Membaca Realitas Sosial dan Berdampak Bagi Masyarakat Melalui UII Mengabdi

Oleh: Yasmeen Mumtaz

Banda Neira merupakan wilayah kepulauan yang terkenal dengan pariwisatanya. Terletak di Provinsi Maluku, daerah ini menawarkan keindahan alam juga tempat bersejarah untuk dikunjungi. Tercatat, lebih dari 55.000 orang mengunjungi Banda Neira pada 2022 dengan tujuan berwisata. Namun, di balik gegap gempita pengunjung, terhampar ketidakmerataan pendidikan yang dialami oleh warganya. 

Jum’at (20/01), Safira dan Royan lepas landas menuju Banda Neira dalam rangka kegiatan UII Mengabdi. Mereka berangkat mendahului rekan-rekan setimnya untuk melakukan social mapping. Sebelum melaksanakan kegiatan pengabdian, keduanya mengurus izin untuk melakukan kegiatan pengabdian di Desa Combir Kasestoren, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Sambutan dari warga setempat cukup hangat, Safira dan Royan bahkan dibantu secara langsung oleh perangkat desa untuk mengurus segala keperluannya.  

“Kalau dari aku sih, orang-orang sana itu kayak welcome semuanya. Untuk surat perizinan pun kek kita dibantu dan langsung dari perangkat desanya. Ke mana-mana ini gampanglah,” ujar Royan dalam sebuah wawancara pascakepulangan mereka dari Banda Neira (06/03).

Dok: UII Mengabdi
Menginisiasi UII Mengabdi

Tim UII Mengabdi Episode Banda Neira beranggotakan 8 orang, dengan 7 di antaranya adalah mahasiswa FPSB. Ada Fachri Muzaki Tio Aqilla (FTI 2018) selaku Ketua Tim, Safira Nur ‘Aini Azhiim (Psikologi 2020), Devi Rika Susanti (Psikologi 2020), Aura Diva Wafiqa (Psikologi 2020), Dian Adriyanti (HI 2020), M. Gilang Ramadhan (HI 2020), Safira Aditia Lestari (HI 2020), dan M. Royan Albarr Pamungkas (HI 2020).

Pembentukan program ini diinisiasi oleh Fachri yang mulanya mengajak beberapa teman. Selama ini, kegiatan pengabdian mahasiswa seperti KKN hanya terpusat di Pulau Jawa. Hal ini kemudian mendorong Fachri untuk membuat inisiatif program pengabdian yang berlokasi di luar pulau terpadat di Indonesia ini.

Mulanya ada tiga tempat yang menjadi opsi untuk kegiatan UII Mengabdi; Kepulauan Buru, Raja Ampat, dan Banda Neira. Banda Neira ditetapkan menjadi lokasi UII Mengabdi lantaran penduduk pulau yang akan ditempati mayoritas beragama Islam. Kesamaan agama ini dinilai akan memudahkan proses adaptasi, mengingat ini adalah kali pertama pelaksanaan UII Mengabdi. Selain itu, mereka telah berkomunikasi erat dengan Kak Amel yang menjadi fasilitator selama kegiatan ini berlangsung. Biaya hidup di Banda Neira juga relatif terjangkau dibandingkan dengan dua tempat yang lain.

Safira dan Royan bercerita bahwa proses perizinan melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) berjalan tanpa hambatan. Pihak DPPM bahkan membuka peluang kegiatan ini agar dapat dikonversi menjadi nilai Kuliah Kerja Nyata (KKN). Demikian, tim UII Mengabdi pun sempat beberapa kali merombak program kerja mereka supaya memenuhi 5 aspek dari KKN, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, pariwisata, dan agama Islam.

Enam orang tim UII Mengabdi menyusul Safira dan Royan lima hari kemudian (24/01) menggunakan kapal. Selama kegiatan pengabdian, mereka menetap di rumah warga setempat dengan setiap rumahnya ditempati oleh 1-3 mahasiswa. Masyarakat Banda Neira memiliki budaya Mama Papa Piara. Budaya ini termasuk adab dalam memperlakukan tamu, yakni para tamu diangkat anak oleh masyarakat desa tersebut dan tinggal bersama setelahnya.

“Semuanya kayak pengen punya anak angkat. Karena keterbatasan (tempat) dan menyesuaikan kondisi, dipilih (rumah) yang jaraknya dekat-dekat aja. Biar kalau misal kita ada rapat, itu nggak terlalu jauh,” cerita Royan. 

Desa Combir Kasestoren merupakan satu dari sembilan desa di Pulau Banda Besar. Jika menggunakan mobil, kita dapat mengelilingi pulau ini hanya dalam satu setengah jam. Akan tetapi, menurut Royan mobil sangat jarang ditemui di sana. Jumlahnya dapat dihitung menggunakan jari. Selain karena tidak terlalu perlu, infrastruktur berupa jalan juga kurang memadai untuk dilalui mobil. 

“Di sana liat mobil itu kayak ‘Wah, ada mobil!’ gitu. Saking jarangnya mobil lewat,” tutur Safira.

Untuk mobilitas sehari-hari, warga lokal lebih sering berjalan kaki atau mengendarai motor. Jika butuh untuk pergi ke suatu tempat, Royan dan Safira menggunakan ojek atau meminjam motor warga setempat. Sementara untuk menuju pusat kota di Pulau Neira, mereka harus menggunakan perahu selama kurang lebih 30 menit. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat setempat menyebut perahu sebagai “motor”.

Pelaksanaan Program Kerja

Rabu (25/01), tim UII Mengabdi mulai melaksanakan program kerja yang telah disusun. Target dari proker mereka mencakup anak-anak SD, SMP, SMA, dan masyarakat. Proker yang dilaksanakan di SDN 80 Maluku Tengah antara lain mengajarkan Bahasa Inggris, pemahaman mengenai emosi, dan pengenalan cita-cita. Pendidikan semasa SD diarahkan untuk pembentukan karakter dan keterampilan. 

Pada jenjang pendidikan ini, penting untuk mengajarkan pada siswa SD bahwa mereka berharga dan perlu bermimpi tinggi. Sayangnya, SD setempat menghapuskan pelajaran Bahasa Inggris karena kekurangan tenaga pendidik. Masalah ini perlu menjadi perhatian mengingat keterampilan bahasa menjadi jendela bagi seseorang untuk mendapatkan pengetahuan lebih luas. 

Penyampaian materi kepada siswa sekolah dasar | Dok: UII Mengabdi

Royan bercerita mengenai kampanye pencegahan bullying yang ia laksanakan untuk siswa siswi SMPN 2 Maluku Tengah. Bullying merupakan masalah serius yang perlu dicegah karena dapat mempengaruhi korbannya seumur hidup. Setali tiga uang, di SMAN 30 Maluku Tengah, Safira melakukan sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sosialisasi ini penting karena angka kasus kekerasan seksual di Indonesia yang masih tinggi. Selain itu, masih ada berbagai stigma yang menyelimuti kekerasan seksual.

Tim UII Mengabdi juga mengajar di TPA setempat sebagai bentuk pemenuhan aspek agama. Sejatinya terdapat 3 TPA di Desa Combir Kasestoren, tetapi salah satu di antaranya sedang dalam tahap renovasi. Selain mengajar TPA di sore hari, tim UII Mengabdi turut membantu dalam proses renovasi tersebut. 

Tim UII Mengabdi juga mengedukasi mengenai pengelolaan sampah. Sampah masih menjadi masalah besar di Indonesia, tak terkecuali di Banda Neira. 

“Di sana sampah tuh mereka buang, udah buang aja gitu. Kalau nggak dibakar, ya dibuang ke laut kayak lempar aja gitu, loh,” Safira memberikan gambaran.

Hal ini ironis, mengingat laut menjadi sumber kehidupan mereka. Selain karena belum memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan sampah, infrastruktur yang menunjang pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah memang belum memadai. 

Permasalahan stunting, perkara genting lainnya, juga coba dientaskan di sini. Tim UII Mengabdi mengadakan pencegahan stunting di posyandu dengan peserta para orang tua. Mitigasi bencana juga turut mendapat porsi, sebab Pulau Banda Besar merupakan pulau kecil yang berbatasan langsung dengan laut dan memiliki gunung. Dua unsur geografis ini berpotensi menimbulkan bencana sehingga mitigasi penting dilakukan. 

Mengenal Kehidupan di Banda Neira

Safira menjelaskan betapa warga setempat merasa senang dan terbantu dengan adanya proker-proker ini. Ada banyak ilmu yang bisa tim UII Mengabdi bagikan dengan penduduk Desa Combir Kasestoren. Mereka juga menjamu tim UII Mengabdi dengan baik. Salah satu bentuk penghormatan mereka adalah menyambut tamu dengan makan. 

Tidak boleh lapar,” prinsip warga setempat dalam menyambut tamu. 

Jika kita menolak makanan yang telah diberikan, hal itu akan menimbulkan kesan negatif. Hidangan paling umum yang ditemui Safira dan Royan adalah makanan laut atau seafood. Di sana, seafood sangat murah, bahkan gratis. Setiap pagi akan ada nelayan yang berbagi hasil tangkapan di dermaga. Siapa saja boleh mengambil, cukup membawa wadah, para nelayan akan mengisinya penuh dengan ikan.

“Waktu aku ke sana itu ditanyain, ‘Mana wadahnya?’ Ga bisa dihitung itu ikannya. Banyak banget. Bahkan ikan-ikan yang kecil itu sampai dibuang lagi ke laut,” kenang Safira. 

Nelayan yang pulang membawa banyak ikan | Dok: UII Mengabdi

Berkebalikan dengan di Jawa, harga buah dan daging cukup tinggi di Banda Neira. Semangka 1 kg yang bisa didapatkan dengan harga Rp15.000 di Pulau Jawa, terasa sekali perbedaannya karena dapat mencapai harga Rp70.000 di Banda Neira. 

Pengalaman menarik sekaligus menegangkan dialami Royan ketika ia tidak sengaja menginjak paku. Mulanya Royan diobati dengan antiseptik oleh Safira. Akan tetapi, ia merasa itu belum cukup. Oleh orang tua angkatnya, Royan disarankan untuk membakar buat lemon kemudian menginjaknya. 

“Aku mencoba untuk jadi orang sana kan. Aku harus coba juga pengobatan tradisionalnya sana,” kata Royan memberikan alasan mengapa ia akhirnya melakukan saran tersebut.  

Perih dan panas bercampur menjadi satu. Namun, ternyata kurang dari sehari lukanya telah mengering. Pagi hari ia menginjak paku, sorenya ia sudah bisa bermain bola. Ketika pulang pun, luka tersebut tidak menjadi masalah sama sekali. 

Safira juga memiliki pengalaman menyeberang pulau untuk sekedar fotokopi. Jasa fotokopi di Pulau Banda hanya ada satu, itu pun harganya sangat mahal. Terpaksa, Safira menempuh perjalanan 30 menit dengan ‘motor’ ke Pulau Neira untuk fotokopi, lantas menghabiskan 30 menit lagi untuk perjalanan pulang. 

Harapan Mengenai Keberlanjutan UII Mengabdi

Tak terasa, masa pengabdian mereka telah usai. Tim UII Mengabdi mengadakan perpisahan pada 10 Februari. Malam perpisahan tersebut dipenuhi isak tangis warga setempat dan tim UII Mengabdi. Mereka semua merasa berat untuk berpisah, terutama Mama Papa Piara selama berada di Banda Neira. Tim UII Mengabdi pulang dengan harapan besar bisa kembali suatu hari nanti. Hingga hari ini, mereka masih berkirim kabar dengan keluarga kedua mereka di Banda Neira. 

“Kemungkinan tentang keberlanjutannya pasti ada. Tetapi, kita belum membahas tentang batch kedua,” jelas Royan. 

Ia juga mengungkapkan harapan dari DPPM mengenai keberlanjutan program UII Mengabdi. Lebih lanjut, Royan juga sangat menyarankan kepada mahasiswa UII untuk mengikuti kegiatan pengabdian untuk melatih kepekaan kita terhadap problematika sosial. Sebagai mahasiswa yang berpendidikan, kita memiliki kewajiban untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Safira menambahkan bahwa kita harus keluar dari zona nyaman. Salah satunya dengan mengikuti kegiatan pengabdian di tempat yang keadaannya sama sekali lain. Hal ini membantu menyadari ada begitu banyak hal yang tidak kita ketahui, sekaligus belajar mengenai permasalahan sosial secara langsung.

“Keluar dari sini. Cobain hal-hal di luar sana,” pungkas Safira.

Dok: UII Mengabdi

UII Mengabdi telah membuka pengabdian batch kedua yang akan dilaksanakan di Labuan Bajo, NTT. Informasi lebih lengkap dapat dibaca di sini: @uii.mengabdi


Penyunting: Haidhar F. Wardoyo

Reporter: Afifah Zahra

Grafis: Zaid Hafizhun Alim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *