Gerakan Keadilan Gender: Peluang, Tantangan, dan Strategi

Oleh Annisa Ramadhani

“Keadilan gender merupakan kondisi ideal ketika kehidupan sosial yang inklusif dapat terwujud. Kondisi ideal itulah yang kami perjuangkan melalui gerakan keadilan gender. Tujuannya untuk membuka akses terhadap kesempatan yang sama bagi setiap individu,” tutur Nisrina Nadhifa pada Kamis (3/12).

Kalimat tersebut dilontarkan oleh Nisrina Nadhifa (Ninies), salah satu aktivis perempuan yang menjadi pembicara dalam talk show lintas negara dengan bertajuk Tantangan dan Peluang Pengorganisasian Gerakan untuk Keadilan Gender: Perspektif dari Chicago dan Jakarta’. Talk show tersebut merupakan hasil kolaborasi Jaringan Akademisi GERAK Perempuan dengan KOMPAKS, Sa Perempuan Papua, Aliansi Satu Visi, dan Disrupsi dalam rangka memperingati kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Selain Ninies, Andrene Wright dari Chicago turut bergabung sebagai pembicara Kedua peneliti dan aktivis tersebut saling berbagi pengalaman dan pandangan mereka mengenai gerakan perempuan, termasuk peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mengorganisasikan gerakan keadilan gender.

Gerakan Keadilan Gender di Era Digital

Andrene maupun Ninies, sama-sama menggunakan pendekatan digital dalam pergerakannya karena menurut mereka, pendekatan digital merupakan suatu hal mandatory di era kemajuan teknologi seperti saat ini yang mana sudah menjadi bagian dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, tidak terkecuali gerakan keadilan gender. Baik. Terutama bagi Andrene, yang berkiprah di Gender Justice and Digital Life Universitas Northwestern, pendekatan digital sifatnya sangat krusial.

“Gender Justice and Digital Life memiliki dua tujuan utama: memastikan keadilan gender hadir di lingkup kampus dan digital. Di lingkup kampus, tugas kami adalah memastikan setiap individu terlihat dan terdengar.” tutur Andrene.

Dalam ranah digital, Andrene menindak serius segala bentuk kekerasan seksual secara online, seperti pelecehan seksual yang dilakukan di zoom atau classroom. Andrene juga menargetkan jaringan digital global melalui kerja sama dengan berbagai universitas di seluruh dunia. Dengan jaringan digital global, diskusi dan tukar pengalaman mengenai isu-isu keadilan gender di berbagai kampus dapat dilakukan. Andrene juga menyatakan keterbukaannya kepada setiap universitas atau komunitas yang tertarik menjadi bagian dari program tersebut.

Sedikit dengan Andrene yang memaksimalkan penggunaan teknologi digital sebagai aspek utama gerakannya, Ninies memanfaatkan posisinya sebagai Project Officer dari program Creative Youth for Tolerance (CREATE) di HIVOS Asia Tenggara dengan mengutamakan pendekatan seni dan budaya, “Prioritas CREATE adalah marginalized groups. Kami menggunakan pendekatan seni budaya karena kami sadar betul tiap daerah di Indonesia memiliki kultur uniknya masing-masing.” 

Ninies juga menuturkan bahwa penggunaan teknologi digital perlu dilakukan, namun hal tersebut menjadi tantangan tersendiri baginya. Menurutnya, tidak semua orang di Indonesia dapat mengakses internet, belum lagi daerah yang sulit mendapatkan akses internet.

“Kita berbicara mengenai kehidupan yang inklusif, namun akses internet saja masih menjadi hal eksklusif,” imbuh Ninies (3/12).

Membangun Strategi Aktivisme Interseksional

Jika membicarakan strategi gerakan keadilan gender, menurut Andrene penting melihat aktivisme interseksional sebagai teori dan praktik. Menurut Andrene, kunci gerakan tersebut terletak pada curiosity (rasa ingin tahu) setiap individu.

“Contohnya pada kasus George Floyd beberapa waktu lalu. Orang-orang menjadi curious dan mereka akan terus menuntut tindakan lebih lanjut mengenai isu tersebut,” imbuh Andrea.

Hal tersebut sejalan dengan rasa ingin tahu, Andrene juga menekankan pentingnya dialog dalam gerakan keadilan gender. Menurutnya, dalam mengorganisasikan gerakan keadilan gender, dialog diperlukan sebagai proses introspeksi dan pertukaran pikiran dengan sesama rekan aktivis, karena ‘My perspective is not the only one in this fight.’

Senada dengan apa yang dikatakan Andrea, Ninies juga berpendapat bahwa curiosity merupakan hal mandatory dalam aktivisme. Ninies juga mengatakan bahwa dengan menjadi curious, kita tidak mudah puas dengan aktivitas yang kita lakukan. Sebaliknya, kita akan selalu berpikir kritis dan menggunakannya untuk saling bertukar pikiran dengan rekan aktivis lainnya. 

Pembelajaran Intergenerasi Sebagai Salah Satu Pilar Gerakan Keadilan Gender

Selain aktivisme interseksional yang telah dipaparkan sebelumnya, Ninies turut memberikan pandangan pribadinya terkait strategi dalam mengorganisasikan gerakan keadilan gender. Baginya, pembelajaran intergenerasi merupakan salah satu pilar utama dalam pencapaian keadilan gender. Menurut Ninies, hari ini dan kemarin saling terkoneksi satu sama lain sehingga kita tidak dapat melihat kondisi di masa kini tanpa melihat masa lampau.

Pernyataan Ninies berikutnya menjadi sorotan sepanjang sisa sesi diskusi, “I do also believe that if we can learn something, we can also unlearn something,” tuturnya.

Mengaitkan dengan konteks domestik, Ninies menekankan poin ‘unlearn’ untuk stereotip gender yang masih kental di Indonesia. Ninies juga menegaskan bahwa diskriminasi kelompok minoritas dan marginal di Indonesia harus berhenti dilakukan.

Selanjutnya, Ninies juga memaparkan konsep pembelajaran intergenerasi terhadap standar kecantikan di Indonesia. Ninies melihat bahwa standar kecantikan pada dasarnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut juga menghasilkan perbedaan perspektif antara mereka yang setuju dengan mereka yang menolak standar kecantikan tersebut.

Ninies menyebutkan bahwa ada masa di mana orang dengan ukuran badan yang tidak memenuhi standar ramping tidak dianggap cantik. Namun ada pula masa ketika industri dan media saling menanamkan paham bahwa orang yang tidak ramping tetaplah cantik. Menurutnya meski berbeda menurutnya kedua konstruksi tersebut,memiliki bahaya yang sama. Dengan menggunakan kedua konstruksi tersebut, orang hanya akan dikenali berdasarkan penampilannya saja, bukan karena pribadi mereka.

Ninies juga menyinggung miskonsepsi lainnya yang terdapat pada pemikiran bahwa standar kecantikan bukan kulit putih lagi sehingga industri berlomba-lomba mempromosikan lebih banyak kulit gelap di media sosial. Padahal menurut Ninies, poinnya bukan terletak pada perubahan standar kecantikan, melainkan bagaimana kita dapat terbebas dari konsep tersebut. Ninies melanjutkan, bahwa satu-satunya pihak yang dapat menentukan standar adalah diri kita sendiri, bukan industri. Dengan demikian, aspek historis bagi Ninies tidak dapat dikesampingkan dalam gerakan keadilan gender. Hal tersebut penting karena kita perlu belajar untuk berhenti mempelajari miskonsepsi dan diskriminasi dari masa lampau.

**

Penyunting: Citra Mediant

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *