Ruang bagi Mahasiswa Difabel di UII, Inklusif atau Eksklusif?

Oleh: Aufa Niamillah

Pendidikan yang inklusif adalah pendidikan yang sudah dilaksanakan pemerintah sejak lama demi mewujudkan kesetaraan pendidikan tanpa diskriminasi. Hal ini masuk dalam poin pendidikan target tujuan pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya sekolah luar biasa (SLB) yang perlu menjadikan sekolahnya inklusif, tetapi juga sekolah dan perguruan tinggi lain di luar sana. Pendidikan inklusi termasuk bagian dari kriteria akreditasi, utamanya dalam skala internasional.

Merujuk pada peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 46 Tahun 2014, pendidikan inklusif diselenggarakan untuk memperluas kesempatan dan akses bagi pendidikan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Mahasiswa berkebutuhan khusus yang dimaksud adalah mahasiswa yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, mental, atau yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa. Proses belajar mengajar di pendidikan inklusif dilaksanakan dengan menggabungkan mahasiswa difabel dan non-difabel dalam lingkungan yang sama. 

Salah satu cara untuk menciptakan lingkungan pendidikan inklusif yang bisa dilakukan perguruan tinggi adalah membentuk ruang bagi mahasiswa difabel. Ruang ini dapat berupa banyak hal, dimulai dari sarana prasarana hingga pusat pelayanan disabilitas untuk menunjang hak-hak dan kebutuhan mahasiswa difabel. Lantas, bagaimana UII menunjukkan ruang-ruang ini di kampus?

Mahasiswa Penyandang Disabilitas di UII

UII adalah salah satu kampus swasta yang menerima mahasiswa-mahasiswa penyandang disabilitas. Mengutip dari Beni Suranto selaku Direktur Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (23/2), menerima difabel sebagai mahasiswa sudah merupakan bagian dari sunnah rahmatan lil’alamin yang dimiliki UII. Mahasiswa-mahasiswa difabel yang saat ini berada di UII, menurut Beni berdasar data verifikasi dari sistem BSI, di antaranya adalah tunanetra, tunadaksa, tunawicara dan autis. Untuk data autis, ia sebutkan bisa saja terdapat kesalahan karena mahasiswa melakukan verifikasi mandiri. 

“Data per 14 Februari, total ada 16. Kalau yang termasuk gangguan belajar dan sebagainya, cukup banyak ya. Mungkin puluhan, ya, meskipun nggak nyampe seratus,” Beni menambahkan.

UII menerima mahasiswa difabel dengan persyaratan tertentu berdasarkan kemampuan tiap-tiap prodi yang berbeda. Misalnya prodi Kedokteran yang membutuhkan penglihatan prima, maka tidak bisa menerima mahasiswa dengan penglihatan low vision atau tunanetra. Mekanisme komunikasi dengan prodi dan pendaftar difabel yang ingin bergabung di UII sangat diperhatikan agar pendaftar memahami situasi dan kondisi di kampus. Termasuk gedung-gedung yang belum memiliki lift yang dapat mempersulit mobilitas mahasiswa dengan kebutuhan khusus.

“Jadi kita memastikan dulu ke prodi fakultas apakah bisa difasilitasi,” terang Beni.

Dituturkan kembali olehnya, UII pernah memiliki mahasiswa low vision di Fakultas Ilmu Agama Islam. Mahasiswa tersebut difasilitasi seorang pendamping ketika ujian untuk membantu membacakan soal dan menuliskan jawaban oleh prodi. Hal ini menunjukkan ikhtiar UII dalam membantu mahasiswa difabel memenuhi kebutuhan belajarnya.

Fasilitas UII, Sudahkah Aksesibel?

UII sudah memulai membangun fasilitas bagi difabel selangkah demi selangkah. Perubahan kecil itu rupanya dimulai sejak adanya permintaan pembangunan toilet untuk difabel. Anggaran yang sebelumnya tidak ada, mulai dialokasikan untuk membentuk ruang-ruang inklusif tersebut. Selain toilet khusus, lift yang sengaja dibangun di tiap gedung diharapkan dapat mempermudah akses. Pengadaan fasilitas-fasilitas ini menjadi salah satu komitmen UII untuk menjadi kampus ramah difabel.

Cahyo Nugroho selaku Direktur Direktorat Sarana dan Prasarana (17/2), menjelaskan bahwa dulu gedung rektorat tidak memiliki toilet difabel. Setelah ditambahkan toilet, tangga-tangga landai dan lift juga dibuat di setiap bagian gedung untuk memudahkan pengguna kursi roda. 

Selain rektorat, gedung lain yang diupayakan memiliki fasilitas aksesibel adalah Gedung Kuliah Umum (GKU).  GKU sebagai gedung yang sering difungsikan untuk acara-acara besar, awalnya belum memiliki lift. Tangga yang terdapat di gedung itupun tergolong curam dan tidak landai sehingga saat ini mulai dibangun lift di sisi utara. Perpustakaan UII juga sudah mulai memperbanyak koleksi braille.

Kami kemudian menemui A (22/2), salah satu mahasiswa penyandang disabilitas fisik yang namanya tidak ingin disebut. Ia bercerita bahwa dirinya tidak memiliki kendala untuk mengakses fasilitas-fasilitas UII. Menurutnya, UII adalah salah satu kampus yang sudah memiliki perhatian terhadap kebutuhan penyandang disabilitas. Berdasar pengalaman, A merasa UII sudah cukup aksesibel karena ia bisa mengikuti perkuliahan dan melakukan mobilitas dengan baik. 

Meskipun begitu, ia melihat masih ada fasilitas di beberapa wilayah kampus yang belum ramah difabel. Terkait toilet, menurut pengalamannya, A belum pernah melihat toilet yang dipisahkan secara khusus untuk difabel. Toilet itu masih dicampur dengan orang lain. Di samping itu, A juga mengakui bahwa kebutuhan penyandang disabilitas sangat beragam sesuai dengan kondisi mahasiswa tersebut. 

“Menambah fasilitas atau memperbaiki fasilitas itu tidak harus menunggu ada yang difabel dulu. Karena perlu kita ketahui bahwasannya disabilitas atau difabel itu bisa terjadi kepada siapapun dan kapanpun, gitu. Kampus memang harus menyediakan fasilitas dalam rangka menunjang hak-hak mahasiswa disabilitas tersebut,” lanjut A.

Mewujudkan Kampus Ramah Difabel

Isu mengenai disabilitas sudah masuk radar atensi rektor dan jajaran manajemen universitas. Dalam Renstra Rektor 2022-2026, tertulis mengenai terciptanya ekosistem pendukung pengembangan kampus yang hijau dan inklusif. UII memformulasikan strategi kebijakan untuk mendukung terwujudnya kampus ramah disabilitas secara bertahap. 

Tantangan dalam pengembangan fasilitas adalah posisi kampus yang luas dengan gedung yang terpisah-pisah dan desain yang berbeda. Namun, implementasi kebijakan ini dapat dilihat melalui pertimbangan desain gedung-gedung baru. Gedung Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Agama Islam dipastikan memiliki fasilitas dan jalan yang aksesibel agar bisa mengakses semua lokasi gedung.

“Salah satu program atau aktivitas yang nantinya itu diharapkan bisa terwujud, itu ada semacam pusat pelayanan disabilitas. Nah, ini konsepnya masih kita diskusikan dan mungkin nanti kita juga akan minta masukan dari teman-temen mahasiswa, karna ‘kan, temen-temen mahasiswa yang lebih tau ya. Kebutuhan mahasiswa disabilitas kayak apa, apakah support-nya hanya sekadar lebih ke sarana atau juga mungkin pendampingan secara psikologis, atau juga karena tadi yang sifatnya sangat personal, ya, misalkan mentor ketika ujian,” ujar Beni.

A sebagai mahasiswa berharap, UII dapat menjadi salah satu kampus pelopor dari peningkatan kualitas pendidikan yang inklusif. Pendidikan yang tidak hanya berpaku pada pakemnya, atau pada anak-anak yang normal saja, tetapi juga bagaimana UII ini bisa merangkul dan lebih memberi perhatian terhadap kebutuhan anak-anak disabilitas baik dari sarana prasarana dan bimbingan.

“Semoga UII bisa jadi kampus yang ramah disabilitas, yang inklusif, dan terdepan dalam memenuhi kebutuhan anak-anak disabilitas itu sendiri,” tutup A.

Menjadi inklusif tidak harus menunggu mahasiswa difabel untuk datang ke kampus. Tugas utama UII sebagai perguruan tinggi adalah menyediakan ruang-ruang inklusi untuk menunjang pemenuhan hak-hak mahasiswa difabel. Jika ruang tersebut ada dan semakin lengkap, tak dapat dipungkiri lagi berapa banyak calon mahasiswa difabel yang dapat mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka.


Penyunting: M. Athaya Afnanda

Grafis: Aulia Salsabilla

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *