Autobiography (2022): Potret Relasi Dua Kehidupan Kelam yang Sarat Politik

Oleh: Afifah Azzahra dan Aufa Niamillah

Jogja benar-benar cerah ketika kami hendak pergi untuk menyelisik salah satu hiburan layar lebar. Kali ini targetnya adalah film garapan Makbul Mubarak yang mendapat penghargaan Piala Citra 2022. Makbul berhasil memikat kami dalam karya debut film panjangnya yang berjudul Autobiography

Sejujurnya, kami tak menyangka akan dibuat setegang itu oleh film yang katanya berkisah tentang relasi bapak dan anak. Makbul berhasil menghadirkan nuansa mencekam yang penuh curiga melalui pemilihan efek suara dan tampilan sinematografinya. Mungkin sebab itulah film ini disebut suspenseful thriller.

Hubungan Bapak-Anak yang Dibumbui Ketegangan

Sebuah pertandingan catur ditayangkan di televisi, sementara Sang Empu bertelanjang dada sedang menguliti kacang yang berserakan di meja. Rakib samar-samar mendengar suara mobil dari luar rumah, ia  bergegas mengenakan pakaiannya. Bajunya masih separuh tanggal kala ia berjalan menyusuri lorong. Rakib membenarkannya tepat sebelum membuka pintu untuk menyambut seorang tamu; Purnawinata.

Purnawinata yang diperankan oleh Arswendy Bening Swara, memiliki karakter tegas juga kebapakan. Ia adalah mantan jenderal yang kembali ke rumah lamanya untuk mencalonkan diri sebagai seorang Bupati. Aura kebapakan Purna paling terasa ketika dirinya dihadapkan momen dengan Rakib. 

Mereka bermain catur dan berburu bersama. Sepertinya, Purna menyenangi Rakib karena ia tak memiliki anak laki-laki, sebab ketiga anaknya adalah perempuan. Sementara itu, sifat tegasnya diperlihatkan melalui bagaimana setiap orang menunduk sungkan ketika bertemu dengannya.

Sementara itu, Rakib yang diperankan oleh Kevin Ardilova adalah seorang pemuda belia yang lugu. Dapat dikatakan, sosok Rakib ini adalah tipikal ‘anak baik-baik’. Hal ini dapat dilihat melalui unggah-ungguhnya yang sopan serta nada suaranya yang biasanya rendah. 

Menilik historisnya, sejatinya keluarga Rakib sejak zaman kakek buyutnya telah mengabdi pada keluarga Purna. Rumah yang ditempati dan diurusnya selama ini pun milik keluarga itu. Sejak Purna datang, ia dipercaya menjadi sopirnya. 

Rakib barangkali menemukan sosok bapak yang didambakan dalam diri Purna. Ia pertama kali mencicipi makanan enak karena Purna, belajar menembak dari Purna, dan berkesempatan bermain catur bersama Purna, meskipun pada akhirnya kalah. Rakib mulai mempercayai Purna sebagai orang baik.

Terlebih ketika kejadian mobilnya yang secara tidak sengaja menabrak tempat parkir masjid di pinggir jalan yang sedang diperbaiki. Orang-orang hendak mengamuk, tetapi ketika Purna turun, mereka menunduk tidak berkutik. Purna meminta dengan tegas kepada mereka dan Rakib untuk sama-sama meminta maaf. Masalah selesai.

Satu hal yang diajarkan Purna kepada Rakib; bahwa kata maaf itu begitu magis sampa dapat meredam amarah menjadi hadiah.

Jelmaan Sosok Berkuasa 

Ternyata, kepercayaan Rakib terhadap Purna malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Menuju konflik, Purna disulut amarah ketika menemukan baliho promosi Bupatinya dirusak, bahkan dijadikan sumbatan tutup botol minuman keras. Sebenarnya, ini hanyalah permasalahan sepele. Namun, bagian dari harga diri Purna bagai ular kena bedal, terusik karena perbuatan kekanakan tersebut. 

Rakib yang lugu pun berlagak ingin membantu untuk mencari pelaku. Hingga pada akhirnya Rakib berada di titik dilema, menyadari kesalahannya dalam memahami ungkapan ‘maaf’ yang diajarkan Purna. Padahal mungkin kuncinya bukan pada kata maaf, tetapi ada pada ‘kekuasaan’, atau tergantung siapa yang meminta maaf. Siapa sangka jika ia tidak punya apa-apa, ia akan hancur digilas, tetapi jika ia punya kuasa, orang lain yang akan segan untuk ‘tidak’ memaafkan. 

Makbul Mubarak menyisipkan sosok seorang jenderal yang menyalahgunakan kekuasaannya. Layaknya berbagai kasus permainan politik di Indonesia, Purna hadir sebagai gambaran nyata bahwa sosok pejabat bisa berbuat sadis. Dengan bermain tangan untuk melukai orang lain, Purna seakan memberi tamparan keras bagi siapapun yang memiliki kuasa dan menghalalkan segala cara untuk membutakan mata rakyat. Latar yang dipilih pun menggambarkan bahwa perbuatan kejam Sang Jenderal tidak melulu dikaitkan dengan kehidupan di balik meja kantor, bisa saja terjadi di antara orang terdekat, yaitu keluarga.

Objek tempat yang dipilih oleh Makbul Mubarak seakan menyindir. Digambarkan dengan kondisi Desa Karangsari yang dihuni oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Lalu hadirlah sosok Purna bak pahlawan yang sigap membenahi kondisi desa. Sang Sutradara memberikan hidangan scene yang menyoroti kelakukan sosok berkuasa dengan kemunafikannya, datang seolah membawa cahaya, tetapi disembunyikannya juga malapetaka.

Di sisi lain, Rakib hadir sebagai representasi masyarakat desa yang dihantui rasa takut akan kuasa Purna. Menggambarkan bagaimana seorang manusia bisa begitu tunduknya terhadap sesama manusia. Terlepas dari sifat Rakib yang pendiam, Makbul menambahkan gerak-gerik Rakib yang tertekan dan terjerat oleh lingkaran kekuasaan Purna. 

Sarat Akan Makna

Sosok Purna dan Rakib membaur dalam mozaik poster yang mengusung merah gelap sebagai warna dominan. Film ini berusaha menceritakan dua perjalanan hidup (autobiografi) yang berdampingan, tetapi berbeda. Purnawinata, Sang Jenderal, sebagai sosok penguasa, sedangkan Rakib, pemuda lugu, sebagai representasi masyarakat. 

Pada akhirnya, kedua orang itu saling berkaca. Purna dapat melihat sosok dirinya ketika masih muda pada Rakib. Sosok yang lugu, sebelum menghadapi dunia politik yang keras. Seperti lingkaran tanpa ujung, film ini menggambarkan siklus yang mungkin sulit untuk diputus. Barangkali Rakib diciptakan untuk melakukan hal yang sama seperti yang Purna lakukan, menjadi sosok berkuasa.

Film ini nyaris tanpa cela. Kemampuan Makbul dalam menciptakan nuansa tegang yang konsisten sedari awal hingga akhir menjadikannya daya tarik tersendiri. Hawa mencekam itu diciptakan tidak hanya dari pemeran tokohnya, melainkan dari segi suasana, efek suara, pemilihan latar tempat, dan perintilan-perintilan lain yang dibuat sedemikian suram. 

Isu yang diangkat Makbul pun dibungkus dengan alur yang mudah dipahami. Menggabungkan ingar bingar siklus politik yang bengis dengan siklus kehidupan normal masyarakat biasa.  Film ini juga menceritakan bahwa bahkan dalam lingkup sekecil perdesaan, konflik politik yang melibatkan tokoh tertinggi pun dapat terjadi. Bagaimana kekuatan seorang pejabat bisa dirasakan hingga wilayah paling kecil dari sebuah negara.

“Di rumah aja, Kib. Dinikmati, yang penting ‘kan slamet, sehat,” pesan Bapak Rakib di balik jeruji tersebut cukup membekas di ingatan.

Sepertinya, Rakib akhirnya berhasil memenuhi permintaan bapaknya itu dengan cara yang tidak terduga pada detik-detik menuju akhir film.


Penyunting: Liya Ayu Aini Nafis & Haidhar F. Wardoyo

Grafis: Aulia Salsabilla

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *