Polemik Pengangguran Terdidik di Indonesia

Tinggi rendahnya kualitas pendidikan ditentukan pada masalah, keaktifan, kemampuan, kualitas dalam pembelajaran, kreativitas dalam mengajar, pemerintah, sampai kurikulum yang hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah. Tak hanya itu, lingkungan dimana kita berada atau dimana kita tinggal juga turut mempengaruhi sebab hambatan perkembangan pendidikan di Indonesia kiranya terletak pada kesenjangan infrastruktur, geografis, dan telekomunikasi.  

Dikutip dari sebuah laman sosial media berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC) dalam kualitas pendidikan, Indonesia menempati peringkat 12 dari 12 negara di Asia. Kemudian menurut World Economic Forum Swedia (2000) daya saing Indonesia dianggap rendah dan,menduduki peringkat 37 dari 57 negara yang di survei di dunia (Prasetya, 2019).  Lantas untuk memperbaiki itu pemerintah harus membenahi kesenjangan itu terlebih dahulu (Darmaningtyas, 2020). Selain itu, hal tersebut juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran sekelompok masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Kebanyakan masyarakat di Indonesia hingga saat ini pendidikan formal merupakan penunjang seseorang dalam keberhasilan mencari pekerjaan bahkan, sebagian orang tua beranggapan capaian nilai dalam pendidikan masih berpengaruh terhadap dunia kerja sebab asumsinya semakin tinggi nilai seseorang berarti semakin tinggi pula tanggung jawab dan ambisinya terhadap pendidikannya selama ini dan akan berlaku demikian ketika dalam dunia kerja. 

Menurut laporan dari Center of Reform on Economics (CORE) mengakumulasi pengangguran di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 20% dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran berusia muda tertinggi di Asia Tenggara. Angka-angka tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan Singapura yang hanya mencapai 15% atau dibawahnya. Mohammad Faisal selaku Direktur Eksekutif CORE Indonesia memberikan anggapan bahwa tingginya pengangguran di Indonesia ini merupakan contoh masih banyaknya permasalahan pemerintah dalam penciptaan tenaga kerja terutama setelah pandemi COVID melanda (CNN Indonesia, 2021).

Data yang diberikan TPT menunjukan persentase pengangguran didominasi oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan menengah dan menengah ke atas dengan rata-rata umur 20-29 tahun. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan pemikiran masyarakat dimana semakin tinggi pendidikan semakin mudah mencari pekerjaan. Karena banyaknya pengangguran didasari  dari supply and demand dimana sebanyak apapun orang yang ingin bekerja apabila jasa yang ditawarkan tidak dibutuhkan maka sama saja tidak bisa bekerja. 

Pada tahun 2014 sebanyak 83% lowongan pekerjaan mengharuskan pelamarnya untuk memiliki pengalaman sebelumnya sedangkan 70% pelamar muda belum memiliki pengalaman untuk nantinya bekerja. Perusahaan atau instansi melihat hal tersebut sebagai kerugian karena mereka harus melakukan pelatihan berkala agar pelamar tersebut bisa benar-benar bekerja, maka untuk merekrut lulusan baru atau Fresh graduate merupakan sikap yang mahal dan tidak efisien. (Priyono, 2017)

Beradu Peruntungan dari Pendidikan ‘Formal’

Berdasar pemaparan di atas, kasus penganggur muda yang tinggi di Indonesia menjelma jadi permasalahan serius negara sejak tahun-tahun sebelumnya. Menteri Ketenagakerjaan RI mengungkapkan bahwa lulusan pendidikan tinggi yang menganggur juga disebabkan karena tidak adanya link and match antara dunia pendidikan dan ketenagakerjaan. 

gi karena tidak ada jaminan pekerjaan yang layak dan amino untuk belajar akan turun.

 Permasalahan tersebut bisa selesai apabila pihak pemerintah dan masyarakat sama-sama berusaha menyelesaikannya, dimana pengangguran dituntut harus berpikir kreatif dan meningkatkan kompetensi sementara pemerintah dapat fokus memperbaiki sistem yang bertumpang sehingga investasi dapat berkembang dan lapangan kerja terbuka lebar (Fizriyani & Aminah, 2020).

Oleh sebab itu, perlu adanya kesadaran dalam diri masyarakat bahwa pendidikan tingkat lanjut terutama di tingkat universitas itu sangat penting bagi generasi muda seperti kita untuk bekal masa depan yang lebih baik. Akan tetapi harus dipahami juga bahwa pendidikan di tingkat universitas masih belum cukup menembus dunia kerja yang ada sehingga diperlukannya penguasaan tambahan atau soft skill. Dengan penguasaan soft skill yang baik akan memberikan nilai lebih dibanding para sarjana lainnya. Soft skill tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, kepemimpinan, kerja tim, dan etos kerja. Harapannya, penguasaan soft skill tersebut dapat berguna untuk menghadapi dinamika yang ada di dunia kerja.

Dan seharusnya juga, pemerintah ikut andil dalam mengatasi persoalan ini, seperti memberi biaya pendidikan secara gratis kepada masyarakat kurang mampu. Sehingga, masyarakat yang kurang mampu dapat mendapat ilmu dan bekal yang bagus untuk masa depan mereka sehingga tidak lagi muncul anggapan investasi rugi dalam mengenyam pendidikan tinggi terutama tingkat universitas juga, pemerintah dan masyarakat harusnya saling bersinergi, baik dengan lembaga-lembaga pendidikan untuk menciptakan lapangan pekerjaan agar mereka langsung bekerja setelah lulus sehingga bisa menekan angka pengangguran sedikit demi sedikit.  (Susanti, 2018)

Disamping mengoptimalkan bantuan pendidikan, pemerintah juga tetap harus melakukan revolusi pendidikan yang lebih berfokus pada peningkatan kualitas dari pendidikan itu sendiri seperti merombak kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman dalam kebutuhan dunia kerja. 

Selain itu, pemerintah dapat mengintegrasikan program magang dengan kurikulum yang sudah dibuat agar memiliki kesiapan kerja dan keterampilan yang lebih baik.


Tulisan ini merupakan karya anggota magang LPM Kognisia.


Tulisan & Riset: Della Safitri, Ananda Reyhan Saputra, Enita Nuri Damayanti

Penyunting: Citra Mediant


Rujukan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *