Menyoal Testing, Kematian Tenaga Kesehatan dan Vaksinasi Setelah Setahun Pandemi Covid-19 di Indonesia

Oleh Lulu Yahdini

Jumat (12/3) The conversation Indonesia melakukan diskusi singkat dengan para ahli untuk Memperingati setahun Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tepat pada tanggal 2 maret 2020 lalu kasus pertama virus corona terkonfirmasi di Kota Depok, Jawa Barat.  Diskusi ini membahas berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah setahun belakangan. Beberapa pertanyaan pun muncul : Kenapa berbagai kebijakan pemerintah tidak efektif menangani kasus? Mengapa kematian tenaga medis terus terjadi? Apakah vaksinasi akan selesai dalam 15 bulan? 

“Berbicara tentang pandemi covid 19 banyak sekali yang dapat dibicarakan yang telah terjadi selama setahun ini mulai virus, mekanisme proteksi, social distance, intervensi, fenomena super spreader, lockdown kemudian micro lockdown” tutur Iqbal, Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) dalam diskusi setahun pandemi.

Super spreader adalah seseorang yang dapat menyebarkan virus melebihi kuat daripada orang lain yang sedang sakit, dan orang itu dapat menjadi penular super dengan menularkan virus ke banyak orang. Menurut Agrawala dan Bhardwaja Super spreader memiliki peningkatan produksi air liur yang lebih sehingga dapat melepaskan virus pada tingkat yang tinggi atau kuat. Hal ini membuktikan penggunaan masker yang benar, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilitas.

Jumlah testing anjlok, apa yang terjadi?

Membatasi mobilitas bukanlah sebuah ihwal tak beralasan sebab, menurut Menurut Morales (2020) mobilitas berlebihan dapat menyebabkan Transmission events yang didefinisikan sebagai penyebaran virus dimana individu dapat menginfeksi sejumlah kasus sekunder, dipicu  oleh mobilitas masyarakat seperti di rumah makan, kantor atau tempat umum lainnya. Hal tersebut berpotensi menyebarkan virus ke orang banyak apabila tidak dicegah maka akan mengakibatkan rantai penyebaran virus terus berjalan. Oleh karena itu diperlukan tracing pada kasus-kasus yang terdeteksi. Namun hal tersebut juga harus didukung dengan inisiatif masyarakat sendiri dalam menggunakan masker, jaga jarak dan mengurangi mobilitas untuk meminimalisir penyebaran Virus Covid-19.

Sedangkan dalam diskusi yang diselenggarakan The Conversation, Iqbal menjelaskan bahwa kasus positif Covid-19 terus mengalami kenaikan setiap hari nya sejak November 2020 sampai awal tahun baru 2021. Kenaikan tersebut diakibatkan adanya liburan akhir tahun yang menyebabkan banyak orang melakukan mobilitas. Diambil dari data Gugus Covid-19 pada hari kamis 31 Desember 2020 menunjukkan kasus positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 743.198. Sedangkan kasus positif pada tanggal 12 Desember 2020 sebanyak 611.631 kasus positif. 

Hal tersebut menjadi bukti kenaikan yang signifikan pada libur akhir tahun. Namun pada bulan Maret 2021 Presiden Jokowi menyampaikan  covid-19 mengalami penurunan kasus harian menjadi 5000 sampai dengan 6000 kasus, padahal pada bulan Januari 2021 kita “Kadang kita ditanya apakah penurunan yang terjadi di bulan maret ini dipicu oleh penurunan jumlah tes?” tutur iqbal

Dikutip dari CNNIndonesia.com terkait jumlah tracer covid-19 di Indonesia hanya sekitar 5000 orang. Mengetahui hal ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengaku kaget. Padahal seharusnya Pemerintah lebih tahu terlebih dahulu daripada media massa. Kemudian jika dijabarkan dari 5.000 orang tersebut, sekitar 1.600 orang tracer berada di Jakarta dan sisanya tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah penyebaran tracer sendiri hanya berfokus pada satu tempat yaitu Jakarta, padahal kita tahu bahwa virus Covid-19 tidak hanya tersebar di Ibukota saja. Jika dikaitkan dengan penurunan jumlah kasus bukan tidak mungkin penurunan tersebut disebabkan oleh kurangnya jumlah tracer sehingga data yang diperoleh pun kurang maksimal.

Selain Jumlah tracer, Iqbal juga menjelaskan masalah intensif relawan Contact Tracer di Jakarta yang masih belum dibayar padahal sudah menjelang akhir masa kontrak. Menanggapi hal tersebut, Wiku selaku Juru Bicara Pemerintah mengatakan kementerian kesehatan akan terus berkoordinasi dengan kementerian keuangan agar intensif dapat diberikan kepada tenaga kesehatan. Meskipun pada akhirnya Intensif tersebut dibayar, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk relawan tracer. Seharusnya pemerintah memberikan dana yang cukup dan sesuai kepada tracer Covid-19 mengingat mereka sangat berjasa dalam melacak penyebaran virus ini.

Dalam diskusi yang sama, Iqbal menyimpulkan tracing di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan yaitu kurangnya jumlah relawan tracer, manajemen data, serta biaya intensif relawan tracing. Sedangkan testing di Indonesia seharusnya ditingkatkan dengan menerapkan strategi pooling test di wilayah dengan prevalensi rendah dengan rapid antigen test. Karena rapid test antigen akan menangkap adanya sinyal protein dari permukaan virus Covid-19. Selain itu memiliki harga yang lebih terjangkau dengan kinerja yang lebih efektif daripada rapid antibody yang hanya melihat adanya antibodi dalam tubuh. 

Kematian Tenaga Medis yang terus Meningkat

Selain permasalahan contact tracer, Tenaga kesehatan yang berada di garis depan turut dihantui dengan tingginya tingkat penyebaran Covid-19. Hal itu menyebabkan kematian pada tenaga kesehatan terus meningkat sebanyak 35% sejak Desember 2020 sampai Januari 2021. Pada awal pandemi tercatat kasus kematian pada tenaga kesehatan dalam sehari berkisar satu sampai dua orang orang. Kemudian pada bulan Juli 2020 mengalami kenaikan menjadi empat orang perharinya. Ihwal tersebut disampaikan oleh Leny yang mewakili Relawan Pusara Digital Lapor Covid19. Leny dan tim pusara digital pernah mencatat 10 kematian dalam sehari, tenaga kesehatan yang paling banyak gugur berasal dari Layanan primer, yaitu Puskesmas.

Leny telah mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat tenaga kesehatan mudah terpapar virus Covid-19. Salah satu faktor yang menjadi masalah sejak awal pandemi adalah kurangnya APD (Alat Pelindung Diri). Ia menyatakan pendapat dari seorang informan bahwa pada awal pandemi penggunaan APD oleh tenaga kesehatan tidak seketat sekarang, hal ini yang membuat mudahnya tenaga medis terpapar virus dan akhirnya gugur. Sebab menangani banyak pasien memang tidak mudah, apalagi jika disertai dengan resiko terpapar virus. 

Semakin banyak orang yang terpapar virus maka semakin berat juga tugas tenaga kesehatan, sehingga menyebabkan beban kerja mereka menjadi sangat berat. Pembatasan pekerjaan hanya terjadi pada non medis, sedangkan mereka yang berada di IGD akan terus bekerja. Kondisi ini menyebabkan kelelahan pada tenaga medis dan dapat menurunkan sistem imun mereka. Lenny mengungkapkan terdapat informan yang melaporkan tenaga medis cenderung terlambat dalam mendeteksi gejala-gejala karena mereka mengira hal tersebut hanya sakit biasa.

Diakhir penjabarannya, Lenny juga membahas upaya yang harus dilakukan untuk melindungi tenaga medis yaitu dengan menentukan level APD sesuai dengan beban dan lingkungan kerja, patuh terhadap SOP, bekerja sesuai jam dan beristirahat yang cukup. 

Apakah waktu vaksinasi akan sesuai dengan target?

Di sisi lain, pemerintah Indonesia tidak menyerah begitu saja, pada 6 Desember 2020 vaksin Covid-19 Sinovac  masuk Indonesia. Vaksin ditargetkan akan disuntikan kepada 180 juta orang (70% populasi Indonesia ) dalam 15 bulan. Indonesia sendiri menggunakan 6 vaksin dalam menangani virus Covid-19 yaitu vaksin astrazeneca, vaksin sinopharm, vaksin moderna, vaksin pfizer Inc and BioNtech dan vaksin produksi Indonesia yaitu vaksin Merah Putih. Teguh Haryo dari Associate Professor Perdana University RSCI School of Medicine menyebutkan dihitung sejak awal diluncurkannya pada 14 Januari 2021 sampai dengan 7 Maret 2021, vaksinasi hanya mencapai 1,1% dari populasi. Padahal  jika dihitung sesuai target pada tanggal 14 Maret seharusnya sudah mencapai 24,2 juta orang yang menerima vaksin atau 9% dari populasi. Data tersebut menjadi bukti bahwa vaksinasi di Indonesia masih sangat lambat dan dikhawatirkan tidak sesuai dengan target.

“Seminggu setelah vaksin mulai, Presiden memberi pertanyaan dengan nada yang sangat optimis, kita punya 3000 vaksinator, 10000 puskesmas, 30 vaksinasi per hari per vaksinator” Teguh Haryo mengutip dari Kompas, 21 Januari 2021

Teguh berpendapat cara untuk mempercepat vaksinasi adalah dengan mengoptimalkan peran vaksinator. Vaksinator diambil dari tenaga kesehatan yang memiliki ilmu kesehatan yang dibutuhkan. Namun belakangan ini Kemenkes mengajak Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) untuk menjadi tenaga vaksinator virus Covid-19. TNI sendiri telah menyiapkan 10.000 pasukan dan baru 1.008 yang telah terverifikasi dan siap meningkatkan jumlah tersebut dalam pelatihan vaksinator baru.

Selain itu lokasi dan manajemen vaksinasi juga harus diperhatikan yaitu dengan menggunakan tempat-tempat besar dan luas sebagai lokasi vaksinasi, contohnya adalah stadion dan aula. Kemudian apabila tempat-tempat tersebut efektif maka disarankan untuk digunakan terus menerus selama beberapa bulan untuk melakukan vaksinasi. Sedangkan Puskesmas atau Rumah Sakit dapat digunakan sebagai basecamp atau coordinating site bukan tempat vaksinasi. Baru-baru ini pemerintah juga menggunakan cara Drive Thru Vaccination untuk mempercepat dan memudahkan proses vaksinasi.

Keterlibatan swasta juga menjadi salah satu cara untuk meningkatkan vaksinasi yaitu dengan melakukan pengadaan secara mandiri dan menjualnya kepada masyarakat. Namun cara ini dinilai cukup kontroversial di masyarakat dan banyak yang menentang. Keterlibatan swasta menjadi kontra di masyarakat karena dikhawatirkan akan ada ketimpangan akses dan hilangnya pemahaman “vaksin sebagai public good”. Keterlibatan swasta diharapkan dapat bersifat meringankan vaksinasi dan mencepat program vaksinasi gratis pemerintah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan percepatan Program vaksin Nasional akan memudahkan kekebalan kelompok dan pulihnya ekonomi Nasional. Tetapi untuk mencapai hal itu semua pihak harus bekerja sama baik pemerintah maupun swasta.

“Kita setuju dengan yang kontra, tetapi sekarang yang menjadi pusat perhatian kita adalah bahwa kecepatan vaksinasi itu tidak tercapai dengan cara seperti yang kita harapkan. Kecepatan vaksinasi ini perlu ditingkatkan berlipat-lipat kali.” Teguh haryo menegaskan.

Jika keterlibatan swasta dijalankan maka  mereka akan memberikan harga eceran yang lebih tinggi. Sedangkan peran pemerintah disini adalah memberikan produsen vaksin yang berbeda antara vaksin swasta dan mandiri. Hal ini sangat penting dilakukan agar tidak berebut supply vaksin antara yang mandiri dan swasta.

Namun target 15 bulan vaksinasi tampaknya masih sangat jauh dari ekspektasi kita karena selama dua bulan pertama vaksinasi di Indonesia jumlah orang yang divaksin masih  di bawah 300.000. Apabila kita terus memikirkan stigma masyarakat mengenai lambatnya vaksinasi dan tidak melakukan perubahan maka kita tidak akan memperoleh kesimpulan. Oleh karena itu kita harus memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat terkait fungsi dan peran vaksin swasta bagi percepatan vaksinasi serta  bagi sosial dan ekonomi.


Penyunting: Citra Mediant
Rancang Grafis: Rosyih Hilmi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *