Dinamika Dunia Perfilman Era Pandemi

Oleh : Zayyan Nur Alfidhdhoh

Pandemi menyebabkan beberapa aktivitas masyarakat menjadi terhambat, terutama aktivitas luar ruangan. Padahal sesekali masyarakat pun membutuhkan hiburan agar tidak bosan selama Work From Home. Salah satu hiburan yang biasa dimanfaatkan masyarakat sebelum pandemi melanda adalah dengan menonton bioskop. Namun saat ini industri film menjadi salah satu pihak yang terdampak karena bioskop yang merupakan sarana terbesar bagi film, terpaksa harus dibatasi setelah himbauan social distancing digalakkan. Hal tersebut membuat film-film yang telah diproduksi untuk tayang di bioskop kehilangan pasarnya. Disamping itu masalah ini justru mendorong para pembuat film untuk menawarkan alternatif lain agar masyarakat dapat tetap menikmati film. Hal tersebut berdampak tidak hanya pada penonton tapi juga awak produksi film. Meskipun pada akhirnya bioskop dapat kembali buka pada 16 September 2021 lalu.

Streaming online menjadi salah satu alternatif hiburan yang ditawarkan agar film tetap bisa dinikmati tanpa harus keluar rumah atau berkerumun. Sehubungan dengan itu kami mencoba untuk menggali lebih dalam fenomena mengenai dunia perfilman dengan mewawancarai salah satu pengamat film yang juga Dosen ISI Surakarta, Titus Soepono Adji.  Perbincangan tersebut dimulai dari diskusi bagaimana transisi dunia perfilman yang awalnya berkiblat ke bioskop, kemudian beralih ke tontonan berbayar online karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan masyarakat untuk pergi ke bioskop. Menurut beliau transisi di dunia perfilman bukan kali pertama terjadi sebab pada tahun 70-an telah mengalami transisi dari beralihnya televisi swasta ke DVD dikarenakan preferensi tontonan masyarakat yang akan lebih fleksibel apabila mereka dapat menonton tayangan berdasarkan pilihan mereka sendiri. Mereka juga dapat memutar ulang ataupun mengulang bagian yang mereka sukai saja melalui DVD.

“Setiap 10 tahun itu trend film beda. Awalnya TV swasta ke DVD ke tontonan online seperti netflix. Jadi, ya ini bukan sesuatu yang baru lagi dan bukan hal buruk juga, karena perubahan itu bagian dari keberagaman film.” ujar Titus.

Seperti yang dikatakan Titus bahwa transisi perubahan cara menonton masyarakat berubah setidaknya setiap 10 tahun sekali dalam dekade selanjutnya dengan dipengaruhi kemudahan akses dan perkembangan teknologi. 

Lalu, setelah pandemi ini melanda, Titus mengatakan bahwa budaya menonton di rumah ternyata bukan ide yang buruk untuk menghibur masyarakat melalui film di tengah pandemi. Kini masyarakat kita justru memiliki lebih banyak opsi untuk menikmati film. Sehingga perubahan tren ini justru menjadi salah satu kemajuan film, karena dapat memperluas akses dan opsi masyarakat dalam berkontribusi memajukan dunia film yang sedikit terancam selama pandemi.

Selaras dengan ungkapan tersebut, Kompas.com mengungkapkan bahwa bagi sebagian masyarakat transisi perubahan tren menonton film tidak mengalami kesulitan guna mengakses film secara legal. Walaupun para pekerja film harus memutar otaknya guna memanfaatkan media alternatif untuk menonton karya mereka. Perubahan ini akan terus berubah mengikuti situasi saat itu.

Film dari kacamata bisnis

Titus juga mengutarakan bahwa perubahan ini bukanlah hal yang buruk dan justru sebaliknya. Saat ini prioritas kita adalah kesehatan, maka dari itu apa yang dihimbau pemerintah untuk masyarakat terapkan sebisa mungkin tetap terlaksana. Menonton film di rumah adalah salah satu cara mempertahankan film di tengah pandemi agar pasar perfilman tidak mati.

“Sebenarnya kenapa banyak orang menyayangkan dibatasinya bioskop atau dibatalkannya tayangan sebuah film yang hampir ditayangkan, salah satunya ya karena investasi yang mereka keluarkan sudah besar dan ekspektasi film itu akan dinikmati di bioskop pasti ada.” ujar Titus.

Beban ekspektasi inilah yang menyebabkan kekecewaan bagi beberapa pihak mengenai batalnya tayang sebuah film yang muncul di era pandemi. Dari perbincangan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perubahan tidak selalu membawa keburukan, justru perkembangan tanpa kita sadari selalu membawa perubahan. 

Di saat bioskop sempat mengalami penurunan pasar karena adanya social distancing selama beberapa saat, tontonan online justru mengalami kenaikan yang cukup signifikan meskipun bioskop telah kembali dibuka. Menurut Insider Intelligence, data menunjukkan bahwa hingga tahun ini, 35,0% pengguna layanan video sub OTT dunia akan menonton Netflix yang berjumlah 658,0 juta penonton. Hingga tahun ini pula, 1,88 miliar orang di seluruh dunia akan menggunakan layanan sub OTT seperti Netflix, Disney+, dan Amazon Prime Video. Meskipun pertumbuhan melambat, ruang untuk peningkatan pengguna masih tinggi, karena kurang dari 50,0% pengguna internet di seluruh dunia menonton sub OTT.

Sama halnya seperti film, perubahan kebiasaan  masyarakat tentang cara menonton tak perlu menjadi perdebatan. Karena perubahan lagi-lagi justru menciptakan alternatif yang lebih luas dan menawarkan fleksibilitas yang lebih bagi penikmat film. Perbedaan fasilitas dan pengalaman menonton film antara bioskop dan menonton di rumah nyatanya bukan merupakan masalah yang besar bagi masyarakat. Apapun kendala yang akan dihadapi ke depan, semoga penggiat film dapat terus berkarya, mengekspresikan diri, dan menginspirasi banyak orang lewat film.

Daftar Pustaka:

Agustina,S. (2021). Industri Film Global di Tengah Pandemi, Kompas.com. Retrieved April 5, 2022 from  https://www.kompas.id/baca/riset/2021/03/30/industri-film-global-di-tengah-pandemi

Cramer, E. (2022). Netflix is the elephant in the subscription OTT room,

Insider Intelligence. Retrieved April 2, 2022, from https://www.emarketer.com/content/netflix-elephant-subscription-ott-room 

Penynting : Lulu Yahdini & Citra Mediant

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *