga saat ini. Nah, ketika keluar sampai di masyarakat umum khususnya Yogyakarta sendiri, sebenarnya unggah-ungguh, sopan santun itu tetap dipertahankan, dilaksanakan walaupun ada suatu pergeseran budaya karena zaman yang terus berubah,” tutur Pak Prayogo.

Oleh karena itu, hingga kini keraton masih lekat dengan unggah-ungguh yang diperkenalkan oleh leluhur sehingga menjadi budaya dan tradisi yang perlu dilestarikan. Menilik dari sejarahnya pada 15 Februari 1755, dijelaskan inti dalam Perjanjian Jatisari bahwa Keraton Yogyakarta memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram, meliputi adat istiadat, bahasa, tari-tarian, gamelan, termasuk cara berperilaku dan unggah-ungguh yang diterapkan. Berbeda dengan Kasunanan Surakarta yang memutuskan untuk menciptakan budaya baru atau melakukan modifikasi terhadap tradisi lama.

Problematika yang Muncul di Masyarakat

Beliau juga menjelaskan dengan adanya budaya luar yang masuk, masyarakat Yogyakarta pun sekarang bukan mutlak orang Yogyakarta saja, melainkan banyak pendatang sehingga terjadi suatu perubahan. Kendati demikian, hal terpenting yang perlu dilakukan yaitu dengan tetap mempertahankan tradisi dan budaya, serta bagaimana upaya pemerintah dan masyarakat itu tetap menerapkan tradisi khususnya dalam berunggah-ungguh. Dalam hal ini, Bapak Prayogo menegaskan bahwa ia bukannya menentang adanya budaya luar, tetapi budaya tradisi harus tetap dilaksanakan dan jangan sampai punah.

“Beda dengan kota metropolitan ya, mungkin kota besar sudah tidak ada unggah-ungguh, sopan santun. Jalan-jalan saja negur seadanya, walaupun ada sedikit pergeseran tetapi itu (tradisi bertata krama) tetap dipertahankan, karena pergeseran zaman itu teknologi berpengaruh, mungkin anak-anak sekarang saja yo wis berkurang (tata kramanya),” jelas Pak Prayogo.

Menyoroti perbedaan yang terjadi, masyarakat Yogyakarta kota pun sudah tidak sepenuhnya menerapkan budaya dalam berunggah-ungguh. Problematika yang sebenarnya terjadi dari masa ke masa dimana masyarakat semakin terpengaruh dengan adanya perkembangan teknologi maupun terciptanya budaya baru khususnya di kalangan anak muda.

Terkikisnya Unggah-Ungguh Berbahasa

Jumat (4/8), kami pun mendapat keterangan bagaimana masyarakat khususnya anak muda di daerah Yogyakarta kota sudah mulai terkikis budayanya dalam berunggah-ungguh. Ivan, sebagai masyarakat Yogyakarta sekaligus mahasiswa pun memberi pengakuan yang serupa. Ia menyatakan keprihatinannya dimana unggah-ungguh atau tata krama dalam penggunaan bahasa sangat jarang diterapkan pada zaman sekarang ini bahkan bagi masyarakat Yogyakarta itu sendiri.

“Kalo menurut aku si, yang paling terlihat dalam menggunakan bahasa krama yang sudah berkurang drastis ya, jadi kebanyakan masyarakat saat ini hanya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa kasar (ngoko),” tandas Ivan.

Dalam berunggah-ungguh dan menjaga sopan santun, penggunaan bahasa pun perlu diperhatikan. Bahasa Jawa sendiri memiliki beberapa tingkatan, diantaranya krama alus, krama madya, dan ngoko. Dengan adanya tingkatan tersebut salah satunya sebagai bentuk rasa menghormati terhadap orang yang lebih tua maupun terhadap atasan atau orang yang memiliki jabatan lebih tinggi.

Namun sayangnya, saat ini jarang sekali anak muda yang bisa menggunakan bahasa Jawa krama alus untuk berbicara dengan orang yang lebih tua bahkan di lingkungan keluarga.

“Kalo dilihat sekarang ini, yang tidak sesuai itu dimana penggunaan bahasa krama sudah tidak dilakukan generasi anak muda saat ini, harusnya mungkin dari keluarga sendiri dibiasakan menggunakan bahasa krama karena nanti perilaku tata kramanya sendiri akan mengikuti,” jelas Ivan.

Peran Abdi Dalem

Tak kalah mencuri perhatian, abdi dalem keraton memiliki peranan yang sangat penting dalam menerapkan unggah-ungguh di masyarakat sebagai upaya memberi keteladanan. Karena dalam hal ini, selain sebagai bentuk pengabdian pada keraton, abdi dalem juga memiliki kecintaan yang besar pada budaya dan tradisi itu sendiri.

“Jadi begini, khususnya abdi dalem itu memang ditekankan, dididik, diarahkan itu kan menjadi abdi dalem, abdine budaya. Ketika mereka sudah sampai ke masyarakat, kami (abdi dalem) terjun di masyarakat seperti ini, kami harus bisa membawa nama baik keraton juga, baik dari etikanya, adatnya, sopan santun. Unggah ungguh itu sebenarnya sudah mencakup keseluruhan, bagaimana kami bisa mempertahankan, jangan sampai saya selaku abdi dalem terus hidup di masyarakat akan ngawur, itu tidak. Bagaimana budayanya, tradisinya, kami bawa ke masyarakat, kami memberikan contoh yang baik untuk lingkungan kami, seperti itu,” ungkap Pak Prayogo.

Memang tidak ada aturan tertulis bagaimana unggah-ungguh atau tata krama diterapkan, tetapi yang telah menjadi tradisi turun temurun tetap harus dilakukan, khususnya di lingkungan keraton. Adanya perkembangan zaman pun tidak dapat mempengaruhi budaya dan tradisi dalam berunggah-ungguh di keraton. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, dimana unggah-ungguh dalam keraton juga tidak semuanya dapat diterapkan masyarakat secara umum.

“Ketika di dalam keraton, proses abdi dalem harus jalan jongkok ketika menghadap pimpinan itu tradisi dan budaya yang harus tetap kami pertahankan. Nah, ketika kami bawa keluar ketika menghadiri rapat masyarakat umum ya kami tidak bisa langsung dengan cara itu, karena apa, zaman, ketika bicara zaman kadang ada sedikit pergeseran. Namun, unggah-ungguh, sopan santun, dan etika itu tetap, contoh dari yang muda ke yang tua, kita menghormati, kita menghargai itu, nggih tetap.” ujar Pak Prayogo.

Sikap Keraton terhadap Problematika yang Ada

Masyarakat yang tinggal di Yogyakarta yang semakin kompleks, tidak hanya berasal dari Jawa, tetapi juga Sumatera hingga Papua yang membawa budaya daerahnya masing-masing dan hidup berdampingan. Keraton pun tidak menentang adanya budaya lain yang masuk, sebaliknya saling memahami dengan budaya masing-masing. Walaupun demikian, budaya lain tersebut jangan sampai merusak, mengotori, maupun merubah budaya dan tradisi Yogyakarta.

“Kalau sikapnya kami tetap biasa, nggih bukannya terus menentang, antipati, tidak, yaa kita memahami juga, karena yaa budaya mereka. Namun, budaya mereka jangan sampai merusak, mengotori, merubah itu jangan sampai, kita tetap berdampingan sedikit demi sedikit namun tradisi kita tetap dipertahankan ke generasi kita. Itu syukur mereka yang orang luar pun akan mengikuti dengan budaya-budaya kita.” papar Pak Prayogo.

Kasusnya berbeda apabila di dalam lingkungan keraton terdapat tata krama yang tidak sesuai maka tetap perlu diberikan teguran. Beberapa contohnya ketika masuk keraton Yogyakarta, maka pengunjung tidak boleh memakai topi, mengenakan pakaian dengan sopan, tidak merokok sambil berjalan, tidak minum dan makan sambil berjalan. Terdapat tempat tersendiri yang disediakan ketika hendak makan maupun minum. Dengan demikian, ketika ada pengunjung yang tidak menaati maupun karena tidak tahu maka akan ditegur.

Upaya Mempertahankan Budaya Unggah-Ungguh

Tidak semua wilayah Yogyakarta mengalami pergeseran budaya dalam menerapkan unggah-ungguh di masyarakat. Salah satunya Kotagede yang memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan Keraton Yogyakarta dan Solo.

“Khususnya di lingkungan kami di Kotagede, khususnya kami di Jagalan ini wilayahnya adalah cikal bakal. Jagalan ini adalah cikal bakal berdirinya Mataram Islam yang ada di Kota Gede, khususnya adalah cikal bakal adanya Jogja dan Solo. Sehingga budaya, adat, unggah-ungguh ini wilayah kami masih sangat dipertahankan. Walaupun ada juga pendatang-pendatang dari luar, namun bagaimana mereka sedikit demi sedikit, mereka akan mengikuti, mereka akan memahami,” terang Pak Prayogo.

Keraton sendiri berusaha bagaimana agar orang-orang yang tinggal di Yogyakarta mampu mempertahankan, memahami, dan mengetahui juga dengan budaya dan tradisi yang berkembang di Yogyakarta khususnya budaya keraton. Pada khususnya di era sekarang, terdapat pawiyatan yang diadakan sebagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya pada masyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta. Mulai dari pegawai paling bawah hingga tingkat kelurahan baik pamong, lurah sampai ke tingkat diatasnya mengikuti pawiyatan sebagai bentuk pelestarian dan pemahaman budaya di Keraton Yogyakarta diantaranya yaitu budaya dan tradisi keraton, adat pisowanan, unggah-ungguh, tata krama di Kraton Yogyakarta, tata cara memakai ageman gagrag Yogyakarta, dan lain sebagainya.

Harapannya, di tengah perkembangan zaman dan pergeseran budaya, baik keraton maupun masyarakat Yogyakarta tetap mempertahankan budaya, adat istiadat, dan unggah-ungguh. Sedangkan bagi masyarakat dari luar Yogyakarta akan belajar bagaimana mengenai Yogyakarta, bagaimana tentang budaya keraton, sehingga bukannya teracuni dengan budaya luar tapi bagaimana para pendatang yang masuk ke Yogyakarta itu bisa memahami dan mau mengikuti tata krama, sopan santun masyarakat Yogyakarta yang dikenal alus, lemah lembut, dan sabar.

Selain itu, terdapat beberapa kegiatan atau acara yang dapat dikunjungi bagi masyarakat umum untuk dapat semakin mengenal budaya dan tradisi keraton Yogyakarta, seperti malam satu suro, grebeg idul adha, idul fitri, bulan maulud. Masyarakat dari luar Yogyakarta dapat menyaksikan acara yang diadakan keraton dan dapat melihat tentang lingkungan keraton, tentang sejarah dan peninggalan keraton.

Nah, dari situlah bermula dari melihat, nanti jadi cinta dengan budaya,” pungkas Pak Prayogo.


Penyunting: Haidhar F. Wardoyo

Grafis: Zaid Hafizhun Alim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *