Yang Bodoh, Yang Binasa

Yang Bodoh, Yang Binasa

 

Dukuh Paruk dikenal dengan budayanya yang cabul, enggan mengikuti zaman, mengeramatkan leluhurnya yang bernama Ki Secamenggala, dan tentunya ronggeng. Tidak ada pembahasan yang menarik tentang Dukuh Paruk selain ronggeng yang kali ini disandang oleh Srintil. Srintil yang memang berkeinginan menjadi ronggeng merasa senang ketika dia ditunjuk dan dinobatkan menjadi Ronggeng Dukuh Paruk.

Hal ini berbeda dengan Rasus, teman bermain Srintil. Ia tidak menyukai kenyataan bahwa Srintil telah menjadi milik semua orang, terutama ketika Srintil diharuskan mengikuti beberapa aturan sebagai seorang ronggeng. Salah satunya yaitu ritual bukak klambu, dimana Srintil harus kehilangan keperawanannya pada orang yang mampu membayar sesuai dengan tarif yang telah ditentukan. Selain pintar meronggeng, Ronggeng harus pintar juga di urusan kasur.

Begitulah kehidupan sehari-hari yang harus dijalani Srintil; meronggeng, tayub, dan melayani laki-laki. Hal ini membuat Rasus kemudian memilih jalan menjadi tentara, ia pergi dari Dukuh Paruk sambil membawa luka hati.

Walaupun seorang Ronggeng tidak seharusnya mengikatkan diri pada siapapun, Srintil ternyata tidak dapat melupakan sosok Rasus. Hal ini membuat Srintil memberontak dengan caranya. Ia melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan, bahkan ia menampik lelaki yang tidak disukainya. Luka hati yang juga dirasakan oleh Srintil menjadikannya tumbuh menjadi sosok yang tegar dan lebih bermartabat.

Di usianya yang mulai memasuki duapuluhan tahun, Srintil mencoba hal-hal baru. Seperti menjadi gowok dan meronggeng di acara pertemuan-pertemuan rapat. Yang terakhir membuatnya tersangkut dalam peristiwa politik tahun 1965 dan mendapatkan label baru dari masyarakat. Hal ini pulalah yang membuat Dukuh Paruk meredup dan merasakan ‘batu’ akibat dari kebodohan mereka sendiri.

Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel tahun 1982 yang awalnya diterbitkan dalam bentuk trilogi, yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala yang kemudian dibungkus menjadi satu buku oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2003. Buku ini juga sempat dilarang dan dianggap tabu pada pemerintahan masa itu. Hal itulah yang membuat saya kepingin membaca novel ini.

Banyak istilah dan hal-hal baru yang saya temukan di sini. Saya pribadi merasa puas dengan alur cerita yang disajikan oleh Ahmad Tohari. Bagi saya, ceritanya pas. Tidak dilebih-lebihkan, masuk akal, pun tidak terasa ganjil saat dibaca.

Beberapa kali sisi keperempuanan saya tercolek saat membaca, simpati terhadap tokoh Srintil yang harus melayani banyak lelaki sejak usianya menginjak 12 tahun. Simpati pula terhadap kehidupan di Dukuh Paruk yang dengan bangganya mempertahankan kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Simpati terhadap Rasus yang hatinya terkoyak akan cintanya pada Srintil.

Novel ini juga mengajarkan pembaca untuk memahami lintasan kehidupan, bagaimana semesta merencanakan semua hal dengan rapi dan tepat pada waktunya. Memahami pula bahwa kehidupan itu adil, jika kita tertawa bersiaplah untuk kemudian menangis.

Kedudukan sejarah sebagai guru kehidupan tak mungkin disingkirkan. Kedewasaan dan kearifan hidup bisa dibina, baik dengan sejarah tentang kepahlawanan dan budi luhur maupun dengan sejarah tentang pengkhianatan dan kebejatan manusia.” [] – Firda Mahdanisa

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *