Refleksi Realita Kekerasan Seksual Melalui Penyalin Cahaya

Oleh : Zayyan Nur Alfidhoh

“Menguras, menutup, mengubur”

Awal tahun 2022, jagat sinema Indonesia tengah digemparkan dengan film bertemakan isu-isu sosial. Salah satu di antaranya adalah Penyalin Cahaya. Dengan mengusung tema reflektif kekerasan seksual, film garapan Wregas Bhanuteja dan Rekata Studio ini berhasil meraih atensi masif hingga ranah internasional. Tidak hanya berhasil memboyong 12 penghargaan di ajang Festival Film Indonesia (FFI), Penyalin Cahaya juga mendapat rekognisi di Busan International Film Festival (BIFF). 

Cerita berpusat pada lakon utama, mahasiswa bernama Sur (Shenina Cinnamon) yang kehilangan beasiswa karena potret dirinya yang sedang mabuk tersebar usai perayaan kemenangan klub teater hingga ia mendapati bukti bahwa salah seorang dari anggota klub tersebut dicurigai telah melakukan pelecehan terhadapnya. Dibantu oleh Amin (Chicco Kurniawan) sebagai si tukang fotokopi di kampus tersebut, upaya demi upaya mereka lakukan untuk mendapatkan bukti guna memperjuangkan hak beasiswa yang seharusnya tidak hilang begitu saja.

Secara simbolis, Penyalin Cahaya berusaha menunjukkan isu kekerasan seksual yang seringkali dibungkam. Terlebih dalam lembaga pendidikan, tempat yang diharapkan oleh banyak orang menjadi zona aman untuk mencari perlindungan dan keadilan. Slogan “menguras, menutup, mengubur” pun berulang kali disebut dalam film sebagai bentuk sarkasme atas respon yang tidak berpihak pada korban. Dalam film ini, Wregas sebagai sutradara agaknya ingin menampilkan kepahitan-kepahitan yang harus ditelan korban pelecehan seksual yang kerap kita jumpai di kehidupan nyata. Lembaga pendidikan yang cenderung mengarahkan para korban untuk diam, memaafkan, dan menyimpan rapat-rapat kekerasan seksual guna menjaga nama baik kampus. Rumah pun menjadi tempat tuli yang tak dapat mendengarkan keluh kesah terjujur korban. 

Sayangnya, dalam film berdurasi 130 menit tersebut, adegan yang menyorot tentang dampak psikologis akibat pelecehan tersebut tergambar dengan sangat minim. Hal ini cukup menuai beberapa kritik karena kondisi tersebut seharusnya dapat terselip guna memberikan gambaran pada penonton mengenai dampak psikologis seperti trauma, gangguan kecemasan, hingga depresi yang dapat dialami oleh korban pelecehan seksual.

Meski demikian, kepiawaian para aktor menjadi salah satu kelebihan dari film ini. Setiap tokoh mampu mengguratkan emosi yang begitu jelas meski hanya sebatas gesture maupun dialog. Seluruh adegan yang tergambar terasa sangat natural dan dekat dengan para penonton sehingga atmosfer ketegangan yang perlahan terbangun juga dapat dirasakan. 

Selain itu, aspek sinematografis dari film juga dapat menyampaikan pesan secara implisit, mulai dari pemilihan tone warna yang konsisten dengan dominasi warna hijau untuk menggambarkan nuansa muram serta simbol lain seperti adegan fogging dan slogan 3M. Bidikan kamera juga seakan mampu menarasikan apa yang terjadi dalam deretan frame yang bergulir. Tak heran jika Penyalin Cahaya mampu menggaet penghargaan nominasi penyunting gambar terbaik di antara rentetan penghargaan yang mereka dapatkan.

**

Di balik deretan penghargaan yang berhasil dikantongi, terdapat kasus mengejutkan yang cukup mencoreng reputasi Penyalin Cahaya. Beberapa hari sebelum ia dijadwalkan tayang di Netflix pada tanggal 13 Januari, terkuak dugaan bahwa Henricus Pria yang merupakan co-writer dari film ini terjerat skandal pelecehan seksual. Hal ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat pesan yang telah ditampilkan dari film bertemakan kekerasan seksual ini.

Respon tim produksi yang dengan segera mencoret nama Henricus Pria dalam poskredit Penyalin Cahaya dapat dibilang tindakan yang cukup bijak. Menyikapi hal ini, pendapat beragam tentu beredar di kalangan masyarakat. Beberapa merasa hal tersebut tidak adil bagi para korban untuk menyaksikan karya seorang penjahat seksual. Namun beberapa juga menyayangkan apabila Penyalin Cahaya harus turun layar karena kesalahan dari satu orang dapat mengesampingkan seluruh tim produksi yang telah bekerja keras.

Mengetahui fakta ini, penonton mungkin akan merasakan persimpangan emosi selama menonton Penyalin Cahaya. Di balik sinematografi yang mengagumkan, bisa saja tersimpan fantasi penulis yang meromantisasi kekerasan seksual. Membayangkan perbuatan penulis tentu menimbulkan efek bias dan perasaan tidak nyaman lainnya selama menonton. Terlepas dari bayang bayang skandal tersebut, film Penyalin Cahaya tetaplah layak mendapatkan atensi dan apresiasi karena telah berhasil merefleksikan realita yang dihadapi oleh para penyintas pelecehan seksual.

Penyunting : Annisa Ramadhani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *